Sistem yang Berubah-Ubah: Guru [Sering] Menjadi Objek Penderita

Opini680 views

RAPAT  dalam rangka kegiatan pemeriksaan ujian akhir sekolah sedang berlangsung. Seorang pejabat dinas pendidikan berkata kepada para guru, “Jika kamu tidak mau dikejar dengan kampak, luluskan saja semua siswa.

” Perkataan ini terungkap karena hampir setiap tahun orang tua atau wali peserta didik melancarkan protes ketika ada anak yang gagal dalam ujian.

Di tempat lain orang tua melakukan intimidasi terhadap guru di sekolah setelah anaknya mengalami tindakan disiplin guru. Tidak jarang guru menjadi korban kekerasan dari orang tua peserta didik, bahkan mengantarnya ke ranah hukum.

Tidak jarang guru menjadi korban dari sistem pendidikan nasional, yang suka mengubah-ubah kurikulum. Yang ada belum dilaksanakan secara penuh, datang lagi kurikulum baru.

Tentu saja guru harus bekerja ekstra untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang baru. Ganti buku pelajaran, ganti model perencanaan pembelajaran beserta evaluasinya, padahal sejatinya belum tentu menyentuh esensi sistem pendidikan.

Realitas yang dihadapi, sebagaimana dikemukakan, menyebabkan guru sering menjadi objek penderita dalam sistem pendidikan nasional kita. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional ke-78, 25 November 2023. Berturut-turut dikemukakan hakikat profesi guru beserta segala problem yang dihadapi, solusi, dan dukungan yang dibutuhkan bagi guru.

Guru Profesional dan Problematikanya

Transformasi abad ke-21 di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya didorong oleh empat kekuatan besar yang saling terkait, yaitu kemajuan IPTEK, perubahan demografi, globalisasi, dan lingkungan.

Transformasi tersebut berdampak pula pada lingkungan sekolah, khususnya tuntutan profesionalitas guru. Konsekuensinya, antara lain guru tidak hanya mampu mengajar, tetapi juga menjadi pembelajar sepanjang karier dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran, termasuk mampu memanfaatkan sarana teknologi secara tepat, bersikap kritis, dan kreatif.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (juga Permen Nomor 17 Tahun 2007 tentang kualitas dan standar kompetensi guru) menekankan bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi. Ada empat kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Penekanan pada keempat kompetensi tersebut menuntut guru tidak sekadar mengajar (kompetensi pedagogik). Ia juga harus mengembangkan profesionalitas secara terus-menerus (kompetensi profesional). Guru dituntut untuk menjalin komunikasi dengan sesama guru, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat (kompetensi sosial).

Guru harus menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, teladan bagi peserta didik, tanggung jawab, dan menjunjung tinggi kode etik guru (kompetensi kepribadian).

Gambaran tentang kompetensi yang semestinya dimiliki seorang guru tidak selalu sama dan sebangun dengan realitas yang terjadi di lapangan. Banyak yang telah menunjukkan yang terbaik sebagai guru profesional. Mereka telah berdedikasi dan memberikan pendampingan terbaik bagi peserta didik di tengah beban kerja yang tinggi.

Mereka mampu menginspirasi peserta didik untuk mencapai potensi maksimal melalui pengetahuan dan dorongan. Mereka telah memainkan peran penting dalam membimbing dan mengarahkan siswa menuju kesuksesan.

Dalam keberhasilan itu, kita patut memberi penghargaan yang setinggi-tingginya kepada guru yang bersangkutan. Namun, kita tidak boleh menutup mata terhadap sisi-sisi lainnya yang gelap.

Beberapa guru tertentu masih jauh panggang dari api. Mereka tidak melaksanakan tugas dengan sepenuh hati, tidak setia masuk kelas sehingga peserta didik merasakan adanya “sesuatu” yang hilang. Ada yang lebih sibuk mengurus dagangannya di kantin sekolah sehingga kurang fokus pada pengajaran di kelas.

Sisi gelap yang ditampilkan guru tersebut menimbulkan masalah tersendiri bagi pimpinan, rekan-rekan sejawat, peserta didik, dan orang tua. Apalagi ditambah beban administrasi sekolah yang rumit sebagai akibat dari perubahan sistem kurikulum yang terlalu dinamis. Hal ini dapat menyebabkan guru menjadi korban atau objek penderita.

Penyebab dan Dampak Guru Menjadi Korban

 Ada beberapa faktor yang diprediksi menjadi penyebab guru menjadi korban sistem pendidikan.

Pertama, perubahan kurikulum. Guru sering menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan kurikulum yang terjadi. Misalnya, Kurikulum 2013 yang kemudian direvisi tahun 2018, sekarang sudah diganti dengan Kurikulum Merdeka.

 Kedua, beban kerja yang berlebihan. Dalam menyelesaikan berbagai tagihan, seperti persiapan pelajaran, asesmen, dan kegiatan ekstrakurikuler, guru mengalami tekanan fisik dan mental. Belum lagi, ia harus menuntaskan semua tugas rumah tangga, seperti memasak, mencuci, atau mengurus anak.

Ketiga, kurangnya dukungan dan apresiasi dari pihak-pihak lain, seperti sekolah dan masyarakat. Terkadang guru merasa seakan-akan tidak berguna karena tidak dihargai sewajarnya, misalnya sistem penggajian yang terlalu rendah padahal kebutuhan hidupnya terus meningkat.

Keempat, kesulitan guru dalam mengelola disiplin peserta didik di kelas yang dapat menggangu proses pembelajaran khususnya aspek kognitif. Banyak orang tua tidak peduli akan pendidikan karakter anak di rumah, dan cenderung menyerahkan kewajiban mereka kepada guru di sekolah.

Kelima, secara pribadi guru kurang memiliki kompetensi sebagaimana dituntut. Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 8 dan Pasal 9, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, dan minimal sarjana atau program diploma empat. Kini, sertifikat pendidik hanya dapat diperoleh melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Dampak dari semuanya itu, guru menjadi kurang produktif. Hal ini dapat mengurangi produktivitasnya dalam mengajar dan memberikan pengaruh positif pada peserta didik.

Selain itu, terjadi tekanan yang tinggi dapat menyebabkan masalah kesehatan tertentu yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup sang guru. Selanjutnya, penderitaan yang berkepanjangan memungkinkan beberapa guru untuk mengajukan pensiun dini (?) dengan konsekuensi sekolah mengalami kehilangan guru yang berkualitas.

Solusi untuk Melindungi Hak Hidup Guru

Berbagai persoalan yang terjadi tidak boleh mengurangi upaya perlindungan bagi guru yang menjadi haknya. Perlindungan hak asasi guru tidak dapat dilepaskan dari perubahan yang dibutuhkan dalam sistem pendidikan. Perubahan tersebut menyangkut perubahan paradigma pendidikan, peningkatan dana pendidikan, dan pengembangan profesi guru.

Perubahan paradigma pendidikan menggeser fokus pendidikan dari mempertahankan status quo menjadi pengembangan kemampuan kritis, kreatif, dan pemecahan masalah. Pada abad ke-21 ini, sikap kritis sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan agar kita tidak mudah terjerumus ke dalam ancaman pembohongan (hoax).

Berkaitan dengan dana pendidikan, perlu dipastikan pendanaan yang memadai untuk mendukung pengembangan dan pembaruan sistem pendidikan. Hal ini perlu diberikan prioritas bagi sekolah kejuruan karena memerlukan biaya yang lebih besar.

Perubahan dalam sistem pendidikan, di antaranya menyediakan program pengembangan profesional yang berkelanjutan untuk membantu guru memenuhi tuntutan pendidikan yang terus berkembang. Hal ini telah dilaksanakan melalui program PPG di lingkungan Kemendikbudristek maupun Kemenag RI.

Perubahan yang diperlukan dalam sistem pendidikan pada akhirnya memberikan solusi untuk melindungi hak hidup guru. Pertama, dibutuhkan kurikulum yang terencana. Hal ini berarti dipastikan kurikulum yang terarah untuk mengurangi perubahan yang tiba-tiba sehingga guru memiliki peluang yang jelas dalam membelajarkan peserta didik.

Kedua, perubahan dalam perencanaan dan evaluasi kerja. Perlu dikembangkan perencanaan dan evaluasi kerja yang realistis dan adil agar guru tidak tertekan oleh beban kerja yang berlebihan. Dengan demikian, guru masih tetap melaksanakan tugas-tugas lain secara proporsional, termasuk tugas mengurus rumah tangga.

Ketiga, pemenuhan kebutuhan dukungan. Hal ini berarti memberikan dukungan yang memadai dan ruang luas bagi guru untuk mengembangkan diri melalui pelatihan dan pembinaan. Ada beberapa bentuk pengembangan diri, misalnya penyegaran penyusunan RPP atau modul ajar, mengikuti PPG, maupun studi ke jenjang yang lebih tinggi. Dukungan seperti ini sangat dibutuhkan agar guru tidak ketinggalan. Selain itu, spritualitas guru sebagai pelayan atau pengabdi tetap berkanjang dan tahan uji.

Dukungan yang Diperlukan bagi Guru

Berbagai solusi tersebut merupakan dukungan yang diperlukan guru. Secara konkret dukungan itu, antara lain kolaborasi sesama guru, peran orang tua, dan kepemimpinan pemberdayaan.

Tim kerja yang solid dan dukungan kolega (sesama guru) dapat membantu mengurangi penderitaan guru serta menciptakan lingkungan kerja yang positif dan kondusif. Dengan demikian, sikap egois dapat dikurangi, dan terciptalah relasi dan kolaborasi yang sehat dan harmonis di antara para guru.

Keterlibatan orang tua atau wali dalam pendidikan anak adalah salah satu faktor penting dalam mendukung guru dan memengaruhi karakter dan tindakan peserta didik. Lazimnya peserta didik lebih menaruh kepercayaan kepada gurunya. Dalam hal ini keteladan guru lebih membekas daripada kata-kata belaka.

Berkaitan dengan kepemimpinan pemberdayaan, kepala sekolah sebaiknya memberdayakan dan memberikan kepercayaan kepada guru. Dengan demikian, guru dapat mengembangkan daya kreasinya dalam memajukan kualitas pendidikan. Selain itu guru dapat berperan dalam memelihara kesejahteraan dan kebahagiaanya, jasmani maupun rohani.

Penutup

Penderitaan guru yang diakibatkan oleh sistem kurikulum yang berubah-ubah adalah isu yang perlu diperhatikan secara serius. Kelemahan apapun yang dimiliki seorang guru tidaklah mengurangi perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Oleh karena itu, perlindungan dan dukungan yang memadai harus diberikan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif, serta terjaminnya kenyamanan lahir-batin yang layak bagi guru. Bentuk dukungan itu, antara lain kolaborasi sesama guru, keterlibatan orang tua peserta didik, pemberian kepercayaan dan kemerdekaan pada guru untuk melakukan tindakan kreatif dan inovatif.

Penulis: Agustinus Gereda

Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap Universitas Musamus Merauke, membantu di STK St. Yakobus Merauke.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *