BANYAK umat Katolik kurang memahami pentingnya memberi nama baptis kepada anaknya yang baru dilahirkan. Padahal mereka sudah mengantongi ‘nama keluarga’ dan/atau ‘nama klen’ menurut adat-istiadat mereka.
Misalnya, pada masyarakat Lamaholot (di Kabupaten Flores Timur dan Lembata) dapat dijumpai nama-nama, seperti Boli (laki-laki), Nogo (perempuan), Peni (perempuan), Bala (laki-laki). Di belakang nama-nama itu biasanya ditambahkan nama marga (klen), yang digunakan untuk laki-laki maupun untuk perempuan, seperti Hayon, Werang, Niron, Tukan, Lajar, Wuwur, Making, Bediona, Keraf, Lewar, atau Hurit.
Dalam praktiknya, ada orang yang tidak menggunakan nama klen di belakang nama keluarga. Hal ini berarti nama klen tidak wajib digunakan, namun yang bersangkutan tetap diakui sebagai bagian dari klen yang dianut oleh keluarganya.
Sesuai dengan tradisi Katolik, nama tersebut akan ditambahkan nama baptisnya di depan. Nama baptis adalah ‘nama kristiani’ (Christian name). Jadi, bukan nama yang berasal dari agama-agama yang lain.
Disebut nama baptis karena diberikan pada waktu seseorang dibaptis oleh pelayan (sakramen) Gereja Katolik. Nama baptis itu, kemudian dalam buku baptis (Gereja) atau akta kelahiran (negara), ditulis di depan. Misalnya, Boli (nama keluarga) dan Lewar (nama klen) dan ditambahkan Yohanes (nama baptis), akan menjadi Yohanes Boli Lewar. Ada juga yang menggunakan nama baptis dan nama keluarga tanpa nama klen. Misalnya, Markus Bala saja, tanpa Lajar.
Perlu disadari bahwa nama baptis itu diberikan dengan maksud dan bermakna kristiani, serta mendukung iman kristiani. Hal ini berarti nama baptis (baik laki-laki maupun perempuan) diambil dari nama orang kudus, yang secara kanonis sudah menerima gelar santo atau santa. Nama baptis itu mengandung harapan (doa) dan makna yang mendalam.
Dalam praktiknya, kadang terjadi persoalan karena pemberian nama baptis Katolik kepada seorang anak jauh dari harapan, atau kehilangan makna kristiani. Bahkan muncul nama-nama yang asing. Terkadang di tempat-tempat tertentu, nama baptis Maria dan Yosef begitu dominan. Padahal masih begitu banyak nama baptis lain, yang dapat dipilih, dan bila perlu disesuaikan dengan tanggal lahirnya.
Jika demikian, seseorang yang sudah menganut agama tertentu, tidak dapat diberikan nama baptis atau nama kristiani kepadanya, kecuali yang bersangkutan bersedia menjadi Kristen. Sebab, hal ini akan menjadi batu sandungan bagi umat, baik yang beragama Kristen (Katolik) maupun yang beragama lain tadi.
Artikel ini bertujuan memberikan pencerahan bagi pembaca, khususnya yang beragama Katolik, agar mereka memahami dan menerapkan makna pemberian nama baptis kepada anak yang baru dilahirkan. Selain itu, pembaca diharapkan memahami pandangan resmi Gereja Katolik sehingga tidak terjebak ke dalam pendapat (apalagi ‘selera’) orang atau kelompok tertentu, yang (mungkin) berasal dari sebuah aliran sesat.
Penggunaan Orang Kudus sebagai Nama Baptis
Aturan pemberian nama baptis Katolik berkenaan dengan tradisi (dengan huruf kecil) atau kebiasaan Gereja. Meskipun demikian, pemberian nama baptis tidak dapat dilepaskan dari Kitab Suci, Magisterium Gereja, dan Tradisi (dengan huruf besar) suci. Tradisi suci (dengan huruf besar) berkenaan dengan pengajaran lisan dari Yesus Kristus dan para Rasul-Nya, yang kemudian dilanjutkan oleh para penerusnya oleh kuasa mengajar Gereja.
Dalam upacara (liturgi), imam (pastor) akan menyapa seseorang dengan nama baptisnya, Yohanes, misalnya. “Yohanes, aku membaptis engkau dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Rumus baptis ini diambil dari Kitab Suci (Mat 28:19).
Nama baptis itu mengingatkan kita akan bergabungnya seseorang dengan Yesus Kristus dan menjadi anak Allah. Dengan demikian, penggunaan nama baptis merupakan tradisi baik Gereja yang pantas diteruskan, meskipun tidak termasuk syarat demi sahnya pembaptisan.
Katekismus Gereja Katolik (KGK 2156) mengatakan, “Di dalam Pembaptisan, nama Tuhan menguduskan manusia dan seorang Kristen mendapat namanya di dalam Gereja. Nama itu boleh dari orang kudus, artinya seorang murid Yesus yang telah hidup dalam kesetiaan kepada Tuhannya. … Nama baptis itu dapat juga menyatakan satu misteri Kristen atau satu kebajikan Kristen.”
Tradisi penggunaan nama orang kudus sebagai nama baptis sudah ada sejak abad-abad pertama di Gereja Timur. Pada abad ke-4, nama orang kudus digunakan setelah seseorang menerima Sakramen Baptis. Santo Yohanes Krisostomus menganjurkan kepada orang tua agar memilih nama orang kudus yang memiliki keutamaan hidup kristiani bagi anak-anaknya. Melalui nama baptis, seseorang diharapkan meneladani hidup orang kudus tersebut dalam mengikuti Tuhan.
Sejak abad ke-13, tradisi ini menyebar di Gereja Barat. Pada abad ke-16, sebagai tanggapan atas kelompok reformasi yang menentang penghormatan kepada orang-orang kudus, Gereja Katolik menekankan penggunaan nama orang kudus sebagai nama baptis. Penegasan penggunaan nama orang kudus sebagai nama baptis tertuang dalam Cathecismus Romanus (1566) dan Rituale Romanum (1614).
Menurut Kitab Hukum Kanonik 1983 (KHK 855), “Orang tua, wali baptis, dan pastor paroki hendaknya menjaga agar jangan diberikan nama yang asing dari semangat kristiani.” Kanon ini dengan jelas menyebutkan bahwa tidak wajib memilih nama seorang kudus pada pembaptisan, sejauh nama yang digunakan itu memiliki makna kristiani atau martabat kekudusan ilahi.
Berdasarkan KGK dan KHK, aturan penggunaan nama baptis bertujuan memberikan makna kristiani. Di sini, umat bebas memilih nama baptis dari seorang kudus untuk anaknya, namun tidak mengabaikan makna kristianinya. Meskipun demikian, penggunaan nama orang kudus sebagai nama baptis sangat mendalam maknanya, dan karena itu sangat baik dan dianjurkan oleh Gereja Katolik.
Dalam Audiensi Umum pada tanggal 18 April 2018, Paus Fransiskus mengingatkan pentingnya nama baptis. “Allah memanggil tiap orang dengan nama, mencintai kita secara personal, dalam kenyataan sejarah kita. … Allah terus memanggil nama kita sepanjang tahun dan dengan berbagai cara menggemakan panggilan untuk menjadi serupa dengan Putra-Nya Yesus.”
Oleh Sri Paus, nama baptis dipandang penting karena memberikan identitas kristiani yang senantiasa terikat pada Allah (https://parokicikarang.or.id/detailpost/pentingnya-menggunakan-nama-baptis).
Makna Pemberian Nama Baptis
Nama baptis atau nama kristiani diambil dari nama-nama yang ada di dalam Kitab Suci. Nama-nama itu biasa digunakan juga oleh Gereja Protestan karena berasal dari Kitab Suci yang sama. Dalam Gereja Katolik, nama baptis tidak hanya diambil dari Kitab Suci, tetapi juga dari tradisi Gereja, seperti kisah santo dan santa, atau beato dan beata. Dengan demikian, ada nama-nama dalam Gereja Katolik yang tidak terdapat pada agama lain karena sumber tradisi khusus Katolik tadi.
Penggunaan nama orang kudus sebagai nama baptis atau nama kristiani memiliki empat makna (Martasudjita, 2003: https://www.gramedia.com/best-seller/nama-baptis-katolik-perempuan/).
Pertama, seseorang diharapkan memancarkan keutamaan, kesucian, dan keteladanan orang kudus atau nama santo dan santa yang dipilih.
Kedua, kita mengimani bahwa orang kudus menjadi perantara dan membantu seseorang untuk hidup layak di hadapan Allah.
Ketiga, nama baptis atau nama kristiani merupakan simbol hidup baru yang diterima melalui baptisan.
Keempat, penggunaan nama orang kudus (santo dan santa) mengungkapkan makna persekutuan para kudus, yaitu persekutuan Gereja dengan Allah Tritunggal dan dengan semua umat beriman yang masih hidup, yang sudah meninggal, dan yang sudah mulia di surga, yakni para kudus. Persekutuan ini mengungkapkan relasi kasih dan keselamatan yang tidak pernah terputus.
Pemberian nama baptis dalam Gereja Katolik berbeda dengan dalam Gereja Protestan. Dalam Gereja Katolik, nama baptis atau nama kristiani bertujuan meneladani sikap hidup orang kudus yang namanya digunakan. Nama baptis tersebut diambil dari nama orang kudus yang telah memperoleh gelar santo atau santa. Misalnya, Santo Gregorius, Santo Kristoforus, Santa Teresia dari Avila, atau Santa Bernadeta. Sementara dalam Gereja Protestan, nama baptis umumnya diambil dari nama para nabi seperti Samuel, Abraham, Musa, atau Yosua dalam Perjanjian Lama maupun nama tokoh-tokoh Perjanjian Baru seperti Lukas, Markus, atau Filipus.
Nama Baptis Dikukuhkan dalam Liturgi Baptis
Di daerah-daerah tertentu, nama baptis itu umumnya melekat dengan nama keluarga dan nama klen sehingga tercatat resmi di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DUKCAPIL). Misalnya Martina Peni Tukan, Yosef Bala Making, atau Yohana Kewa Niron, yang ada pada masyarakat Lamaholot.
Sementara di daerah-daerah lain, nama baptis itu dapat berdiri sendiri. Artinya, nama baptis itu diberikan kepada seseorang sesudah namanya dicatat di Dinas DUKCAPIL. Misalnya, Suhartini (dari etnis Jawa) dicatat menurut akta kelahirannya. Kemudian ia dibaptis dengan nama Bernadeta. Nama baptis Bernadeta tidak wajib digunakan secara resmi, namun yang bersangkutan tetap sebagai anggota Gereja Katolik.
Dalam Gereja Katolik, nama baptis atau nama kristiani dikukuhkan melalui upacara/liturgi penerimaan Sakramen Baptis. Sakramen ini adalah dasar ‘kelahiran kembali’ seorang warga Gereja dan pintu masuk bagi sakramen-sakramen yang lain (KGK 1213). Hal ini berarti Sakramen Baptis adalah syarat mutlak dalam rangka menerima sakramen lain secara sah. Dalam KHK 842 (pasal 1) disebutkan, “Orang yang belum dibaptis tidak dapat diizinkan menerima sakramen-sakramen lain dengan sah.”
Pelayan Sakramen Baptis dalam Gereja Katolik biasanya seorang uskup, imam, atau diakon. Para pelayan ini telah menerima tahbisan suci berdasarkan tingkatannya (diakonat ‘diakon’, presbiterat ‘imam’ atau ‘pastor’, dan episkopat ‘uskup’). Dalam keadaan darurat (misalnya bahaya maut), siapapun yang sudah dibaptis dapat melaksanakan pembaptisan, asal memenuhi syarat materi dan forma baptis.
Pada umumnya penerimaan Sakramen Baptis dikategorikan dalam baptis dewasa, baptis bayi/anak, dan penerimaan resmi. Baptis dewasa merupakan baptisan yang diberikan kepada seseorang yang telah berusia 7 tahun, dan yang sudah dapat menggunakan akal budinya secara cukup.
Baptis dewasa biasa dilaksanakan bagi calon baptis (katekumen) yang telah dmenjalani hidup menggereja (prakatekumenat) selama 6 bulan dan menjalani pembelajaran katekese (katekumenat) selama 6 bulan. Selanjutnya, dapat dilakukan masa pendalaman iman lanjutan bagi baptisan baru (mistagogi) itu.
Baptis bayi/anak adalah baptisan yang diberikan kepada seseorang yang belum berusia 7 tahun, atau yang belum dapat menggunakan akal budinya secara cukup. Sebelum upacara pembaptisan, orang tua dan wali baptis wajib mengikuti pembinaan tentang makna sakramen baptis serta hak dan kewajiban yang melekat pada baptis. Orang tua juga sangat dianjurkan agar menerima Sakramen Pengakuan (Tobat) sebelum perayaan pembaptisan anaknya.
Penerimaan resmi dilaksanakan bagi mereka yang baptisannya dilakukan di Gereja Kristen, yang berasal dari anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Seorang dari anggota PGI, seperti Protestan, yang akan bergabung dalam Gereja Katolik, tidak perlu dibaptis ulang. Sah-tidaknya baptis dari PGI, terletak pada materi baptis (pencurahan dengan air), dan forma baptis (rumus Tritunggal: dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus).
Setiap calon baptis dapat memilih seorang bapak dan/atau seorang ibu atau seorang laki dan perempuan sebagai wali baptis. Wali baptis telah berusia 16 tahun serta memiliki kualifikasi dan kehendak untuk melakukan peran dan fungsinya dalam perkara-perkara kristiani. Selain itu, wali baptis telah menerima sakramen inisiasi (Baptis, Krisma, dan Mahakudus/Ekaristi); hidup baik sebagai orang Katolik, dan tidak sedang menjalani hukuman gerejawi.
Sesudah pembaptisan, wali baptis tetap menjalankan tugasnya mendampingi baptisan secara berkelanjutan. Ia berusaha agar baptisan dapat menghayati hidup kristiani, dan setia memenuhi kewajiban-kewajiban yang melekat pada baptis itu.
Penutup
Dalam Gereja Katolik, nama baptis atau nama kristiani diambil dari orang kudus yang telah diberi gelar santo/beato (laki-laki) dan santa/beata (perempuan). Nama baptis dipilih dengan tujuan meneladani sikap hidup orang kudus yang namanya digunakan.
Meskipun tidak wajib (tidak termasuk syarat sahnya pembaptisan), nama baptis merupakan tradisi yang baik, dan karena itu pantas diteruskan dalam kehidupan Gereja Katolik. Melalui nama baptis atau nama kristiani, seseorang diharapkan meneladani hidup orang kudus tersebut dalam kesetiannya mengikuti Tuhan. Dalam hal ini, nama baptis digunakan karena makna kristianinya.
Mengingat pentingnya makna pemberian nama baptis itu, setiap orang tua, wali baptis, dan pastor paroki perlu menyadari agar nama baptis yang dipilih sesuai dengan maksud kristiani. Nama baptis atau nama kristiani yang diambil dari nama-nama orang kudus itu dapat dicari dari sumber-sumber, seperti Ensiklopedi Orang Kudus, Kalender Liturgi, dan buku-buku lain. Di beberapa paroki, umat dianjurkan memilih nama baptis sesuai dengan kalender liturgi agar terhindar dari kebingungan.
Nama baptis atau nama kristiani dikukuhkan secara resmi melalui upacara (liturgi) baptis sesuai dengan tata cara Sakramen Baptis (sebagai pintu masuk bagi sakramen-sakramen yang lain). Nama baptis (+ nama keluarga + nama klen) itu kemudian dicatat dalam Buku Baptis di paroki. Misalnya, Yohanes Boli Lewar atau Bernadeta Donge Lajar.
Jika tidak digunakan nama klen maka menjadi Yohanes Boli atau Bernadeta Donge saja. Dengan demikian, seseorang yang belum menerima Sakramen Baptis, tidak dapat diberi nama kristiani, misalnya Yohanes atau Bernadeta, kecuali jika ia dapat menggunakan akal budinya secara cukup, dan bersedia dibaptis menjadi anggota Gereja Katolik.
Penulis: Agustinus Gereda
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap di Universitas Musamus Merauke, dan membantu di STK St. Yakobus Merauke.