Merauke, Suryapapua.com– Orang pasti akan bertanya-tanya, dari-mana muncul ide dan atau pikiran membangun Patung Kristus Raja Pulau Habe di Kampung Wambi, Distrik Okaba, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan yang tingginya mencapai 29 meter.
Patung yang menjadi ikon wisata rohani tersebut, tentu ada sejarah perjalananya. Lalu pasti ada arsitek yang menginisiati-fi merancang, sekaligus membangun.
Tentu tidak semudah mengonsep membangun. Pasti ada sejarah perjalanan atau tanda-tanda tertentu dialami serta dirasakan ketika berada di pulau yang tak berpenghuni itu.
Gerakan, ‘bisikan’ dan atau tanda-tanda alam di sekitar Pulau Habe, bisa menjadi awal, sekaligus buah pikiran membuat serta menghasilkan sesuatu yang belum ada disitu.
Ternyata benar adanya. Itu dialami serta dirasakan langsung Romanus Mbaraka, Bupati Merauke saat bersemedi atau berdoa secara khusyuk di Pulau Habe beberapa tahun silam.
Ketika itu, ia (Romanus Mbaraka;red) bersama almarhum isteri tercintanya, Yohana Mekiuw mendatangi Pulau Habe.
Beberapa menit kemudian, mereka berdoa diantara onggokan batu memohon petunjuk Tuhan agar dibukakan pikiran untuk bisa membangun sesuatu di tempat yang sangat eksotis itu.
Doa dan pergumulan Romanus Mbaraka bersama almarhumah Mama Yohana Mekiuw, terkabulkan. Dimana saat sedang hening, tangisan muncul di kesunyian di tengah pulau.
Saat berbagi kisah usai pemberkatan Patung Kristus Raja Pulau Habe oleh Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC, Romanus Mbaraka mengungkapkan, ketika sedang berdoa, mendengar tangisan orang sekaligus meminta tolong.
“Memang sebelumnya, Kapal Dimas Raya tenggelam, tak jauh dari Pulau Habe hingga 700-an orang meninggal dunia,” ungkap Bupati Mbaraka dalam ceriteranya Senin (08/04/2024).
Mereka yang meninggal dunia, demikian Bupati Mbaraka, mungkin tak didoakan, sehingga menangis meminta pertolongan.
“Dari situ, saya mengamati pulau dan bertanya, apakah hanya menjadi tempat biasa seperti begini terus? Kenapa tidak dibuat atau dihasilkan sesuatu,” ungkapnya.
Bupati Mbaraka juga mengakui kalau Pulau Habe ini sangat ditakuti orang untuk tinggal, termasuk masyarakat dari Kampung Wambi.
Lebih lanjut dikatakan, setelah mengetahui orang menangis, lahirlah pikiran membangun Patung Kristus Raja di tengah pulau, agar Kristus selalu berada disini dan mereka yang tidak didoakan, Tuhan mengampuni dosa mereka masuk Surga.
Akhirnya Patung Kristus Raja dibangun dengan peletakan batu perdana tahun 2014 dan berakhir di 2016 silam.
Setelah Patung Kristus Raja dibangun dan atau diselesaikan, hitung-hitungan, sampai hari ini, kapal yang melakukan pencarian ikan di sekitar, tidak tenggelam.
“Mau percaya atau tidak, tapi sebelum patung berdiri, banyak kejadian di sekitar Pulau Habe seperti kapal tenggelam dan beberapa kejadian lain yang tak pernah diduga,” ungkapnya.
Dengan dibangun Patung Kristus Raja di Pulau Habe, speedboat juga sering putar-putar di sekitar, sebelumnya tidak sama sekali.
Hadirnya patung dimaksud, menurut Bupati Mbaraka, semua orang bisa datang berdoa, entah dari agama mana saja.
Muncul Air Tawar
Mujizat! Mungkin tepat untuk menggambarkan fakta sesungguhnya yang terjadi di Pulau Habe. Betapa tidak, dipinggir pantai-tak jauh dari berdirinya Patung Kristus Raja, terdapat sebuah sumur.
Ternyata sumur tersebut, airnya sangat tawar yang dapat diambil untuk memasak dan atau diminum.
“Sampel airnya telah saya ambil dan kirim ke laboratorium di Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk diuji. Hasil yang diterima, PH-nya, sama dengan aqua,” ujarnya.
Sumur dengan air tawar itu, katanya, selalu diambil kapal-kapal yang melakukan aktivitas pencarian ikan di sekitar untuk minum serta memasak.
Keunikan lain yang ada di Pulau Habe adalah, pasir berwarnah putih hingga airnya sangat bening dan kebiruan, saat muncul gelombang memecah di sekitar.
Tidak hanya pantainya, di tengah pulau itu, terdapat puluhan ternak kambing maupun ayam. Usut punya usut, ternyata sejumlah ternak dilepas oleh Romanus Mbaraka beberapa tahun silam.
Dari waktu ke waktu, jumlahnya terus bertambah banyak hingga puluhan ekor baik kambing maupun ayam.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun