Pengangkatan Uskup Baru Jayapura: ‘Tuhan Telah Memperhatikan Kerendahan Hamba-Nya’

Opini340 views

SABTU  29 Oktober 2022 merupakan hari bersejarah bagi umat Katolik di Keuskupan Jayapura, Papua. Betapa tidak! Melalui Mgr. Leo Laba Ladjar OFM, Paus Fransiskus mengumumkan pengangkatan RD Yanuarius Theofilus Matopai You sebagai Uskup baru Jayapura.

Beliau adalah orang asli Papua pertama yang dipercayakan memangku jabatan uskup menurut tradisi Gereja Katolik.

RD Yanuarius dilahirkan di Uwebutu, Kabupaten Paniai 1 Januari 1961 dan ditahbiskan menjadi imam 16 Juni 1991. Menyelesaikan studi Filsafat dan Teologi di STFT Fajar Timur tahun 1991, memperoleh gelar Magister Psikologi di Universitas Gajah Madah Yogyakarta tahun 2010 dan gelar doctor Antropologi di Universitas Cenderawasih Jayapura tahun 2020.

Kariernya sebagai imam dimulai di Paroki Kristus Terang Dunia Jiwika (1991-1998). Pastor Paroki St. Wilibrodus Arso (1998-2002), kemudian melayani umat Paroki Katedral Jayapura dan memangku jabatan Vikaris Jenderal (Vikjen) Keuskupan Jayapura (2002-2006).

Saat ini RD Yanuarius menjabat Ketua Komisi Pendidikan Jayapura, pengurus beberapa Yayasan, kepala Rumah Pembentukan Formasi St. Yohanes Maria Vianey dan dosen di STFT Fajar Timur.

Pengangkatan RD Yanuarius menjadi Uskup Jayapura merupakan kabar gembira sekaligus berkat bagi umat Katolik di Keuskupan Jayapura.

Tidak hanya itu. berkat itu juga untuk masyarakat luas, bahkan seluruh lapisan masyarakat yang mendiami Tanah Papua  yang meliputi Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Umat dan masyarakat berbangga karena memiliki seorang uskup yang diangkat dari antara orang asli Papua (OAP).

Sambil menunggu hari tahbisan Uskup Yanuarius (Februari 2023), tulisan ini ingin memaparkan proses pengangkatan uskup serta syarat-syaratnya  berdasarkan peraturan gereja  yaitu Kitab Hukum Kanonik (KHK).

Selain itu, tulisan ini bertujuan memberikan pencerahan agar pembaca tidak “tergelincir” ke dalam pandangan insani semata. Sebab, pengangkatan seorang uskup tidak dapat dipisahkan dari dimensi ilahi.

Karya ilahi (Roh Kudus) ini menghendaki tanggapan manusia berdasarkan kerendahan hati seorang hamba. “Sebab Ia memperhatikan daku, hamba-Nya yang hina ini” (Luk 1:48), sebagaimana ungkapan iman Maria, Bunda Yesus.

Proses Pengangkatan dan Kriteria (Calon) Uskup

Sakramen imamat atau tahbisan dalam Gereja Katolik meliputi tiga tingkatan  yaitu tahbisan diakon, tahbisan imam, dan tahbisan uskup.

Tahbisan uskup merupakan jenjang tertinggi. Jika terjadi takhta lowong di sebuah keuskupan, maka proses penunjukan pengganti Uskup perlu dimulai tanpa penundaan. Proses sampai terpilihnya seorang Uskup mengikuti tiga langkah berikut.

Langkah pertama, melihat daftar nama imam, baik dari keuskupan maupun dari anggota tarekat hidup bakti atau hidup membiara. Kanon 377 (g2) menegaskan, “Sekurang-kurangnya setiap tiga tahun para uskup provinsi gerejawi, atau di mana keadaan menganjurkannya, Konferensi para uskup, hendaknya melakukan perundingan bersama dan rahasia menyusun daftar para imam, juga anggota-anggota tarekat hidup bakti, yang kiranya tepat untuk jabatan uskup, dan menyampaikannya kepada Takhta Apostolik.” Daftar nama para imam harus disusun setiap tiga tahun agar selalu ada kebaruan.

Langkah kedua, Nunsius (Delegasi Apostolik) perlu berkonsultasi dengan pihak-pihak tertentu. Ia meminta pertimbangan dari uskup yang mengundurkan diri  atau dari Vikaris Jenderal (Vikjen) atau dari Administrator Keuskupan.

Ia juga wajib berkonsultasi dengan Uskup metropolit (uskup agung) dan para uskup lain dari provinsi gerejawi, Ketua Konferensi para Uskup dan juga beberapa anggota dari kolegium konsultor dan kapitel katedral.

Menurut Kan. 377 (g3), Nunsius juga dapat mendengarkan pendapat dari orang lain, baik dari kalangan klerus diosesan dan religius maupun umat awam yang unggul dalam kebijaksanaan.

Lebih lanjut, hukum Gereja Katolik menegaskan bahwa orang yang dikonsultasikan, memberikan informasi dan mengungkapkan pandangan mereka secara “rahasia” dan satu demi satu (Kan. 377 (g3)).  Mengapa “rahasia”?

Term “rahasia” di sini menjadi penting karena memiliki implikasi pastoral dan yuridis. Bisa saja untuk menghindari intervensi dari pihak luar, seperti lobi-lobi khusus dari calon tertentu. Atau bisa saja untuk menghindari kampanye terselubung dari imam yang berambisi untuk menjadi Uskup.

Nunsius (Delegasi Apostolik) kemudian menyusun daftar pendek dari tiga calon untuk penyelidikan lebih lanjut dan mencari informasi yang tepat tentang masing-masing calon. Ia akan mengirimkan ke Takhta Suci sebuah daftar (disebut “terna”) tentang tiga calon yang dinilai paling tepat untuk menjadi uskup.

Langkah ketiga, Kongregasi di Kuria Roma (dalam hal ini Propaganda Fide) mempelajari semua dokumen yang diberikan oleh Nunsius (Delegasi Apostolik). Jika semua calon ditolak, maka Kongregasi meminta untuk menyiapkan daftar lain.

Selanjutnya, calon yang sudah diterima, diajukan kepada Paus untuk mengangkatnya. Jika Paus setuju, calon terpilih disampaikan kepada Nunsius (Delegasi Apostolik) untuk mendapat persetujuan dari imam yang bersangkutan atas pengangkatannya dan untuk memilih tanggal diumumkannya.

Bisa saja Paus meminta nama lain dari yang direkomendasikan atau memilih secara bebas di luar nama-nama yang telah diusulkan. Proses untuk sampai pada kesimpulan akhir biasanya membutuhkan waktu yang lama, sekurang-kurangnya sembilan bulan bahkan sampai dua tahun.

Perlu ditegaskan bahwa para Uskup diangkat dengan bebas oleh Paus  atau mereka yang terpilih secara legitim dikukuhkan olehnya (Kan. 377 (g1)). Tentu saja Paus mengangkatnya dengan memperhatikan langkah-langkah tadi.

Proses pengangkatan seorang uskup harus memenuhi kriteria kecakapan tertentu, seperti tercantum dalam Kan. 378 (g1) sebagai berikut :

Pertama, unggul dalam iman, hidup baik, kesalehan, semangat merasul, kebijaksanaan, kearifan dan dalam keutamaan-keutamaan manusiwi, dan lagi dianugerahi sifat-sifat lain yang membuat layak melaksanakan jabatan tersebut.

Kedua, mempunyai nama baik. Ketiga, sekurang-kurangnya berusia 35 tahun. Keempat, sekurang-kurangnya sudah lima tahun ditahbiskan imam.

 Kelima, mempunyai gelar doktor atau sekurang-kurangnya lisensiat dalam Kitab Suci, teologi, atau hukum kanonik yang diperolehnya pada lembaga pendidikan lanjut yang disahkan Takhta Apostolik, atau sekurang-kurangnya mahir sungguh-sungguh dalam matakuliah-matakuliah itu.

Keputusan definitif tentang kecakapan calon Uskup terletak pada Takhta Apostolik di Roma (Kan. 378 (g2)). Uskup danatau pihak-pihak lain hanya mengajukan calonnya. Keputusan itu diambil berdasarkan kriteria yang telah disebutkan.

Paparan di atas menunjukkan bahwa uskup adalah pimpinan Gereja setempat (yang disebut ‘dioses’ atau ‘keuskupan’). Ia dipilih karena anugerah Allah, bukan karena prestasi atau prestise manusiawi.

Uskup adalah pengganti para Rasul Kristus. Setiap uskup, karena tahbisannya, menjadi bagian dari jajaran para uskup sedunia di bawah Paus dan bertanggung jawab atas seluruh Gereja yang berada di dalam wilayah keuskupannya.

Dalam Gereja Katolik, jabatan uskup seumur hidup (paling tinggi berusia 75 tahun) dan diangkat oleh Takhta Apostolik di Vatikan, Roma. Gereja menganugerahkan gelar Monsignor (disingkat Mgr.) kepada seorang imam yang secara sah diangkat menjadi uskup.

Seorang Uskup diserahi tiga tugas Kristus, yakni sebagai nabi (tugas mengajar), imam (menguduskan), dan raja (tugas memimpin).  Di Indonesia, tugas kegembalaan uskup didasarkan pada kebijakan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Meskipun demikian, keberadaan masing-masing uskup bersifat otonom. Hal ini berarti, KWI tidak membawahi keuskupan, tetapi bekerja melalui komisi-komisi yang diketuai oleh para Uskup. Dengan kata lain, KWI tidak mempunyai cabang di daerah. Di Asia, keuskupan memiliki satu badan persatuan, yaitu Federation of Asian Bishops Conferences (FABC).

Berdasarkan tugas sehari-hari, ada dua macam uskup  yaitu ‘uskup diosesan’ dan ‘uskup tituler’. Uskup diosesan mengemban tugas di suatu wilayah keuskupan, misalnya Keuskupan Jayapura, Keuskupan Manado  atau Keuskupan Amboina.

Secara khusus Uskup yang ditugasi di suatu wilayah keuskupan agung disebut Uskup Agung. Selanjutnya, uskup tituler  tidak mengemban tugas di suatu wilayah keuskupan, misalnya ia ditunjuk oleh Takhta Apostolik untuk melayani kebutuhan khusus seperti di kemiliteran.

Tuhan yang Memilih

Pengangkatan seorang uskup tidak terlepas dari anugerah Tuhan (Roh Kudus). Oleh karena itu, jabatan uskup harus dibedakan dari jabatan duniawi dengan segala kepentingan insansinya  seperti politik, ekonomi, sosial (rasial)  dan budaya.

Terpilihnya RD Yanuarius menjadi Uskup Jayapura tidak ada hubungan dengan kepentingan otonomi khusus (OTSUS) Papua. Selain itu, Uskup yang berasal dari Paniai (OAP) itu tidak pernah mencalonkan diri, tidak berkampanye dengan mengeluarkan biaya yang besar  dan tidak pernah melakukan suap di Vatikan.

Seorang uskup diangkat bukan karena memenuhi kriteria insani, melainkan karena kehendak Tuhan. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh 15:16a).

Ungkapan Yesus ini mau mengingatkan, seseorang yang dipilih menjadi rasul, bukan karena jasa-jasanya, bukan pula karena suap-menyuap. Uskup Jayapura yang terpilih, bukan karena dia berkelimpahan harta, bukan pula karena dia OAP. Dia diangkat menjadi uskup karena kehendak Tuhan.

RD Yanuarius telah menanggapi tawaran Allah dengan menjawab ‘Ya’. Sebagai konsekuensinya, dia diutus Tuhan untuk melayani umat-Nya agar mereka mengalami kasih dan kebaikan Allah. “Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah, dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu” (Yoh 15:16b).

Ungkapan “Akulah yang memilih kamu” mengandung konsekuensi lebih jauh, bahwa seorang murid Yesus tidak boleh bertingkah laku menurut cara-cara duniawi.

Dia harus berani melepaskan ikatan-ikatan yang membelenggu, seperti selera pribadinya, kaum keluarganya, suku bangsanya. Sebaliknya, seorang murid Yesus harus mengalami kehilangan diri.

“Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju” (Luk 9:3). Semuanya ditinggalkan jika ingin mengikuti Yesus Kristus secara lebih sempurna.

Selain itu, seorang murid Yesus harus menerima sabda Yesus dengan iman, meskipun terkadang bertentangan dengan logika manusiawi. Sebab, seorang pengikut Yesus, termasuk uskup, tidak hanya membawa damai, tetapi juga pertentangan. “Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan” (Luk 12:51).

Kerendahan Hati Seorang Hamba

RD Yanuarius telah mengakui, penunjukan dirinya sebagai Uskup merupakan panggilan sebagai ‘hamba’ Tuhan untuk melayani masyarakat Papua (Kompas, 31 Oktober 2022).

Keyakinan pribadinya ini sudah tepat karena ia sungguh menyadari jabatan uskup sebagai anugerah Tuhan. Hal ini berbeda dengan jabatan seorang gubernur, bupati, atau walikota.

Menjadi hamba Tuhan berarti memutuskan untuk memilih gaya hidup Kristus. Rasul Paulus menulis, “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang” (1Kor 9:19).

Istilah ‘hamba’ dalam teks tadi tidak hanya diartikan sebagai bawahan dalam sebuah hirarki, tetapi juga sebagai orang yang mengikatkan diri terhadap gaya hidup tuannya, yaitu gaya hidup Yesus Kristus.

Ketika memperlihatkan gaya hidup yang sesuai dengan Sabda Allah, seseorang menjadi hamba Tuhan. Apalagi, jika ia mampu memengaruhi orang lain untuk berbuat baik sesuai dengan kehendak Allah.

Konsep hamba Tuhan itu berkaitan erat dengan kerendahan hati. Term ini dipadankan dari kata humility, yang berasal dari kata Latin humus ‘tanah’ atau ‘bumi’. Jadi, secara harfiah kerendahan hati menempatkan diri “membumi” ke tanah.

Pada Rabu Abu, Gereja mengingatkan kita akan hal ini: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19). Perkataan ini sungguh bermakna dalam, yang membuat kita semakin mengenal diri kita sesungguhnya.

Kerendahan hati adalah salah satu dari nilai-nilai dasar spiritualitas Kristiani. Santo Agustinus mengatakan, kerendahan hati adalah jalan yang pasti membawa seseorang kepada Tuhan. Bahkan beliau menegaskan: pertama-tama kerendahan hati, kemudian kerendahan hati, dan yang terakhir kerendahan hati.

Betapa pentingnya menyadari, dengan kerendahan hati seseorang mencapai kesempurnaan rohani  yakni kekudusan. Selain itu, kerendahan hati adalah ‘ibu’ dari semua kebajikan, karena ia melahirkan ketaatan, takut akan Tuhan dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhaan, kelemahlembutan, dan damai. “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut dan sabar” (Ef 4:2).

Dalam hal kerendahan hati, Yesus telah memberikan teladan secara sempurna. Kerendahan  hati-Nya tercermin dalam dua hal utama.

Pertama, untuk menyelamatkan manusia, Yesus yang adalah Tuhan rela menjelma menjadi manusia, tergantung sepenuhnya kepada Allah Bapa. Rasul Paulus menulis, “Walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:6-8).

Kedua, Yesus merendahkan diri dengan ketaatan-Nya melaksanakan tugas yang diterima-Nya dari Allah Bapa, yaitu untuk menyelamatkan kita, para pendosa (Rom 5:8), termasuk segala keadaan yang berkaitan dengan tugas penyelamatan itu. Seluruh hidup-Nya adalah cerminan kerendahan hati yang sempurna: lahir di kandang hewan, hidup miskin selama di dunia (2Kor 8:9), dipukuli, dihina, difitnah, padahal tidak bersalah; dilucuti pakaian-Nya, dianiaya sampai akhirnya wafat di salib.

Selain Kristus, Bunda Maria adalah contoh sempurna kerendahan hati dan kesempurnaan kasih. Kerendahan hati Maria telah memungkinkan Allah memilihnya sebagai ibu Putra-Nya Yesus. Bunda Maria menyadari, ia dikaruniai rahmat yang istimewa: menjadi Bunda Allah yang Mahatinggi. Meskipun begitu, ia tetap rendah hati, dengan menganggap dirinya hamba di hadapan Allah. Ia menyerahkan diri seutuhnya kepada kehendak Tuhan: “Jadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk 1:38).

Maria memandang dirinya sebagai karunia belas kasih Tuhan. “Aku mengagungkan Tuhan, hatiku bersukaria karena Allah, penyelamatku. Sebab Ia memperhatikan daku, hamba-Nya yang hina ini” (Magnificat: Luk 1: 46-56).

Melalui rahmat Tuhan, Maria hidup dalam kerendahan hati, menyerahkan diri secara total kepada Tuhan dan sesama, serta berpartisipasi aktif dalam karya penyelamatan Kristus.

Seorang Uskup (juga imam) perlu belajar menjadi pemimpin yang melayani dengan kerendahan hati. Bukan memerintah, melainkan melayani!  Groenen (dalam Percakapan tentang Mengikut Yesus, 1988: 154) menegaskan, teks Mrk 10:41-45 berkenaan dengan pengikut Yesus yang mendapat tugas khusus, mulai dari tingkat teratas (paus, uskup, imam) sampai tingkat terbawah (dewan paroki, ketua stasi, ketua lingkungan).

Dalam memahami dan menunaikan tugasnya, mereka tidak boleh berpolakan seorang kaisar, raja, presiden, gubernur, bupati, camat, lurah, kepala kampung. Lebih dari itu, mereka tidak boleh mengikuti pola seorang jenderal, mayor, kolonel, dan sebagainya.

Tantangan: Butuhkan Dukungan

 Uskup Jayapura terpilih, RD Yanuarius, berjanji akan fokus mengemban misi pelayanan Gereja bagi masyarakat sambil memperjuangkan perdamaian bagi Tanah Papua.

Menurutnya, Gereja akan tetap menyuarakan perdamaian di Tanah Papua dengan mengikuti teladan Yesus Kristus yang memperjuangkan Kerajaan Allah yang penuh damai. Gereja akan mengingatkan segala pihak terkait ketidakadilan, pelanggaran HAM, adanya stigma, dan rasisme (Kompas, 31 Oktober 2022).

Dalam memperjuangkan perdamaian di Tanah Papua, seorang Uskup Yanuarius tidak akan terhindar dari berbagai tantangan dan hambatan. Belum tentu semua OAP menerima cara dan metode perjuangan yang dilakukan sang Uskup sebagai gembala. Apalagi, beliau akan berhadapan dengan berbagai kalangan, termasuk penganut agama dan keyakinan berbeda, yang mungkin lebih besar dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini bisa menimbulkan konflik batin.

Meskipun begitu, misi perdamaian yang berpotensi menimbulkan konflik itu, kiranya menjadi ‘cambuk’ yang mengingatkan untuk terus maju. Dalam situasi seperti ini, seorang uskup tidak berjalan sendirian.

Bersama rekan-rekan imam, uskup dapat mengatasi ganasnya gelombang Laut Merah (Kel 13:17-14:29). Dengan bergandengan tangan bersama para imam, biarawan-biarawati (dan juga seluruh umat), uskup mampu melewati salib dan kematian, dan pada gilirannya akan menikmati kebangkitan yang membahagiakan. Di sinilah terjalin persaudaraan yang matang, saling mengoreksi (correctio fraterna), dan dengan penuh cinta kasih.

Dari pihak umat, dibutuhkan keterbukaan untuk dapat melakukan koreksi terhadap pemimpin Gereja yang cenderung birokratis. Groenen (1988: 155) menilai, para pejabat Gereja Katolik, khususnya di Indonesia, kadang terlalu mirip dengan para penguasa politik, bahkan militer, dan sangat serupa dengan pegawai negeri sipil. Tetapi, semuanya ini tentu tidak sesuai dengan semangat Injil, yang memperlihatkan Anak Manusia datang untuk melayani, bahkan memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk 10:45).

Untuk hal ini, barangkali ‘umat biasa’ sedikit-banyak “mengawasi” para pejabat Gereja agar mereka menjadi serupa dengan Anak Manusia, yang menjadi pola hidup mereka.

Bukan menghakimi, melainkan ‘menawarkan’ solusi berlandaskan cinta kasih, sebagai kekuatan yang dapat mengalahkan ego dan ambisi pribadi. Umat diwajibkan mendoakan uskup, imam, dan biarawan-biarawati.

Selain itu, umat diharapkan ‘menyumbangkan’ aset mereka untuk perkembangan Gereja, termasuk merelakan putra-putri mereka yang tergerak menjawabi panggilan Tuhan melalui seminari atau komunitas biara tertentu.

Penulis: Agustinus Gereda

Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap di Universitas Musamus Merauke, dan membantu di STK St. Yakobus Merauke.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *