Spiritualitas (Melayani) Guru Pendidikan Agama Katolik

Opini376 views

DI SEKOLAH  seorang guru Pendidikan Agama Katolik tentu saja mendapatkan gaji atau upah sebagai bentuk penghargaan negara/yayasan/ orangtua siswa terhadap profesinya sebagai seorang guru.

Ini sesuatu yang biasa dan sudah seharusnya demikian. Tanpa ada gaji atau upah, seorang guru Pendidikan Agama Katolik tidak mungkin bisa menghidupi diri dan keluarganya.

Selain itu, tanpa gaji tidak mungkin seorang guru Pendidikan Agama Katolik bisa mencintai profesinya. Mengajar tanpa ada gajiatau upah, itu sama saja dengan merendahkan profesinya sebagai seorang guru.

Jadi, seorang guru mendapatkan gaji atau upah dari pekerjaannya sebagai seorang pengajar dan pendidik di sekolah merupakan sesuatu yang wajar.

Meskipun demikian, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dituntut untuk menghayati sungguh-sungguh spiritualitas pelayanan yang membedakannya dengan guru pada umumnya.

Ada sebuah “nilai lebih” yang mesti ditampakkan oleh seorang Guru Pendidikan Agama Katolik yang membedakan dia dengan guru kebanyakan.Orientasi utama seorang guru Pendidikan Agama Katolik adalah menghadirkan Kerajaan Allah di sekolah melalui tugasnya sebagai pengajar dan pendidik.

Oleh karena itu seorang Guru Pendidikan Agama Katolik sejatinya mengutamakan misi untuk menghadiran Kerajaan Allah di sekolah dibandingkan upah.

Upah atau gaji harus dipandang sebagai konsekuensi dari pelayanan, bukan orientasi atau tujuan dari pelayanan. Tuhan Yesus mengatakan, Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Mat 6:33).”

Harus diakui bahwa ada guru-guru Pendidikan Agama Katolik yang sungguh menghayati semangat pelayanan tanpa memperhitungkan berapa banyak upah yang diterima.

Bagi mereka, menjadi Guru Pendidikan Agama Katolik adalah sebuah panggilan untuk pelayanan. Karena itu meskipun upah mereka kecil, tidak membuat semangat mereka surut untuk terus mengabdi demi masa depan anak bangsa dan masa depan Gereja.

Namun di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa tidak sedikit juga Guru Pendidikan Agama Katolik yang mengajar di sekolah-sekolah hanya berorientasi upah atau gaji semata. Seorang guru akan mengajar dengan penuh semangat kalau digaji dengan jumlah yang pantas. Sebaliknya, seorang guru akan mengajar seadanya jika jumlah gaji yang diterima tidak sesuai dengan harapannya.

Demikian juga dengan tugas-tugas lain selain mengajar di kelas. Apa pun yang dilakukan oleh guru yang berhubungan dengan tugasnya, selalu dikaitkan dengan uang (money oriented). Kalau tidak ada uang sebagai upahnya, maka sulit bagi seorang guru untukbekerja secara maksimal.

Selain sebagai pengajar dan pendidik, seorang Guru Pendidikan Agama Katolik (baik di sekolah-sekolah swasta Katolik maupun sekolah-sekolah negeri) harus menjadi fasilitator utama penyelenggaraankegiatan-kegiatan pastoral sekolah.

Ada banyak bentuk kegiatan pastoral yang bisa dilaksanakan di sekolah-sekolah. Di antaranya, misa pelajar, retret, rekoleksi, katekese, ziarah, camping rohani.

Sukses tidaknya program dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pastoral sekolah tidak terlepas dari peran Guru Pendidikan Agama Katolik sebagai fasilitator bahkan sebagai penanggung jawab.

Dikatakan demikian karena pastoral sekolah dengan bentuk-bentuknya seperti disebutkan di atas boleh dikatakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik yang diampu oleh guru tersebut.

Kegiatan-kegiatan pastoral sekolah merupakan pengejawantahan atau terjemahan paling konkret dari pelajaran Pendidikan Agama Katolik yang diajarkan di dalam kelas.

Meskipun demikian, tidak sedikit Guru Pendidikan Agama Katolik yang mengabaikan tanggung jawab di bidang ini. Ada guru yang berpikir bahwa tugasnya hanya sebatas mengajar di kelas. Selebihnya bukan tugasnya.

Kalaupun ia menyadari pastoral sekolah sebagai bagian dari tugasnya, maka “kesejahteraan” harus diperhitungkan. Bahkan ada yang secara gamblang menghitung tugas-tugas di luar kelas sebagai kelebihan jam mengajar, sehingga harus ada tunjangan berupa insentif tersendiri.

Fakta seperti ini menunjukkan minimnya spiritualitas diakonia yang sejatinya melekat erat di dalam diri seorang guru Pendidikan Agama Katolik.

Selain itu, muncul juga keluhan lain dari tengah umat akan minimnya peran serta sebagian Guru Pendidikan Agama Katolik yang juga katekis dalam karya pastoral di luar sekolah.

Sebagai seorang katekis, ia sejatinya adalah “tangan kanan” pastor dalam menyukseskan program kerja pastoral di paroki, stasi atau Kelompok Basis Gerejani (KBG).

Program-program pastoral akan berjalan dengan baik kalau semua komponen terlibat, termasuk di dalamnya adalah para katekis. Akan tetapi, seringkali ditemukan kenyataan bahwa ternyata ada juga katekis yang apatis karena menganggap tugas-tugas pastoral gereja bukan menjadi tanggung jawabnya.

Bahkan lebih miris lagi, mereka apatis karena kegiatan-kegiatan pastoral itu dijalankan tanpa ada upahnya, bekerja tanpa gaji. Hal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya spiritualitas diakonia atau semangat pelayanan di dalam diri seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dan katekis sedang mengalami kemerosotan.

Merosotnya spiritualitas diakonia dalam diri sebagian guru Pendidikan Agama Katolik dan katekis menjadi sebuah keprihatinan tersendiri bagi gereja sekaligus keprihatinan lembaga Pendidikan Tinggi yang mendidik dan membina para calon Guru Pendidikan Agama Katolik dan katekis.

Keprihatinan tersebut mendorong gereja dan institusi pendidikan tinggi untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan atau pembinaan yang bertujuan memperkuat karakter dan kesadaran mereka akan kekhasan panggilannya sebagai Guru Pendidikan dan Katekis yang membedakannya dengan panggilan atau profesi lainnya.

Penulis : Ludgerus Waluyo

Guru SD YPPK St. Theresia Buti-Merauke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar