SEJUMLAH suku bangsa (etnis) di Indonesia menerapkan pola pendidikan dalam rumah tangga dengan metode marah–maki–pukul (selanjutnya disingkat MMP).
Entah sejak kapan metode yang sudah membudaya ini diberlakukan, tidak diketahui secara pasti. Metode MMP itu diterapkan dalam tiga langkah berikut.
Pertama, anak(-anak) dimarahi jika tidak dapat memenuhi nasihat ataupun kehendak orang tua. Kedua, jika langkah pertama tidak berhasil, anak dicaci-maki. Ketiga, jika langkah kedua gagal, pukulan merupakan langkah yang terakhir.
Sejauh ini pola pendidikan dengan menerapkan metode MMP tidak selalu berdaya guna. Melalui metode tersebut, anak(-anak) bahkan tidak jera, dan sering mengulangi perbuatannya.
Sebaliknya, penerapan metode MMP bisa menimbulkan dampak buruk terhadap mental dan psikis anak. Dengan demikian, pola pendidikan yang menerapkan metode MMP itu mengakibatkan kekerasan verbal dan nonverbal yang terjadi di dalam rumah tangga. Padahal kekerasan, sekalipun bertujuan baik, tidaklah dapat dibenarkan, apalagi kekerasan terhadap anak.
Kasus kekerasan tampaknya tidak pernah sepi dari pemberitaan media, baik media cetak maupun media elektronik, apalagi pada era digital ini. Demikian pula kasus kekerasan itu sering dibahas dalam berbagai artikel maupun buku-buku ilmiah.
Hal ini berarti kasus kekerasan verbal maupun nonverbal tidak asing lagi, termasuk kekerasan terhadap anak, khususnya anak usia dini dan/atau anak usia sekolah.
Tulisan ini hanya berfokus pada kekerasan verbal (verbal abuse) yang sering dilakukan orang tua terhadap anak(-anak). Diharapkan orang tua (serta pihak-pihak lain yang berkepentingan) dapat memahami dampak kekerasan verbal tersebut, sekaligus berusaha mengubah tindak kekerasan menjadi kasih sayang terhadap anak.
Jenis-jenis Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
WHO menjelaskan bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau trauma atau perampasan hak.
Kekerasan itu dapat dikategorikan atas beberapa jenis di antaranya kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.
Kekerasan fisik adalah kekerasan nyata yang dapat dilihat, dirasakan. Wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan atau kemampuan normal tubuh, sampai kehilangan nyawa seseorang. Contohnya, penganiayaan, pemukulan dan pembunuhan.
Menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang P-KDRT Pasal 6, “kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”
Kekerasan fisik dibagi menjadi dua kategori, kekerasan fisik berat dan kekerasan fisik ringan. Kekerasan fisik berat berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, membenturkan ke benda yang lain bahkan sampai melakukan percobaan pembunuhan atau melakukan pembunuhan dan semua perbuatan yang dapat membawa akibat-akibat yang merugikan secara fisik.
Kekerasan psikis (mental) adalah kekerasan yang mengarah pada serangan terhadap mental/psikis seseorang, bisa berbentuk ucapan yang menyakitkan, berkata dengan nada yang tinggi, penghinaan dan ancaman UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 7 menjelaskan, “Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial danatau tujuan tertentu (pasal 8).
Berkaitan dengan kekerasan ekonomi, pasal 9 menjelaskan penelantaran rumah tangga. Hal ini dianggap sebagai kekerasan ekonomi terhadap rumah tangga.
Kekerasan Verbal
Kekerasan verbal (verbal abuse) identik dengan kekerasan tanpa fisik seperti mengejek, membentak, mengancam dan masih banyak lagi. Kekerasan nonverbal diidentikkan dengan kekerasan fisik seperti memukul, mencubit, dan segala kekerasan yang berpotensi melukai fisik.
Dalam buku Verbal Abuse Dampak Buruk dan Solusi Penanganannya pada Anak (2016), Lestari mengemukakan bahwa Indonesia dinilai berada dalam kondisi darurat kasus kekerasan terhadap anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Banyak orang tua menganggap kekerasan verbal terhadap anak adalah hal yang wajar. Mereka berasumsi bahwa kekerasan seperti ini adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Padahal kekerasan verbal menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan mental dan perkembangan psikologis seseorang. Dengan kata lain, kekerasan verbal memiliki dampak yang belih buruk daripada kekerasan nonverbal.
Kekerasan verbal berkaitan dengan kekerasan terhadap perasaan. Hal ini sering tidak disadari oleh orang tua. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan terhadap Anak Pasal 1 (15a) menjelaskan, kekerasan sebagai perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual danatau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Hasil survei oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) tahun 2020 menunjukkan bahwa 61,5% (49,2 juta) anak merasa mengalami kekerasan verbal.
Dalam buku Cara Efektif Mendidik dan Mendisiplin Anak (1997, terj.), Schaefer mengemukakan 10 tipe kekerasan verbal yang dapat dilakukan orang tua terhadap anak.
Pertama, penolakan akan cinta (rejection or withdrawal of love), misalnya “Tidak ada yang menyayangimu.” Kedua, merendahkan (verbal put-down), misalnya “Kamu bodoh.” Ketiga, menuntut anak agar selalu sempurna (perfectionism), seperti “Kenapa kamu tidak menjadi yang pertama?”
Keempat, prediksi negatif (negative prediction), seperti “Kamu tidak akan pernah berarti apa-apa.” Kelima, perbadingan negatif (negative comparison), seperti “Kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu?” Keenam, pengambing-hitaman (space goathing), misalnya “Kamu adalah alasan kenapa aku dan bapamu bertengkar.”
Ketujuh, mempermalukan (shaming) anak, yaitu mengajak orang-orang di sekitar untuk memperhatikan anak pada situasi yang membuat anak merasa malu.
Kedelapan, mengutuk dan mengumpat (cursing or swearing), misalnya “Pergilah ke neraka!” Kesembilan, mengancam (threats), misalnya “Aku akan meninggalkanmu. Aku akan membunuhmu.” Kesepuluh, sindiran yang menimbulkan perasaan bersalah (guilt trip), misalnya “Bisa-bisanya kamu melakukan hal itu setelah apa yang kuberikan kepadamu selama ini.”
Selanjutnya, ada beberapa bentuk kekerasan verbal yang mungkin dilakukan orang tua terhadap anak (https://id.theasianparent.com/kekerasan-verbal-pada-anak). Bentuk-bentuk kekerasan verbal itu, antara lain (i) membentak anak; (ii) menuduh anak melakukan sesuatu yang tidak ia lakukan; (iii) tidak mau mendengarkan anak; (iv) mengancam anak; (v) mencela kondisi tubuh anak (body shaming); (vi) membandingkan anak sendiri dengan anak lain; dan (vii) memberi label negatif kepada anak.
Faktor Penyebab Kekerasan Verbal
Faktor utama yang memicu terjadinya kekerasan verbal pada anak adalah sikap egois orang tua, yang selalu merasa benar. Sikap ini diperkuat oleh kebiasaan (kebudayaan) masyarakat tertentu bahwa anak tidak boleh membantah orang tua. Padahal sebagai manusia orang tua pun bisa bertindak keliru. Anak tidak boleh mengganggu orang tua yang lagi ngobrol dengan tamu, misalnya, padahal anak membutuhkan perhatian, meskipun hanya sebentar.
Faktor pemicu berikutnya adalah emosi orang tua yang tidak dapat dikendalikan. Orang tua kurang bersabar dalam menghadapi tingkah laku anak yang “aneh-aneh”. Lagi-lagi anak mengharapkan perhatian dan kasih sayang, sementara orang tua (mungkin) tidak dapat memenuhi kebutuhan sang anak secara memuaskan.
Berkaitan dengan faktor pemicu tindak kekerasan verbal, Soetjiningsih (dalam Tumbuh Kembang Anak, 2002) mencatat beberapa faktor yang meliputi faktor intern dan faktor ekstern. Faktor-faktor intern yang memengaruhi orang tua melakukan kekerasan verbal, antara lain sebagai berikut.
Pertama, faktor pengetahuan dan kompetensi. Orang tua memiliki keterbatasan pengetahuan tentang kebutuhan perkembangan anak. Anak seolah-olah dipaksa melakukan sesuatu padahal sebenarnya anak itu belum mampu melakukannya. Akibatnya orang tua menjadi marah, membentak, dan mencaci anak. Selain itu, minimnya pengetahuan diikuti pula oleh minimnya penghayatan kehidupan beragama orang tua, turut melatarbelakangi kekerasan pada anak.
Kedua, faktor pengalaman orang tua yang semasa kecilnya mendapat perlakuan yang salah. Semua perlakukan kepada anak terekam di alam bawah sadar, akan dibawa sampai pada masa dewasa. Anak yang menerima perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi agresif, dan pada gilirannya ketika menjadi orang tua akan berlaku kejam pula pada anaknya maupun menjadi agresif di tengah masyarakat.
Pemicu kekerasan verbal dapat pula dilihat pada faktor ekstern, seperti faktor ekonomi dan faktor lingkungan. Secara ekonomis sebagian besar kekerasan rumah tangga dipicu oleh faktor kemiskinan dan tekanan hidup, seperti pengangguran, PHK, dan beban hidup lainnya.
Faktor kemiskinan itu berdekatan dengan kemarahan sehingga orang tua mudah sekali melimpahkan emosi kepada orang di sekitarnya. Anak, sebagai makhluk yang rentan dan lemah, dianggap sepenuhnya milik orang tua sehingga dijadikan sasaran yang paling empuk dalam meluapkan emosi.
Faktor lingkungan juga memengaruhi tindak kekerasan verbal pada anak. Televisi, sebagai suatu media yang paling efektif dalam menyampaikan berbagai pesan kepada masyarakat luas, berpotensi paling besar dalam memengaruhi perilaku kekerasan terhadap anak. Apalagi pada era digital ini, gadget (HP Android) telah memengaruhi perilaku seseorang secara menyeluruh.
Dampak Kekerasan Verbal
UNICEF (1986) mengemukakan anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechamism), seperti memuntahkan kembali makanan, penyimpangan pola makan, takut gemuk, kecanduan alkohol dan obat-obatan dan terdorong membunuh diri.
Menurut Nadia (dalam “Kekerasan terhadap Perempuan Perspektif Gender,” 1991), kekerasan psikologis sukar didiagnosis karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti pada penyiksanaan fisik. Kekerasan ini meninggalkan bekas tersembunyi yang termanifestasikan ke dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, ataupun kecenderungan bunuh diri.
Kekerasan verbal tentu tidak melukai fisik, namun bisa saja melukai hati anak. Hasil kajian menunjukkan bahwa efek kekerasan verbal menyebabkan anak menjadi takut, kurang percaya diri, memiliki emosi yang tinggi, dan memiliki tingkah laku yang agresif. Anak yang terkena kekerasan verbal akan menjadi pribadi yang suka mem-bully atau bahkan bisa berbuat tawuran ketika memasuki dunia sekolah.
Menurut Soetjiningsih (2002), kekerasan verbal menimbulkan luka yang sangat dalam pada anak, bahkan melebihi perkosaan. Pengaruh psikologis akibat kekerasan verbal pada anak, di antaranya perasaan tidak peka terhadap orang lain, menjadi agresif, mengalami gangguan emosi, terganggu hubungan sosialnya, kepribadian sociopath atau antisocial personality disorder, menciptakan lingkaran setan dalam keluarga, bahkan membunuh diri.
Banyak orang tua mendidik anak dengan tegas dan keras, namun tidak menyadari bahwa kekerasan verbal dapat membawa dampak buruk terhadap anak, bahkan lebih buruk daripada akibat kekerasan fisik. Menurut Maulida, (dalam “Berbakti kepada Orang Tua,” 2017), dampak buruk itu adalah dampak psikologis, seperti kurang percaya diri, tidak percaya pada orang lain, tertutup, depresi, dan enggan pergi ke sekolah. Anak tidak hanya menjadi korban, tetapi juga menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.
Apapun alasannya, termasuk mendisiplinkan anak, tindak kekerasan kepada anak tidak dapat dibenarkan. Memberikan hukuman kepada anak ketika berbuat salah bisa dilakukan, akan tetapi orang tua harus lebih dahulu mengamati kondisi fisik maupun kondisi mental anak, apakah ia siap atau tidak ketika hendak diberikan hukuman.
Tindakan Pencegahan
Setelah melihat dampak kekerasan verbal, hendaknya dicari upaya pencegahan yang tepat. Orang tua sebaiknya memahami fase-fase perkembangan anak, baik fisik maupun psikis. Dibutuhkan formulasi hubungan yang baik antara orang tua dan anak. Bukan relasi antara atasan-bawahan, yang menuntut hukuman (sanksi), melainkan relasi yang dilandasi kasih sayang tanpa pamrih, tanpa menuntut balas atau ganti rugi.
Menurut Gordon (dalam (Mengajar Anak Berdisiplin Diri di Rumah dan di Sekolah,1996), orang tua patut memberikan perhatian kepada anak, menanamkan nilai pendidikan agama dan pendidikan moral untuk berbuat baik, berbicara dengan tutur kata yang lembut dan ramah, bersikap arif, bijaksana, dan sabar terhadap anak. Hal-hal inilah yang harus menjadi referensi untuk dilakukan di rumah.
Selain itu, diperlukan penegakan hukum maksimal terhadap pelaku tindakan kekerasan verbal. Sebab, realitas sakit hati anak akibat kekerasan verbal bisa mengakibatkan persoalan yang buruk di masa mendatang. Selanjutnya, upaya nyata yang harus dilakukan adalah mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap anak, misalnya melalui pemasangan spanduk atau baliho, penyajian iklan di media massa (radio, televisi, whatsapp group, dan lain-lain), serta dukungan dari pihak pemerintah maupun lembaga swasta agar hak-hak anak tetap dilindungi.
Kesimpulan
Kekerasan verbal yang dilakukan orang tua terhadap anak, apapun alasannya, tidaklah dapat dibenarkan. Penerapan metode MMP (marah-maki-pukul) dalam pendidikan anak, tidak dapat dipertahankan karena membawa akibat yang buruk terhadap perkembangan mental anak. Bahkan kekerasan verbal terhadap anak akan memicu tindak kekerasan lainnya, seperti kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.
Dalam rangka mencegah kekerasan verbal terhadap anak, orang tua perlu menjalani proses ‘pemurnian diri’ melalui pertobatan yang mendalam. Dengan demikian, penerapan disiplin dalam rumah tangga tidak hanya melalui kata-kata semata, tetapi juga melalui teladan hidup baik yang dapat ditiru oleh anak(-anak). Sebab, kata-kata menggerakkan tetapi teladanlah yang menarik (verba movent exampla trahunt).
Penulis: Agustinus Gereda
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap di Universitas Musamus Merauke, dan membantu di STK St. Yakobus Merauke.