Bolekah Pemilu Ditunda?

Opini381 views

BEBERAPA waktu lalu bahkan sampai saat ini, publik dikagetkan dengan munculnya wacana atau lebih tepatnya aspirasi beberapa elit partai di negara ini yang mencetuskan ide penundaan pelaksanaan Pemilihan Umum yang akan digelar pada bulan Pebruari 2024,  khususnya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu Legislatif.

Menanggapi wacana penundaan pelaksanaan pemilu yang sedianya dilaksanakan pada awal tahun 2024, saya berpendapat bahwa boleh-boleh saja aspirasi tersebut di suarakan, apalagi oleh mereka para elit partai di level pimpinan pusat, ketika mereka menghitung dengan rumus kalkulasi kekuatan poltik yang dimiliki partainya, khususnya kekuatan di senayan. Dan tidak kalah penting adalah karena mereka adalah koalisi partai yang mengusung calon presiden yang menang pemilu 2019 dan hari ini sementara menjabat.

Untuk itu menurut saya dari optik HTN, aspirasi agar pemilu ditunda yang disuarakan oleh beberapa elit partai ini, silahkan, boleh saja dan ini aspirasi yang wajar saja, Karena partai pemilu didirikan dan disahkan oleh negara, selain sebagai peserta pemilu juga sebagai pengusung aspirasi.

Saya yakin para elit partai yang menyuarakan penundaan pemilu, bukan karena melek Kontitusi Negara, tetapi justru karena mereka mengerti dan paham, bahwa Konstitusi Negara Republik Indonesia hasil amandemen IV, memang tidak mengatur penundaan pemilu. Dan mereka pun telah mengerti dan paham bagaimana agar aspirasi mereka bisa mendapat dukungan luas dan akhirnya bisa benar-benar terjadi penundaan,

Artinya mereka paham bahwa untuk meloloskan aspirasi mereka, bila Konstitusi dalam hal ini adalah UUD NRI 1945, tidak atau belum mengatur penundaan pemilu, maka terlebih dahulu dilakukan amandemen UUD NRI 1945 untuk yang V kalinya dengan merubah pasal 22E.

Perubahan ini dilakukan dengan penambahan ayat yang memuat tentang alasan-alasan pelaksanaan pemilu dapat ditunda di Negara Indonesia dan juga harus ada ayat yang mengatur akibat dari penundaan pemilu 2024 nanti, dengan memuat bagaimana mengantisipasi kekosongan jabatan Presiden dan Wapres, juga kekosongan keanggotan DPR RI, DPR Propinsi dan Kabupaten/Kota, termasuk Kekosongan jabatan kepala daerah, bila penundaan pun terjadi pada Pilkada di akhir tahun 2024.

Sebagaimana kita tahu bersama bahwa  pada Pasal 22E yang terdiri dari 6 ayat, yang mana pada ayat 1 telah dengan jelas dan tegas menyatakan : bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan sekali dalam lima tahun.

Ayat 1 Pasal 22E ini telah menutup celah untuk adanya penundaan pemilu. Sehingga suka tidak suka, mau tidak mau bila aspirasi ini terus menggila dan pada akhirnya mendapat dukungan luas, khususnya dukungan dari para penghuni senayan, maka menurut saya bila para elit partai mampu menggerakkan mesin partai mayoritas yang juga sebagai mesin politik, saya yakin Pasal 37 tentang Perubahan UUD NKRI 1945 akan menjadi senjata pamungkas perjuangan aspirasi penundaan pemilu, bisa saja tejadi dalam Sidang Tahunan MPR RI 2023.

Dan apabila benar-benar terjadi penundaan, maka sudah pasti berdampak pada pengisian jabatan yang pejabat-pejabatnya lahir dari proses rekruitmen atau pesta demokrasi yang kita sebut pemilu.

Sebagai insan akademis yang mengabdikan diri 20 tahun di dunia pendidikan tinggi khususnya Ilmu hukum dengan konsentrasi Hukum Tata Negara, saya berpendapat bahwa ini bacaannya orang politik hukum, sehingga dengan aspirasi penundaan pemilu ini maka sangat berpotensi terjadinya amandemen V dari UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Dan bila yang diamandemen Pasal 22E, maka idelanya harus 3 penambahan ayat yaitu, ayat 7, 8 dan 9, yang rancangan materinya sebagai berikut :

  1. Rancangan ayat 7 ; Pelaksanaan pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditunda pelaksanaannya, jika situasi dan kondisi negara dalam keadaan perang, kerusuhan sosial, bencana alam, wabah penyakit yang tidak kunjung berakhir, dan krisis keuangan negara yang menyebabkan negara tidak dapat dapat membiayai pelaksanaan pemilu.
  2. Rancangan ayat 8 ; Jabatan Pemerintah mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah (Gubernur,Bupati dan Wali Kota), yang seharusnya berkahir Masa Jabatannya pada pemilu Tahun 2024, akan berubah menjadi Pejabat yaitu, Pejabat Presiden dan Wakil Presiden, Pejabat Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, sampai dengan pelaksanaan pemilu;
  3. Rancangan ayat 9 ; Keanggotaan MPR RI, DPR RI, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten/Kota, yang seharusnya berakhir Masa Jabatannya pada Pemilu Tahun 2024, akan berubah menjadi MPRS RI, DPRS RI, DPRS Propinsi, DPRS Kabupaten/Kota, yang keanggotaannya bersifat sementara, sampai dengan pelaksanaan pemilu.

Terkait dengan Jabatan Presiden yang di isi oleh Pejabat Presiden, negara kita pernah mengalaminya, tanggal 12 Maret 1967, setlah Pidato Nawaksara ( Laporan Pertanggungjawaban ) Presiden Soekarno ditolak oleh MPRS. Kemudian dalam Sidang Umum MPRS tanggal 27 Maret 1968, Jenderal Soeharto ditetapkan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, jadi ada Pejabat Presiden yang menjabat selama 1 (satu) tahun.

Kalau situasi ini terjadi,  maka Presiden/Wapres, Gubernus/Wagub, Bupati/Wabup, Wali Kota/Wawali Kota, Anggota MPR, DPR, DPR PROPINSI DAN DPR KABUPATEN/KOTA, akan mendapat tiket gratis duduk setahun tanpa pemilu.

Bila cara ini yang akan ditempuh untuk meloloskan aspirasi para elit partai, namun menurut pendapat saya, para politisi penghuni gedung  Senayan akan kerepotan menentukan alasan yang benar-benar fundament yang akan dimasukkan dalam rancangan ayat 8. Karena salah memilih atau menentukan alasan penundaan ini sama halnya dengan mentelanjangi negara dan atau sedang memposisikan negara dalam keadaan tidak berdaya, dan ini sangat berpotensial sekali untuk muncul rasa tidak percaya terhadap negara dan akan memicu aspirasi dan tuntutan disintegrasi bangsa.

Demikian uraian ini saya sampaikan, semoga bermanfaat untuk kita semua, baik masyarakat luas maupun para mahasiswa khususnya mahasiswa ilmu politik dan ilmu hukum. Marilah kita selalu kritis dalam mengawal demokrasi dan kehidupan politik negara yang selalu dinamis.

Penulis : Burhanuddin Zein,

Akademisi Senior pada Konsentrasi Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Musamus di Merauke,

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *