Sebuah Refleksi! Makna Kamis Putih Dalam Terang Injil Yohanes 13:1-15

Opini114 views

DI TENGAH arus perubahan zaman yang cepat dan tantangan kehidupan modern yang semakin kompleks, umat Katolik diajak untuk tidak kehilangan makna sejati dari setiap perayaan liturgi, khususnya Kamis Putih.

Dalam era digital dan modernitas ini, di mana perhatian manusia mudah terpecah dan nilai-nilai rohani sering kali terpinggirkan.

Kamis Putih hadir sebagai momen pengingat akan tiga dasar kehidupan Kristiani: kasih, pelayanan, dan pengorbanan.

Kamis Putih bukan sekadar mengenang Perjamuan Terakhir. Lebih dari itu, perayaan ini mengandung pesan yang sangat relevan bagi umat masa kini: bahwa kasih tidak cukup hanya dalam kata-kata, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.

Di tengah budaya yang cenderung individualis, Yesus menunjukkan bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk melayani dan merendahkan diri.

IA, Sang Guru dan Tuhan, membasuh kaki murid-murid-Nya – suatu tindakan yang secara budaya saat itu hanya dilakukan oleh budak.

Kamis Putih adalah malam di mana Yesus mengubah makna pelayanan, otoritas dan kasih melalui tindakan-Nya yang paling mengguncang: membasuh kaki murid-murid-Nya.

Dalam Injil Yohanes 13:1-15, kita tidak menemukan kisah Institusi Ekaristi (seperti dalam Matius, Markus, Lukas), melainkan sebuah “Injil dalam tindakan”—di mana Yesus mewahyukan seluruh misi-Nya bukan dengan kata-kata, tetapi dengan sebuah basuhan.

1.”Ia Mengasihi Mereka sampai kepada Kesudahannya” (Yoh 13:1)

Yohanes membuka kisah ini dengan penegasan: kasih Yesus adalah kasih yang radikal, tanpa syarat, dan total. Kata “sampai kepada kesudahannya” (Yun. eis telos) menggemakan seruan-Nya di salib: “Sudah selesai” (Yoh 19:30).

Sebelum dunia dijadikan, Ia sudah mengasihi kita (Yoh 17:24)—dan kini, di Kamis Putih, Ia membuktikannya dengan cara yang tak terduga.

Pertanyaan refleksi:
Sudahkah kita mengasihi “sampai tuntas” atau berhenti ketika pelayanan mulai melelahkan?

2.Pembasuhan Kaki: Revolusi Makna Kekuasaan (Yoh 13:4-5)

Yesus bangkit dari perjamuan—lambang kedudukan-Nya sebagai Guru dan Tuhan (Yoh 13:13)—tetapi justru merendahkan diri seperti budak.

Dalam budaya Yahudi, membasuh kaki adalah tugas hamba bukan-Yahudi, tetapi Yesus mengambil peran itu. Ia membalikkan logika dunia:

  • Kekuasaan sejati adalah pelayanan.
  • Kemuliaan sejati ada dalam kerendahan hati.

Pertanyaan refleksi:
Di gereja, keluarga, atau masyarakat, apakah kita mencari “tempat terhormat” atau siap “mengikat pinggang” untuk melayani yang tersisih?

3.Penolakan Petrus dan Panggilan untuk Diterima (Yoh 13:6-10)

Petrus menolak dibasuh kaki karena gengsi dan salah paham akan kekudusan. Yesus menjawab: “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku” (Yoh 13:8). Ini adalah paradoks rahmat:

  • Kita harus “menerima” kasih Allah sebelum mampu memberi.
  • Kesucian bukan soal “pantas/tidak pantas”, tetapi bersedia dibersihkan oleh Tuhan.

Pertanyaan refleksi:
Adakah area dalam hidup di mana kita, seperti Petrus, menolak disentuh Tuhan karena merasa “sudah cukup suci”?

4.”Aku Telah Memberi Teladan” (Yoh 13:12-15)

Yesus tidak hanya berkhotbah tentang kerendahan hati—Ia menjadikan diri-Nya teladan. Kata “teladan” (Yun. hypodeigma) berarti pola yang harus ditiru secara nyata.

Gereja melanjutkan ritus ini setiap Kamis Putih bukan sebagai drama, tetapi sebagai komitmen bahwa kaki yang kotor (dosa, kelemahan manusia) adalah medan pelayanan kita.

Pertanyaan refleksi:
Siapakah “kaki yang berdebu” dalam hidup kita—orang yang kita anggap hina, tetapi dipanggil untuk kita layani?

Penutup: Kamis Putih adalah Gaya Hidup

Yohanes 13 bukan sekadar kisah historis. Ini adalah DNA Gereja:

  • Ekaristi (yang dirayakan dalam Injil Sinoptik) dan Pembasuhan Kaki (dalam Yohanes) adalah dua sisi mata uang yang sama: Kita dipuaskan oleh Tubuh Kristus agar kuat membasuh kaki sesama.
  • Tanpa pembasuhan kaki, Ekaristi bisa menjadi ritualisme; tanpa Ekaristi, pelayanan bisa kelelahan.

Sebagai petugas gereja, saya diingatkan:

“Tugas liturgi terindah bukanlah merangkai bunga atau menyanyikan lagu, tetapi berlutut membasuh ‘kaki’ umat yang lelah, tersakiti dan terabaikan.”

Marilah kita merayakan Kamis Putih bukan hanya dengan misa meriah, tetapi dengan hati yang siap “melepas jubah” dan pergi ke tempat yang tidak nyaman—seperti Yesus.

“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, kamu pun wajib saling membasuh kaki.” (Yoh 13:13-14)

Penulis :

Ludgerus Waluya Adi, S.Ag

Guru PAK SD Inpres Mangga Dua Merauke

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *