PENGORBANAN Yesus di kayu salib adalah puncak dari kasih Allah yang tak terbatas kepada manusia.
Sebagai seorang katekis, kita merenungkan peristiwa ini bukan hanya sebagai sebuah peristiwa sejarah, tetapi sebagai undangan pribadi untuk memahami, mengalami dan mewartakan kasih itu dalam hidup sehari-hari.
Yesus tidak mati karena kekuatan manusia, tetapi karena kehendak kasih-Nya. Ia memilih jalan salib untuk menebus dosa-dosa kita. Ia diam saat dihina, Ia tetap mengasihi saat dilukai dan Ia tetap setia saat ditinggalkan.
Di atas kayu salib, Yesus menunjukkan kepada kita apa arti kasih sejati: kasih yang memberi diri sepenuhnya, tanpa syarat.
Sebagai katekis, kita diingatkan bahwa tugas pewartaan bukan hanya soal mengajar, tetapi terutama soal menjadi saksi.
Apakah kita telah mencerminkan kasih pengorbanan Kristus dalam cara hidup kita? Apakah kita sabar dalam mendampingi mereka yang lemah iman? Apakah kita berani mengampuni, seperti Yesus mengampuni para algojo-Nya?
Salib juga menjadi cermin: ketika kita mengalami penderitaan dalam pelayanan, saat merasa tidak dimengerti, atau bahkan ditolak, salib Yesus menjadi kekuatan.
Sebab Dia telah lebih dahulu mengalami semuanya dan Ia tidak menyerah. Maka, dalam luka salib, aku menemukan penghiburan. Dalam darah-Nya, aku menemukan pengharapan. Dalam kematian-Nya, kita menemukan hidup.
Marilah kita sebagai para katekis tidak hanya mengenang salib sebagai simbol, tetapi menghidupinya sebagai jalan kehidupan.
Dalam setiap pelayanan, dalam setiap pengorbanan kecil yang kita lakukan, semoga salib Kristus senantiasa menjadi pusat, sumber dan tujuan.
“Semuanya telah selesai.” (Yohanes 19:30)
Yesus sebagai Raja yang Menderita (Yohanes 18–19)
Dalam narasi Yohanes, Yesus tidak digambarkan sebagai korban pasif, melainkan sebagai Sang Raja Mesianik yang dengan penuh kuasa dan kesadaran menyerahkan diri-Nya.
“Akulah Dia” (Yohanes 18:5–6): Saat para prajurit datang menangkap-Nya, Yesus menyatakan diri-Nya dengan otoritas ilahi, sehingga mereka jatuh tersungkur. Ini menunjukkan bahwa penangkapan-Nya terjadi karena Ia mengizinkannya, bukan karena kelemahan-Nya.
“Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” (Yohanes 18:36): Yesus menegaskan bahwa kuasa-Nya bukan bersifat politis, melainkan spiritual.
Ia datang untuk menyelamatkan dunia melalui jalan salib.
Pengadilan Manusia atas Allah (Yohanes 18:28–19:16)
Pengadilan Yesus di hadapan Pilatus adalah ironi besar: Manusia yang berdosa mengadili Sang Penebus Dosa.
“Aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya” (Yohanes 18:38): Pilatus mengakui ketidakbersalahan Yesus, tetapi karena takut dan kepentingan politik, ia menyerahkan-Nya untuk disalibkan.
Ini menggambarkan kelemahan moral manusia di hadapan kebenaran.
“Lihatlah Rajamu!” (Yohanes 19:14): Yesus dihadapkan kepada orang banyak dengan mahkota duri dan jubah ungu—lambang penistaan sekaligus penggenapan nubuat tentang Mesias yang menderita (Zakharia 9:9; Yesaya 53:3–5).
Salib sebagai Tahta Kemuliaan (Yohanes 19:17–30)
Bagi Yohanes, salib bukan sekadar alat hukuman, melainkan tahta di mana Yesus dimuliakan.
“Yesus memikul salib-Nya sendiri” (Yohanes 19:17): Berbeda dengan Injil Sinoptik (yang menyebut Simon dari Kirene memikul salib),
Yohanes menekankan bahwa Yesus dengan sadar dan penuh kuasa menjalani jalan salib sebagai Imam dan Kurban.
“Inilah ibumu… Inilah anakmu” (Yohanes 19:26–27): Di kaki salib, Yesus membentuk keluarga rohani baru—Gereja—yang dipersatukan dalam kasih-Nya.
“Aku haus” (Yohanes 19:28): Ini menggenapi Mazmur 69:22 dan menunjukkan penderitaan manusiawi Yesus, sekaligus kerinduan-Nya akan jiwa-jiwa yang haus akan keselamatan.
“Sudah selesai” (Yohanes 19:30): Kata-kata terakhir Yesus bukanlah jeratan kematian, melainkan seruan kemenangan. Misi penyelamatan telah digenapi!
Lambung yang Ditikam: Sumber Rahmat (Yohanes 19:31–37)
“Salah seorang prajurit menikam lambung-Nya…” (Yohanes 19:34): Keluarnya darah dan air melambangkan Sakramen Baptis dan Ekaristi, sumber kehidupan Gereja.
“Mereka akan memandang kepada Dia yang telah mereka tikam” (Yohanes 19:37; bdk. Zakharia 12:10): Ini adalah undangan untuk bertobat dan percaya, melihat salib sebagai sumber pengampunan dan hidup baru.
Refleksi untuk Hidup Kita
Ketaatan Total kepada Bapa: Yesus taat sampai mati di salib (Filipi 2:8). Sebagai murid-Nya, kita dipanggil untuk menyerahkan kehendak kita sepenuhnya kepada Allah.
Kasih yang Radikal: Salib adalah puncak kasih Allah. Bagaimana kita mengasihi orang lain, bahkan musuh kita?
Kemenangan dalam Penderitaan: Salib mengajarkan bahwa Allah mengubah kejahatan menjadi kebaikan, maut menjadi kehidupan. Dalam pergumulan kita, kita percaya bahwa Allah bekerja untuk kemenangan kekal.
Kisah sengsara Yesus bukan sekadar dongeng sedih, melainkan undangan untuk masuk ke dalam misteri kasih Allah.
Sebagai katekis, kita dipanggil untuk mewartakan: “Kita memberitakan Kristus yang disalibkan… kekuatan Allah dan hikmat Allah.” (1Kor 1:23-24).“Salib adalah tanda kasih terbesar dalam sejarah. Mari kita memeluknya dengan iman!”
“Kita harus bangga akan salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab Dialah keselamatan, kehidupan, dan kebangkitan kita.” (Galatia 6:14)*
Penulis :
Ludgerus Waluya Adi, S.Ag
Guru PAK SD Inpres Mangga Dua Merauke