*Suatu Penilaian dari Sudut Pandang Diksi dan Gaya Bahasa
SETIAP manusia tidak pernah terlepas dari bahasa dalam kehidupannya sehari-hari. Bahasa adalah alat untuk mengkomunikasikan segala hal (verbal maupun isyarat) dari manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, baik secara personal atau kolektif.
Terdapat beberapa elemen penting yang membentuk suatu kesatuan bahasa, termasuk dalam Bahasa Indonesia. Salah satu dari elemen- elemen ini yang dapat disebutkan adalah elemen “Kata”. Mengapa “Kata” merupakan unsur fundamental dalam sebuah bahasa? Hal ini disebabkan karena dalam mendeskripsikan suatu bahasa diperlukan sebuah unit yang kita sebut “Kata” (selanjutnya kata “Kata” ditulis dengan huruf miring/ italic).
Kata merupakan suatu unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, entah komposisi fonologis atau morfologis, sehingga kata secara relatif memiliki distribusi yang bebas (contoh distribusi kata yang bebas: Saya pukul Anjing; Anjing itu kupukul; kupukul anjing itu).
Dari contoh, jelas terlihat kebebasan dari ketiga kata untuk ditempatkan di mana saja. Dalam kegiatan komunikasi, kata-kata dijalin-satukan dalam suatu konstruksi yang lebih besar, tentu saja berdasarkan pada kaidah-kaidah sintaksis yang ada di dalam suatu bahasa.
Hal terpenting dari jalinan kata-kata itu adalah memiliki arti yang tersirat dan mewakili maksud dari pembicara. Sejatinya, setiap orang yang terlibat di dalam suatu komunikasi selalu berusaha agar orang lain memahami apa yang diutarakannya, tetapi perlu diingat bahwa secara bersamaan ia juga harus mampu memahami apa yang orang lain bicarakan, sehingga terjalinlah komunikasi dua arah yang baik dan benar.
Setiap kata yang ada dipastikan memiliki makna dibaliknya, setiap kata juga adalah merupakan alat untuk menyalurka gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika seseorang, semakin banyak menguasai perbendaharaan kata, maka akan semakin banyak pula ide dan gagasan yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan.
Mereka yang luas kosakatanya, akan dengan mudah menjalin komunikasi dengan siapa pun. Jika sebaliknya, orang dengan kosakata yang sedikit akan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan gagasan atau maksud yang dia inginkan kepada lawan komunikasinya.
Seringkali, seorang pelajar sekalipun baik ditingkat sekolah menengah atau tingkat mahasiswa tidak luput dari gagalnya membangun komunikasi, karena disebabkan oleh alasan yang telah disebutkan tadi yaitu kurangnya kosa kata dalam bahasa Indonesia. Walau sekalipun mereka mempunyai gagasan yang bagus untuk dikomunikasikan, namun tidak memiliki kata atau istilah yang tepat untuk mengutarakan gagasannya dengan baik dalam bahasa Indonesia, sehingga mereka mengalami kemunduran dalam komunikasi dengan baik.
Dan, dalam rangka kekurangan kosa kata baku, untuk menyalurkan gagasan atau maksud yang mereka ingin agar dipahami oleh lawan bicaranya maka pemilihan penggunaan bahasa-bahasa gaul pun diambil sebagai jalan alternatif pemecahan masalah.
Pilihan kata (diksi) dalam bahasa Indonesia wajib bersumber dari kamus yang adalah sebuah referensi baku yang memuat daftar kosa kata yang terdapat dalam sebuah bahasa, termasuk bahasa Indonesi juga memiliki kamusnya sendiri.
Pemakaian diksi yang bukan bersumber pada kamus bahasa Indonesia inilah yang kemudian memunculkan istilah-istilah baru dalam pergaulan yang asal usul serta makna dari istilah-istilah ini menjadi sangat beragam.
Ada yang berasal dari serapan bahasa asing (kebanyakan Bahasa Inggris) yang disatupadukan dengan kata dari Bahasa Indonesia (contoh: Ilang Feeling: kehilangan perasaan/ rasa).
Ada juga diksi yang diambil dari beberapa kata yang diakronimkan/disingkat dan disatupadukan (contoh: Mager;Malas Gerak), dan ada pula istilah gaul yang berasal dari bahasa Inggris yang disingkat (contoh:OTW; Otewe dari istilah on the way), pada contoh bagian ini terdapat keambiguan dalam penggunaannya, mengapa demikian? Karena dalam bahasa Inggris, istilah on the way dipakai untuk keadaan di mana kejadian tersebut sedang terjadi (present tense), namun uniknya dalam pergaulan sekarang istilah otewe atau on the way ini dipakai untuk menggantikan kata pergi/jalan/berangkat tanpa memperhitungkan waktu lampau, sekarang, atau akan datang (past, present, atau future. contoh: kemarin saya sudah otewe, besok baru saya otewe, dll).
Masih sangat banyak pemilihan kata gaul yang tidak bersumber pada kamus bahasa Indonesia yang sayangnya tidak memungkinkan untuk dibahas semuanya di tulisan ini secara lengkap.
Tentang bagaimana kita menanggapi fenomena penggunaan istilah-istilah yang ‘melenceng’ dari aturan berbahasa yang baik, penulis ingin menghadirkan fakta dari fenomena lain. Pada tahun 2008 kata ‘Kawanua’ yang sebelumnya adalah kata yang hanya dipakai oleh orang-orang di wilayah Sulawesi Utara saja, resmi masuk dalam daftar kamus besar bahasa Indonesia, dengan sendirinya kata ‘Kawanua’ resmi menjadi salah satu dari sekian banyak kata yang baku dalam bahasa Indonesia.
Begitu juga dengan banyak kata atau istilah lain dari bahasa daerah lainnya di Indonesia yang pada akhirnya “dipermandikan” menjadi kata baku dalam Bahasa Indonesia (contoh; kata Sungkem; jawa, kata Beta; dari maluku, dll).
Selain dari bahasa daerah di Indonesia, banyak kata (akar kata) atau istilah lain yang berasal dari kata serapan bahasa asing juga akhirnya masuk dalam daftar kosa kata dalam kamus besar bahasa Indonesia secara resmi, contoh: akar kata bahasa Yunani: Bio dipakai untuk istilah baru dalam bahasa Indonesia seperti; biokimia, biologi,dll. Kemudian akar kata dari bahasa Latin, contohnya aqua(air) menjadi akuarium, akuarius, dll. Kata dari bahasa Arab, Inggris, dan beberapa bahasa lainnya pun banyak yang diserap menjadi kata yang baku dalam bahasa Indonesia.
Kesimpulan yang bisa diambil dari topik mengenai fenomena penggunaan “Istilah-istilah gaul” dalam pergaulan ini dapat dibagi menjadi dua kesimpulan yang ditarik berdasarkan pada dua dasar pemikiran. Pertama, jika fenomena penggunaan istilah gaul dalam pergaulan itu ditinjau dari kepentingan berkomunikasi antara satu manusia dengan manusia lainnya, bisa dikatakan bahwa tujuan dari berkomunikasi adalah menyampaikan gagasan, maksud, atau permintaan antar manusia, sehingga dengan bahasa apapun dan dengan diksi maupun istilah apapun selagi jalinan komunikasi itu berjalan dan mencapai tujuan dari komunikasi verbal dalam lingkup pergaulan itu sendiri (saling paham istilah) maka tidak ada hal lain yang perlu kita batasi.
Kesimpulan kedua, jika dikomentari dari sudut pandang tata aturan berbahasa Indonesia yang baku, maka cara komunikasi dengan menggunakan istilah dari “Bahasa Gaul” menyalahi aturan atau kaidah dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1980) dengan jelas membagi gaya bahasa dalam berbahasa Indonesia yang berdasarkan pada pemilihan kata menjadi tiga jenis, yaitu gaya bahasa resmi, gaya bahasa tidak resmi, dan gaya bahasa percakapan.
Dari pembagian itu dapat membantu kita untuk secara bijak bisa menempatkan dan menyesuaikan tingkat bahasa yang hendak kita pakai dalam berkomunikasi dengan aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar (tergantung forum, lawan bicara, dan kepentingan berbicara kita).
Demikianlah, sebisa mungkin kita harus mampu menyesuaikan pemilihan kata dalam bertutur sehingga membawa efek yang positif dan keuntungan bagi kita sendiri dalam mengutarakan gagasan, maksud, maupun permintaan dalam menjalin komunikasi secara verbal dengan siapapun.
Penulis :
Raffael SB Bin Ola, S.Fil, M.Pd