Merauke, Suryapapua.com– Setelah bertemu Bupati Merauke, Romanus Mbaraka di Gedung Negara beberapa hari lalu, akhirnya pemilik tanah ulayat di Muting I dan III, Distrik Ulilin membuka palang serta sasi di dua bangunan sekolah dasar (SD) serta puskesmas pembantu, juga kantor kampung yang dipalang November 2021 silam.
Dengan telah dibukanya palang serta sasi pada Minggu (30/1), maka kegiatan belajar mengajak bagi anak didik maupun pelayanan kepada masyarakat di dua kampung yakni Nggayu serta Kafyamke, berjalan normal seperti biasa.
Demikian disampaikan Kepala Distrik Ulilin, John Kayame kepada Surya Papua Rabu (2/2). “Betul saya bersama Kapolsek Muting, Danramil serta pemilik ulayat dari marga Mahuze telah bertemu Bapak Bupati Merauke dan ada hasil kesepakatan bersama,” ujarnya.
Kayame menceriterakan, pada Juni 2021 lalu, masyarakat pemilik ulayat mengaku kalau pembayaran sejumlah fasilitas umum yang dibangun di Muting I dan II tak sesuai. Dari situ, pihaknya mengambil inisiatif bersama Kapolsek serta Danramil guna dilakukan pertemuan bersama mereka.
“Memang ada permintaan pemilik ulayat akan memasang sasi. Namun kami meminta aktivitas belajar mengajar serta pelayanan masyarakat harus tetap berjalan sebagaimana biasa. Karena lokasi eks transmigrasi itu telah dibayar pemerintah. Sehingga tak semena-mena melakukan pemalangan,” ujarnya.
Akhirnya, mereka hanya menanam sasi serta patok di halaman tiga fasilitas umum tersebut. Sementara pihaknya bersurat kepada Bupati Merauke menyampaikan permasalahan dimaksud.
Mungkin karena menunggu lama, akhirnya pada November tanpa sepengetahuan distrik serta aparat keamanan disana, mereka melakukan pemalangan dengan alasan perlu respon cepat pemerintah.
“Saya bersurat ke Kepala Dinas Transmigrasi Kabupaten Merauke, Keliopas Ndiken menanyakan dokumen fasilitas umum yang dipalang,” ujarnya.
Dikatakan lagi, dalam beberapa kali pertemuan, ia telah menyampaikan kepada pemilik ulayat bahwa kalau merasa tidak puas akan penyelesaian ganti rugi, silahkan menempuh jalur hukum di pengadilan.
“Apa yang saya sampaikan, sepertinnya belum sepenuhnya dipercaya. Mereka menginginkan tatap muka langsung dengan bupati dan mendengar secara langsung. Pada Desember, mereka difasilitasi turun ke kota. Sedianya pak bupati menerima, hanya bersamaan kesibukan beliau memantau banjir dalam kota, sehingga tak sempat jumpa,” ujarnya.
“Memang Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Merauke, Tiasony Betaubun sempat ke dua kampung tersebut dan berdialog bersama pemilik ulayat, hanya tetap ditolak membuka palang,” ungkapnya.
Diawal Januari, Bupati Mbaraka menelpon dan menanyakan persoalan pemalangan dimaksud. “Saya sampaikan pemilik ulayat menginginkan bertemu dan mendengar secara langsung,” katanya.
Setelah pulang dari Jakarta, menurut Kayame, bupati meminta bertemu dengannya di ruangan VIP Bandara Mopah. “Saya sampaikan persoalan serupa. Seketika Pak bupati Merauke memerintahkan pemilik ulayat turun ke kota,” jelasnya.
“Saat turun, akhirnya kami bertemu bapak bupati di Gedung Negara. Banyak hal disampaikan termasuk nasehat pak bupati agar adat tak boleh dipermainkan. Lalu akan dipelajari dokumen. Jika semua lengkap, pemerintah memberikan dana sebagai ucapan terimakasih, bukan ganti rugi,” katanya.
Usai pertemuan, Bupati Merauke memberikan bantuan uang senilai Rp 10 juta agar dibaawa pulang, sekaligus dilakukan upacara membuka palang serta sasi. Juga masing-masing pemilik ulayat dibantu Rp 1 juta.
“Jadi begitu dana diterima, kami pulang dan dilakukan seremoni adat, sekaligus fasum yang dipalang telah dibuka kembali,” katanya.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun