Jayapura, Suryapapua.com– Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) menyoroti sekaligus mengecam keras tindakan penelantaran terhadap seorang ibu hamil, Irene Sokoy bersama bayi dalam kandunganya oleh sejumlah rumah sakit di Jayapura hingga meninggal dunia.
Kejadian yang berlangsing Rabu 19 November 2025 tersebut adalah bukti nyata kegagalan sistemik pelayanan kesehatan dilakukan tenaga medis di sejumlah rumah sakit.
Penegasan itu disampaikan Ketua PP PMKRI, Susana Florika Marianti Kandaimu melalui rilisnya yang diterima suryapapua.com Senin (24/11/2025).
Menurut Susana, Ibu Irene—warga Kampung Hobong bersama keluarga menempuh perjalanan panjang penuh penderitaan dalam upaya mendapatkan pertolongan medis.
Setelah dari Kampung Kensio, ia dilarikan menggunakan speedboat menuju RS Yowari. Namun, dari sinilah dimulai serangkaian penolakan hingga berujung pada meninggalnya Ibu Irene.
Dari Rumah Sakit Yowari, pasien dirujuk ke RS Abepura. Setibanya di sana, almarhumah ditolak dan diberikan surat rujukan lagi ke RS Dian Harapan Waena.
Di rumah sakit tersebut, keluarga korban kembali menghadapi kekecewaan lantaran tidak mendapat pelayanan.
Dalam kondisi semakin kritis, keluarga membawa IS ke RS Bhayangkara. Hanya saja mereka dihadapkan pada tuntutan biaya operasi persalinan sebesar Rp8 juta.
Oleh karena keterbatasan ekonomi keluarga, mereka tidak mampu memenuhi biaya dimaksud.
Lalu keluarga memutuskan membawa IS menuju RS Umum Dok 2 Jayapura. Namun nasib tragis tidak dapat dihindari.
Ibu hamil itu menghembuskan napas terakhir di perjalanan bersama bayi dalam kandungannya.
Kematian almarhumah, lanjut Susana, bukan sekadar kasus malpraktik medis, tetapi pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis.
“Penolakan dan penelantaran pasien gawat darurat adalah pelanggaran berat terhadap sumpah profesi tenaga medis dan kode etik kedokteran,” tegasnya.
Lebih lanjut Susana menyoroti tiga persoalan mendasar dalam kasus tersebut diantaranya, Pertama– rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat penyelamatan nyawa, justru menjadi tempat diskriminasi ekonomi.
Kedua, sistem rujukan yang seharusnya menyelamatkan, justru menjadi labirin birokrasi mematikan.
Ketiga, permintaan biaya di tengah kondisi gawat darurat menunjukkan pelayanan kesehatan telah terkomodifikasi secara berlebihan.
PMKRI juga menyoroti ketimpangan akses layanan kesehatan di Papua. Masyarakat di daerah terpencil seperti Kampung Hobong, harus menempuh perjalanan jauh dengan risiko tinggi, hanya ingin mendapatkan pelayanan dasar yang seharusnya menjadi hak konstitusional sebagai warga negara.
“Tragedi ini memperlihatkan absennya negara dalam memenuhi hak-hak dasar rakyat Papua,” kritiknya.
Program kesehatan yang digembar-gemborkan, ternyata tidak mampu menjangkau mereka yang paling membutuhkan.
“Kematian IS adalah manifestasi nyata dari penelantaran struktural yang sistematis terhadap masyarakat Papua, khususnya mereka yang tinggal di daerah terpencil,” ungkapnya.
Terhadap tragedi ini, PP PMKRI mengajukan sejumlah tuntutan kepada berbagai pihak terutama Gubernur Papua, agar dilakukan investigasi menyeluruh terhadap seluruh direktur rumah sakit yang menolak dan menelantarkan almarhum dengan alasan administrasi.
Selain itu, pemberian sanksi tegas kepada pihak-pihak yang melanggar kode etik serta kompensasi dan pemulihan kepada keluarga korban.
“Kami juga meminta kepada Kementerian Kesehatan RI melakukan evaluasi total terhadap sistem rujukan dan pelayanan kesehatan di Papua,” pintanya.
Juga memastikan jaminan kesehatan nasional berfungsi efektif untuk kasus gawat darurat dan penguatan fasilitas kesehatan di daerah terpencil.
Kepada Komnas HAM dan Ombudsman RI, agar melakukan investigasi independen terhadap kasus ini sebagai dugaan pelanggaran HAM berat serta mengawasi pelaksanaan pelayanan publik di sektor kesehatan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan organisasi profesi kesehatan lainnya juga didesak mengambil tindakan tegas terhadap anggota yang melanggar sumpah profesi dan memastikan penegakan kode etik kedokteran tanpa diskriminasi.
Bagi Susana, nilai martabat manusia adalah nilai yang tidak dapat diganggu gugat.
“Setiap manusia, terlepas dari latar belakang ekonomi, geografis atau etnisnya, berharga di hadapan Tuhan dan berhak mendapatkan perlakuan adil dan manusiawi,” katanya.
Ditambahkannya, hak atas kesehatan tak dapat ditawar. Jadi, tidak boleh ada lagi nyawa melayang sia-sia karena diskriminas ekonomi atau penelantaran sistemik.
“Negara wajib hadir dan melindungi setiap warganya tanpa terkecuali. Tragedi ini harus menjadi momentum untuk perubahan fundamental dalam sistem pelayanan kesehatan di Papua,” pintanya.
“Kami menyampaikan dukacita mendalam atas kematian almarhumah bersama bayinya akibat penelantaran berbagai pihak,” katanya.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun










