Ketidakjujuran Tak Terlepas dari Situasi Eksistensial Namun Tak Dapat Dibenarkan

Opini707 views

JUJUR dapat berarti menyatakan sesuatu sesuai dengan kebenaran, bertindak seperti adanya, sesuai kenyataan, berterus terang dan terbuka. Lawan dari jujur adalah menipu, berbohong, munafik, curang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jujur adalah lurus hati, tulus, tidak curang. Sedangkan kejujuran ialah ketulusan hati, kelurusan hati. Dengan demikian, jujur adalah sikap yang lurus hati menyatakan sebenarnya, tidak menipu, menyingkap hal-hal yang bertentangan dengan fakta.

Dalam filsafat (khususnya logika), kejujuran merupakan salah satu wujud dari cinta akan kebenaran. Kejujuran adalah sikap kejiwaan (dan pikiran) yang selalu siap menerima kebenaran meskipun berlawanan dengan prasangka atau kecenderungan pribadi maupun kelompok.

Kejujuran merupakan hal yang sangat mendasar dari kehidupan manusia, dan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Kejujuran ada dalam semua ajaran agama. Bahkan kejujuran itu tidak terlepas dari kualitas hidup beriman seseorang. Suatu hasil kerja apabila tidak dilandasi kejujuran, patut diwaspadai sebagai suatu awal yang buruk dan menimbulkan malapetaka.

Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari justru yang dijumpai adalah taksonomi ketidakjujuran seperti berbohong, sengaja curang, sengaja menjadikan data orang lain sebagai miliki sendiri, menahan informasi (misalnya seorang atasan tidak memberi informasi kepada bawahan atau sebaliknya) dan tidak menyebarkan informasi kepada masyarakat yang membutuhkannya.

Dalam dunia akademik, sering terjadi perbuatan yang tidak jujur sebagai jalan pintas untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, seperti tindakan mencontek waktu ujian maupun tindakan plagiarisme dalam publikasi ilmiah sebagai suatu pelanggaran terhadap hak cipta.

Akhir-akhir ini merebak deras berbagai berita bohong alias hoax. KBBI mengartikan hoax sebagai berita bohong, informasi yang direkayasa untuk menutup hal yang sebenarnya. Dengan kata lain, hoax adalah upaya pemutarbalikan fakta dengan menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan namun tidak dapat diverifikasi kebenarannya.

Contoh-contoh realitas di atas memperlihatkan bahwa prinsip kejujuran selalu berbenturan dengan ketidakjujuran atau kebohongan. Mengapa?

Ketidakjujuran Tidak Berdiri Sendiri

Prinsip hidup yang jujur tidak pernah dipisahkan dari situasi dan kondisi masyarakatnya. Seorang pegawai yang bekerja rajin, tekun, jujur  dan disiplin belum tentu menduduki jabatan yang strategis sekalipun ada peluang. Hal ini terjadi karena pimpinannya mungkin takut kalau kejujuran bawahannya itu dapat mengganggu kenyamanan diri sang pemimpin.

Meskipun begitu, ketika mengalami ketakcukupan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya, seseorang bisa berbalik haluan. Sang istri mengomel, anak-anak minta dibelikan buku, ada anak yang jatuh sakit, biaya pendidikan tertunda. Sementara itu persediaan dana semakin menipis. Apakah memang demikian risiko orang yang mempertaruhkan prinsip kejujuran?

Dalam situasi seperti itu, seseorang bisa kehilangan prinsip kejujurannya. Apalagi jika dibujuk dengan janji akan diberi 10 persen, misalnya, jika dia bersedia menaikkan angka kwitansi pembelian perlengkapan kantor agar masalah kekurangan dana dapat diatasi.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa pimpinan dan bawahan sama-sama menipu alias “baku tipu.” Sejauh mana prinsip kejujuran tetap bertahan bila berhadapan dengan situasi eksistensial dan konkret? Benarkah bawahan tadi terlalu lemah dan terpaksa menerima bujukan pimpinannya?

Awalnya bawahan memegang teguh prinsip kejujurannya. Ia berusaha melawan arus. Meskipun keadaan ekonominya sangat lemah, ia masih bertindak menurut kata hatinya yang jujur. Tetapi, akhirnya ia merasa bahwa arus yang ia lawan terlalu deras. Ia harus bergulat dengan hati nuraninya. Hatinya terombang-ambing antara pertimbangan yang satu dan pertimbangan lainnya.

Di satu pihak bawahan itu harus bertindak jujur. Tetapi, di pihak lain ia harus loyal dan taat kepada atasannya. Apalagi ia harus menolong keluarganya. Apakah bawahan itu dapat dipersalahkan begitu saja? Sikap dan jalan keluar apa/ bagaimana yang harus dilakukan? Apakah nilai kejujuran tadi berdiri sendiri, terlepas dari struktur sebuah masyarakat?

Mencari Akar Terdalam

Nilai atau prinsip kejujuran memang harus tetap ditegakkan dan dijaga kelanggengannya. Akan tetapi, perlu dicari cara dan faktor-faktor yang memungkinnya terjadi. Di dalam masyarakat kita, telah lama dilaksanakan penanaman nilai-nilai luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), khususnya pada masa orde baru. Kemudian, kita kenal adanya sosialisasi nilai-nilai moral. Banyak ceramah dan khotbah dikumandangkan dari mimbar pemerintahan dan mimbar rumah ibadah.

Oleh Kemendiknas (2013) telah dirumuskan 18 nilai pendidikan karakter yang akan ditanamkan dalam diri peserta didik sebagai upaya membangun karakter bangsa. Nilai-nilai dalam pendidikan karakter versi Kemendiknas tersebut meliputi religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu (sikap dan cara berpikir), semangat kebangsaan (nasionalisme), cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan (alam), peduli sosial (masyarakat) dan tanggung jawab.

Untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia, pihak Dikti mencanangkan Pendidikan Anti-Korupsi sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Tetapi, apakah mata kuliah tersebut dapat memberikan jaminan? Apakah pada suatu hari kelak sang alumni mampu bertindak jujur di dalam masyarakat dengan segala situasi dan kondisinya?

Memang kita patut bersyukur atas usaha-usaha tersebut. Akan tetapi, apakah nilai-nilai moral sudah cukup terpelihara? Dalam hal ini, kita sebaiknya melihat struktur ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang menghambat perkembangan nilai moral, termasuk nilai kejujuran. Dengan kata lain, kita perlu mencari akar yang terdalam dari ketidakjujuran. Apakah orang bertindak jahat itu karena orangnya memang jahat ataukah karena situasi yang menyebabkan ia berbuat demikian?

Takut Mengambil Risiko

Situasi dilematis seperti itu sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita. Kapan orang biasanya melakukan penipuan? Hal ini dapat terjadi pada saat-saat krisis, terjepit, atau ketika menemui jalan buntu. Mungkin juga pada saat ia merasa kepentingannya dirugikan. Mengapa tidak jujur? Takut mengambil risiko: dimarahi, dimaki, dipukul oleh mereka yang “berkuasa”, atau pun takut rahasia pribadinya tersingkap.

Selain itu, orang melakukan penipuan karena mempertahankan loyalitas atau merasa tidak berdaya dari segi ekonomi, misalnya, seperti dalam ilustrasi di atas. Situasi konkret yang dialami bawahan tadi adalah karena penghasilannya tidak cukup untuk membiayai keluarganya.

Banyak kasus serupa dapat kita saksikan di lingkungan masyarakat kita. Misalnya, tanpa alasan yang jelas pimpinan sebuah yayasan mengurangi honor bulanan dari seorang pegawai. Beberapa hari kemudian pegawai tersebut sengaja tidak masuk kantor. Ketika ditanyakan, ia menjelaskan bahwa istri dan anak-anaknya jatuh sakit. Padahal pegawai tersebut menipu sang majikan. Alasannya, bukan karena istri dan anak-anaknya sakit, melainkan karena ia tidak puas lantaran diperlakukan demikian. Tindakannya ini lebih merupakan suatu protes terhadap perlakuan yang tidak adil dari majikannya.

Contoh lain dapat kita temukan di lingkungan pendidikan. Kepala sekolah dan guru-guru “wajib” memberi nilai baik, meskipun ada sejumlah anak didik yang tidak mampu, misalnya dalam keterampilan membaca-menulis-menghitung (CALISTUNG). Semua anak wajib naik kelas atau wajib lulus, biarpun ada siswa yang nyata-nyatanya tidak memenuhi syarat. Apakah kepala sekolah dan guru-guru begitu lemah sehingga terjerumus ke dalam permainan penipuan? Belum tentu demikian! Kiranya ada faktor-faktor lain yang turut menjadi poin pertimbangan.

Di satu pihak memang perlu adanya loyalitas kepada atasan. Tetapi di lain pihak, baik sekolah maupun pribadi sang guru tidak mau menjadi korban material maupun nyawa karena ketidakberhasilan siswa-siswinya.

Contoh lain ada lembaga atau organisasi yang tidak mampu membayar gaji karyawannya sesuai dengan besaran upah minimum. Akan tetapi, dia terpaksa “mengatur” sedemikian rupa dalam laporannya, membuat laporan palsu agar tidak ditegur pihak ketenagakerjaan. Padahal ia menipu dirinya sendiri serta melakukan ketidakadilan terhadap karyawannya.

Contoh lain lagi, para pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN) diwajibkan untuk melakukan apel pagi di lingkungan kerjanya masing-masing atas nama peningkatan kualitas kedisiplinan. Akan tetapi, apa yang terjadi? Setelah menandatangani daftar hadir, ada yang meninggalkan tempat tugasnya karena seribu satu macam dalih (modus), misalnya menjemput anaknya di sekolah. Di manakah hati nuraninya yang jujur?

Upaya Memelihara Kejujuran

Upaya apa yang dilakukan untuk merawat kejujuran? Kejujuran bukanlah suatu prinsip yang terjadi begitu saja tanpa mengusahakannya. Dengan bertindak jujur, hidup kita menjadi tenang dan bahagia. Peristiwa Yakub yang menipu Esau, kakak kandungnya, yang dikisahkan dalam kitab Kejadian (bab 25-33) memperlihatkan bahwa ketidakjujuran menyebabkan seseorang tidak dapat hidup tenang, damai, dan bahagia.

Selanjutnya, kejujuran memudahkan kita memperoleh kepercayaan dari orang lain, memiliki banyak relasi, percaya diri, terhindar dari fitnah, dan menjaga nama baik. Apakah kita selalu menepati janji yang pernah kita ucapkan?

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memelihara kejujuran. Pertama, selalu mengetahui dan menyadari manfaat atau buah positif dari kejujuran. Kedua, membuktikan kepada orang lain bahwa kita pantas dipercaya. Ketiga, mengakui kesalahan dengan rendah hati. Keempat, selalu berkata jujur.

Upaya-upaya mengatasi ketidakjujuran hendaknya dibiasakan sejak dini di dalam keluarga. Sebab “Harta yang paling berharga adalah keluarga. Istana yang paling indah adalah keluarga. Puisi yang paling bermakna adalah keluarga. Mutiara tiada tara adalah keluarga” (lirik lagu Keluarga Cemara).

Di dalam keluarga inilah nilai-nilai etis dan moral, termasuk nilai kejujuran ditaburkan, dirawat, dan dijaga. Upaya tersebut kemudian diteruskan dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, lalu dimantapkan dalam lingkungan sekolah dan kampus. Bahkan prinsip kejujuran ini hendaknya dilestarikan hingga akhir hayat.

Penutup

Sebuah pepatah Inggris mengatakan, “Honesty is the best policy.” Kejujuran adalah kebijakan yang paling baik. Masalah kejujuran tidak begitu mudah dicari solusinya. Ada banyak orang yang sadar atau tidak sadar, melakukan ketidakjujuran.

Apakah karena manusia pada dasarnya terbatas dan tidak berdaya? Memang benar juga. Akan tetapi, de facto ketidakjujuran tidak selalu terjadi karena kelemahan pribadi manusia. Sebab, ada struktur-struktur dalam masyarakat yang dapat memengaruhi penghayatan dan pengamalan nilai kejujuran, seperti struktur ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Kondisi-kondisi semacam ini terkadang “memaksa” orang untuk mengorbankan prinsip kejujurannya.

Faktor-faktor tersebut dapat mengancam nilai-nilai moral, termasuk prinsip kejujuran. Persoalannya tidak hanya menyangkut masalah ketidakjujuran, tetapi juga faktor sosial. Meskipun demikian, kebohongan atau penipuan dengan modus apapun tidaklah dapat dibenarkan.

Dalam rangka membina sikap yang jujur, hendaknya tidak diabaikan upaya pembenahan situasi dan kondisi masyarakatnya. Dengan kata lain, sebuah masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial diharapkan mampu mendorong terciptanya kejujuran. Tentu saja tanpa mengabaikan upaya ke jalan pertobatan untuk mengatasi keterbatasan atau kelemahan manusiawi kita. Meskipun demikian, ketidakjujuran pada hakikatnya tidak dapat dibenarkan.

Akhirnya, dibutuhkan latihan yang tak kunjung putus, penuh kesabaran dan pengorbanan dalam rangka merawat kejujuran. Sikap yang rendah hati mengakui kesalahan, menimbulkan kepercayaan orang lain, dan mengasah hati nurani merupakan tanda-tanda seorang pribadi yang mampu menerapkan prinsip kejujuran, yang dimulai dari hal-hal yang kecil.

Penulis :  Agustinus Gereda

Alumnus STFK Ledalero,  Flores- NTT (1986) dan Universitas Hasanuddin Makassar (2010) yang kini menjadi Dosen Tetap di Universitas Musamus Merauke dan membantu di STK St. Yakobus Merauke

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar