Catatan Kritis Pemilihan Ketua IKF Papua Selatan Cacat Prosedur

Opini133 views

MENYIKAPI  dinamika Pemilihan Ketua  Ikatan Kerukunan Flobamora Provinsi Papua Selatan pada pada Musyawarah Daerah (Musda) I di  Hotel Halogen Merauke dari  Rabu 15 oktober 2025 yang dimandatkan kepada Paskalis Imadawa, S.Pd, saya sebagai Pemuda Flobamora menilai ini  cacat prosedur  yang mengancam legitimasi hasil musyawarah.

Mengapa demikian? Karena sistem pemilihan yang tidak representatif dan dianggap inklusif atau tidak mencerminkan keinginan seluruh anggota sehingga menimbulkan konflik internal.

Ada beberapa tungku dalam IKF yang tidak menyetujui keputusan yang diambil oleh panitia pada saat  Musda I IKF Papua Selatan karena regulasi kurang jelas dan ketua terpilih tidak mencerminkan keaslian orang Flobamora.

Dari pernyataan Ketua Panitia Musda, Daniel Taraneno bahwa pelaksanaan Musda I  sudah sesuai mekanisme organisasi dan mengacu pada AD/ART Provinsi Papua.

Namun ada perbedaan penafsiran AD-ART  Provinsi Papua Selatan yang di adopsi dari AD/ART Provinsi Papua.

Dalam  AD-ART Provinsi Papua pada Bab III pasal 7 ayat 5 tentang pengurus provinsi, sudah sangat jelas mengatakan bahwa, pengurus provinsi adalah keterwakilan dari tungku-tungku sebagai syimbol kebersamaan dalam Ikatan Keluarga Flobamora dan dilengkapi dengan pelindung dan penasehat.

Selanjutnya pada Bab IV ayat 2 tentang keanggotaan menjelaskan, semua suku luar NTT yang oleh karena hubungan perkawinan, baik laki-laki maupun perempuan.

Nah, dari pasal-pasal tersebut, kita sudah bisa menafsirkan bahwa ada perbedaan antara syarat menjadi pengurus dan dan syarat keanggotan.

Hanya saja, yang dilakukan oleh Panitia Musda I IKF Provinsi Papua Selatan Selatan melenceng jauh dari AD/ART Provinsi Papua.

Mari kita Cermati AD-ART Provinsi Papua Selatan yang konon katanya Mengadopsi AD-ART Provinsi Papua.

Pada bab XII pasal 23 tentang kriteria dan syarat serta proses Pemilihan Ketua Umum IKF Provinsi Papua Selatan.

Ayat 2 menguraikan, warga asli Flobamora dan atau yang oleh hubungan perkawinan baik suami maupun istri.

Sedangkan pada ayat 3 mengatakan, tahu dan memahami ada istiadat dan budaya NTT.

Sedangkan ayat 11 menguraikan, calon Ketua Umum IKF Provinsi Papua Selatan pernah menjadi Pengurus IKF Kabupaten-Kota dan atau sebagai anggota aktif dibawah Flobamora (dibuktikan pernyataan  ketua tungku).

Dari AD-ART IKF Provinsi Papua Selatan  pasal 23 ayat 2,3 dan 11 sudah sangat jelas saling bertentangan.

Saya mengakui pemilihan Ketua Umum IKF Papua Selatan sudah sesuai mekanismenya.

Tetapi apakah keputusan yang dilakukan oleh panitia Musda 1 IKF Papua Selatan dengan meloloskan Paskalis Imadawa sebagai Ketua Umum Flobamora selaras  pasal 23 ayat 3 dan 11?

Ada kepentingan apa di balik semua ini?

Apa karena jabatan dan kekuasaan? Ataukah kini menjadi ruang politik simbolik yang kehilangan makna kulturnya?

Apakah orang Flobamora di Provinsi Papua Selatan ini Krisis Kepemimpinan? Harkat, martabat dan jati diri  sebagai orang Flobamora seakan dijadikan alat Kepentingan.

Sebagai Anak Flobamora, saya sangat kecewa dengan hasil keputusan panitia Musda I IKF Provinsi Papua Selatan.

Oleh karena itu saya menyarankan : pertama, merevisi kembali AD-ART IKF Provinsi Papua Selatan.

Kedua melakukan audit procedural dengan melakukan audit mendalam terhadap seluruh proses, khususnya validasi mandat dan penetapan calon.

Ketiga, pemilihan ulang (re-musyawarah) atau membatalkan hasil dan mengagendakan musyawarah luar biasa atau ulang dengan jaminan transparansi penuh dan kepatuhan ketat terhadap AD-ART yang berlaku.

Bae Sonde Bae, Flobamora Lebih Bae- Bae Sonde Bae, Pemimpin Orang Asli Flobamora Lebe Bae

Penulis

Paulus K Payong, SST

Tenaga Ahli DPR Papua Selatan

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *