Bulan Bahasa dan Sastra: Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia

Opini495 views

KEBANYAKAN masyarakat kita tidak peduli terhadap Bulan Bahasa dan Sastra. Umumnya, yang tahu hanyalah kalangan akademisi (bahasa/sastra), penggiat bahasa, pemerhati bahasa  serta pihak-pihak yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan kebahasaan seperti lomba baca/tulis puisi, lomba cerpen, lomba pidato dan sebagainya.

Terlepas dari Bulan Bahasa dan Sastra, belakangan ini timbul persoalan yang memprihatinkan: Kaum milenial kita lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bangga terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional). Sikap negatif terhadap bahasa sendiri.

Peringatan Bulan Bahasa dan Sastra yang kita lakukan hari ini (28 Oktober 2023), mengingatkan bahwa lahirnya bahasa Indonesia memiliki sejarah yang patut kita banggakan dan junjung tinggi.

Alasannya karena bulan bahasa adalah bulan yang penuh makna, sentimental, dan bernilai nasionalisme.

Istilah tersebut bertepatan dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, tepatnya 95 tahun silam. Isi Sumpah Pemuda itu menegaskan bahwa Indonesia memiliki cita-cita bertanah air Indonesia; berbangsa Indonesia; dan berbahasa Indonesia.

Bulan Bahasa dan Sastra diperingati pada setiap tanggal 28 Oktober, bersamaan dengan Sumpah Pemuda karena mewakilkan dan mewujudkan kecintaan kita terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Isi Sumpah Pemuda itu secara gamblang dirumuskan menjadi.

Satu, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.

Dua, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Tiga, Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Ikrar ketiga adalah menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yakni bahasa yang dapat mempersatukan seluruh masyarakat yang syarat dengan keberagaman. Pertanyaannya: apakah kita sekarang sudah bangga dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia?

Indonesia adalah negara yang terdiri atas beragam suku, budaya, dan bahasa. Kompasiana menyebutkan adanya 719 bahasa daerah di Indonesia, ada 707 bahasa yang aktif dituturkan. UNESCO mencatat adanya 143 bahasa daerah.

Keberagaman bahasa inilah, yang menjadikan Indonesia negara yang kaya akan bahasa. Maka, untuk menyatukan persepsi serta pemahaman antarpulau, antarsuku, dan keberagaman bahasa yang ada, dijadikanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Ikrar Sumpah Pemuda tidak terlepas dari rangkaian rapat oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), yang menyelenggarakan Kongres 27-29 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Rapat PPPI inilah yang kemudian mendeklarasikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Ikrar ‘menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia’ inilah yang kemudian melahirkan inspirasi untuk melaksanakan kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra. Menurut Kompas.com, tujuan Bulan Bahasa dan Sastra, antara lain sebagai berikut.

  1. Mencintai bahasa Indonesia, sebagai bahasa pemersatu sekaligus bahasa ibu.
  2. Sebagai awal perjuangan para pemuda untuk menyatukan bangsa Indonesia.
  3. Mengisyaratkan seluruh rakyat Indonesia agar tetap menjaga keutuhan bangsa, tidak mudah terpecah belah.
  4. Mengobarkan semangat dan meningatkatkan peran masyarakat dalam pembangunan bangsa (nasionalisme).
  5. Melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia.
  6. Menyatukan persepsi terhadap bahasa daerah melalui penggunaan bahasa Indonesia.
  7. Dalam dunia sastra, bahasa Indonesia memudahkan pembaca memahami pesan cerita yang disampaikan penulis.

Untuk  mencapai tujuan di atas, peringatan Bulan Bahasa dan Sastra, pada umumnya diisi dengan pelbagai kegiatan yang berkenaan dengan aspek kebahasaan dan kesastraan. Ada yang mengadakan lomba baca puisi, lomba menulis puisi, atau menulis cerpen. Ada yang mengisinya dengan kegiatan menulis karya ilmiah remaja, atau bedah buku karya sastra. Ada pula yang melakukan pemilihan duta bahasa. Dan tentu saja masih ditemukan pula berbagai kegiatan lain menyangkut bahasa dan sastra.

Peringatan Bulan Bahasa dan Sastra dapat dijadikan momen penting bagi kaum milenial untuk melakukan refleksi dalam rangka menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Untuk hal tersebut, dibutuhkan sikap dan perilaku yang positif terhadap bahasa Indonesia.

Pertama, merefleksikan perjuangan panjang b angsa kita dalam membangun peradaban. Kita diharapkan untuk selalu berbuat yang terbaik bagi bangsa ini, khususnya dalam menghargai bahasa Indonesia.

Kedua, berusaha merawat sikap yang positif terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Setia menggunakan dan mempertahankan bahasa Indonesia; bangga memiliki bahasa persatuan; dan memiliki kesadaran akan norma bahasa (bdk. Garvin & Mathiot, 1972).

Ketiga,  berkaitan dengan kesadaran akan norma bahasa, kita wajib memperhatikan penulisan dan pengucapan yang benar, menurut kaidah bahasa dan/atau ejaan. Misalnya, Mandala Motor, atau Irma Salon seharusnya ditulis Motor Mandala, atau Salon Irma yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Selanjutnya, pengucapan yang benar penulisan kata subjek, projek, atau sistem adalah /subyek/, /proyek/, atau /sistim/. Selain itu penulisan  /di/ sebagai kata depan harus dibedakan dari /-di/ sebagai bentuk pasif. Misalnya, konstruksi di rumah (bukan dirumah), atau dijual (bukan di jual).

Keempat, peserta didik hendaknya diberi porsi waktu yang memadai untuk menumbuhkan imajinasinya secara kreatif sejak dini melalui latihan menulis karya fiksi (sastra), seperti cerpen atau novel.

Kelima, penggunaan bahasa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pernalaran atau logika. Upaya menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, komunikatif, kolaboratif, dan kreatif merupakan tugas yang tidak dapat ditawar-tawar pada masa milenial ini. Dengan demikian, kaum milenial dapat terhindar dari ancaman penyebaran kebohongan (hoax).

    Penulis

 Agustinus Gereda

Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap Universitas Musamus Merauke, membantu di STK St. Yakobus Merauke.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *