KITA sering bertanya siapa dan apakah ‘Guru Pendidikan Agama Katolik’ itu? Rasanya tidak sulit menjawabnya. Tetapi jika yang mengemban gelar ‘guru agama’ itu hening sejenak dan menyimak pertanyaan itu, mungkin akan merasa bahwa dalam pertanyaan itu terkandung suatu gagasan menantang dan merangsang.
Dia pasti pertama-tama merefleksikan secara serius atas pertanyaan sebelum berusaha menjawab secara jujur dan tulus dari hatinya yang terdalam.
Merefleksikan pertanyaan sungguh penting dan menentukan karena ada banyak pendidik Kristen yang tidak terhitung jumlahnya seturut bidang keahliannya, tetapi tidak semua pendidik itu ber-atribut guru agama sebagai pengajar resmi iman. Dalam hidup dan misi gereja, guru agama itu punya peranan dan fungsi khusus untuk disikapi.
Guru Agama Pendidik dan Pewarta
Guru agama dalam tugas dan perannya mengemban misi berganda yaitu sebagai pewarta dan pendidik. Seseorang yang berprofesi guru mengambil peranan esensial dalam membantu peserta didik untuk mengembangkan anak didiknya.
Menyimak peran pendidik itu dapat digali dari dasar katanya yaitu ‘educere’ yang berarti menuntun ke luar, mengantarkan keluar. Dalam kata ini tercakup tiga dimensi yaitu dari titik berangkat, yang sudah ada, sudah diketahui, sekarang- menemukan pengetahuan, mengerti dan keluar- masa depan, tujuan.
Dalam hal ini jelas guru pendidik sengaja hendak menuntun anak didiknya untuk mengetahui dan menghidupi suatu nilai.
Dalam konteks ini profesi sebagai guru itu mulia. Sungguh nampak dan nyata tanggungjawab sosial guru itu dalam pembentukan kematangan pribadi seseorang. Profesi guru pun menjadi panggilan untuk perwujudan diri menjadi sesama bagi banyak orang lain.
Mengacu pada peran dan tugas guru seperti di atas, mungkin peran guru agama mengandung pesan khusus lagi bila dibanding dari profesi yang biasa. Dalam profesi guru agama bukan saja tugas mengajar untuk mengetahui objek bidang studi yang dikuasai tetapi suatu sikap hidup yang mau dihayati atas dasar iman.
Peran guru agama sangat terkait dengan misi gereja yang secara tidak langsung memberi perutusan kepada guru dalam kaitan tugasnya sebagai pembina dan pengajar iman.
Guru Pendidikan Agama Katolik sebagai Petugas Pastoral
Kedudukan guru agama harus dibangun dan didasarkan atas keyakinan mendasar yaitu panggilan kemuridan. Guru agama dipanggil mengemban perintah Yesus Kristus untuk mewartakan pesan keselamatan Allah bagi semua orang.
Yesus sendiri memberi suatu contoh konkrit dalam hidup-Nya. DIA mengemban kehendak Bapa dan atas dasar itu DIA memberi tugas perutusan kepada gereja
“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala mahluk” (Mk 16:15). Kemudian mendekati murid-Nya lalu berkata, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi, jadikanlah bangsa jadi murid-Ku….” (Mt 28:18-19).
Saat Yesus naik ke surga, DIA berkata kepada murid-Nya, “Dan kamu adalah saksi-Ku hingga akhir dunia dan ujung bumi” (Kis 1:8).
Peran utama dan pertama dari pengajar iman itu adalah menyadari dirinya sebagai orang yang diutus. Evangelium Nuntiandi mengatakan, kalau orang mempermaklumkan Injil keselamatan, mereka harus melakukan hal itu atas perintah dan dengan rahmat Kristus (EN 59).
Dalam hal ini guru harus belajar dari Sang Guru yaitu Kristus sendiri yang dengan tegas mengaku bahwa Dia pun adalah yang diutus (Yoh 5:30).
Yesus mengutus para murid mewartakan kabar gembira dan kebaikan Tuhan bagi mereka yang dijumpai. Menempatkan diri sebagai utusan atas otoritas pengutus agung sungguh mencipta perasaan yang memberi kegairahan dalam diri para guru agama yang pada akhirnya dapat menghantar mereka pada pengakuan bahwa mereka murid dan saksi.
Dengan ini maka para guru agama bukan melulu pengajar doktrin/dogma gereja, tetapi lebih tepatnya adalah untuk menangkap hati dan pikiran umat manusia secara umum dan anak binaannya secara khusus sehingga pada akhirnya mempersatukan setiap orang dalam semangat koinonia dan agar mengalami dan memahami ajaran iman dan menghidupi Injil Tuhan. Dalam hal ini fungsi kateketis dari guru agama itu mengalir dari perintah semangat misioner Yesus Kristus.
Guru agama dalam perannya sebagai petugas pastoral mewartakan dan memperkenalkan belaskasih Allah kepada umat manusia dan anak didik secara khusus tentang kabar gembira.
Dalam mengemban tugas perutusan ini tentu guru agama melampaui peran guru biasa dan pendidik lainnya. Dalam tugas guru itu tersirat aspek misi dan perutusan.
Peranan Guru Agama dalam Hidup dan Misi Gereja
Misi gereja adalah kesetiaan kepada Allah dalam mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah dan kesetiaan kepada manusia. Kesetiaan rangkap dua ini adalah tanggungjawab yang telah dipercayakan gereja untuk ditindaklanjuti oleh para pengajar iman.
Misi itu hendak membangkitkan dan mengembangkan suatu sikap hati yang lebih dalam untuk memahami yang diimani.
Pengajaran iman adalah hal yang tidak terceraikan dalam kegiatan pastoral dan misi gereja. Menerima tugas sebagai pengajar dan pembina iman berarti berada dalam hidup dan misi gereja. Dalam hal ini para guru agama dalam tugasnya harus berupaya untuk menghadirkan segi-segi hidup menggereja untuk dialami bersama dengan anak binaannya.
Dalam berbagai kesempatan dan berbagai kegiatan aspek kerajaan Allah itu harus dinampakkan. Memperkenalkan dan akhirnya menghidupii segi-segi hidup menggereja merupakan hal yang penting dalam pengajaran iman.
Gereja dalam tugasnya adalah mewujudkan kerajaan Allah. Lewat pengajaran tugas atau segi-segi hidup menggereja hendaknya mencakup aspek koinonia, diakonia, liturgi, kerygma dan martiria.
Dalam kebersamaan antara guru dan sesama anak binaan kiranya aspek ini terwujud dan hadir. Ajaran iman memang harus dikatakan bahwa iman itu dipahami, dimengerti sehingga hidup beriman terpertanggungjawabkan.
Tetapi menghidupi segi-segi hidup menggereja akan menegukan identitas binaan sebagai orang Kristen. Katekese atau pengajaran selama proses pendampingan sungguh bertujuan menghantar yang dibina mengenal dan mencintai Allah.
Guru Agama sebagai Saksi kepada Warta Katolik
Dalam proses kateketis, guru agama bicara hal-hal yang secara pribadi diyakini karena itu dia membagikan iman pribadinya dalam tindakan dan sikap.
Dia menjadi seorang inisiator untuk masuk kepada pemahaman yang lebih dalam dan pengalaman hidup kristiani.
Dalam konteks ini memang diharapkan kesaksian hidup yang otentik sebagai jawaban pribadinya pada panggilan hidup sebagai pewarta. Kesaksian otentik itu merupakan pernyatan diri yang pada akhirnya dapat memotivasi dan menggerakkan peserta didik untuk sungguh mengikuti dan menghidupi yang diyakini oleh gurunya.
Hal ini harus dikatakan sebagai salah satu strategi pembelajaran yang perlu dimiliki oleh pengajar iman. Harus dikatakan bahwa orang akan gampang menerima pengajaran dan tinggal dalam semangat persekutuan dan mau tetap tinggal di dalamnya kalau iman yang diajarkan itu dialami dan disaksikan secara terang oleh penyampainya.
Ini merupakan suatu premis yang membuat guru sungguh pengajar, pendidik dan pewarta. Sekarang ini orang bukan pertama-tama diyakinkan oleh teori tetapi kenyataan hidup atau kesaksian konkrit.
Pewarta sungguh efektif menuntun yang lain kepada hidup beriman karena pewarta menghidupi yang diwartakan. Beriman dan mengajarkan isi iman sebagai jalan, kebenaran dan hidup akan mengasyikkan, memberi semangat dan kekuatan baru ketika yang menyampaikan itu adalah yang diyakini dan terpercaya.
Iman bukan sekedar rumusan, seperangkat aturan yang ditaati tetapi berbagi keyakinan dalam hidup.
Dalam hal ini tetap berlaku teori yang sering diungkap bahwa pewartaan pewarta harus dipermaklumkan dalam kesaksian kehidupan konkrit. Kesaksian tanpa kata merupakan cara yang tangguh dan berdaya guna yang menimbulkan pertanyaan dalam hati yang melihat.
Sarana pertama untuk mengajar iman itu sekali lagi kesaksian hidup Kristen yang otentik. Contoh kehidupan yang terhormat dan murni biarpun tanpa kata-kata dapat menarik mereka yang tidak mau tunduk pada kata-kata (1 Ptr 3:1).
Gereja mewartakan Injil kepada dunia dengan kesaksian hidupnya yang setia pada Tuhan Yesus Kristus. Pengajar iman akan semakin dapat mempengaruhi yang dibina bila dia sendiri menyaksikan pertama yang diajarkan.
Guru Agama sebagai Pembina
Guru agama dipanggil menjadi pembina umat beriman. Profesi guru agama merupakan pilihan dan tanggapan pribadi atas panggilan Allah. Untuk itu mereka membenahi diri dengan keterampilan, kompetensi dan metode mengajar agar efektif dalam tugas komunikasi iman ini.
Mereka juga diperlengkapi suatu pengetahuan kerja dengan psikologi, sosiologi, metode modern, tehnik dan strategi perencanaan dan pengajaran praktis.
Dalam hal ini para guru agama lebih mampu menjadi pembina bila dibanding dengan para pengurus gereja yang hanya mengandalkan semangat pengabdian, melayani dengan seluruh hati.
Seraya menyimak semua keterampilan di atas ini, komunikasi iman akan dapat menjadi dialog iman bila didasari oleh relasi atau kebersamaan.
Metode kateketis yang paling efektif dalam pembinaan adalah relasi dan komunikasi yang dilihat sebagai moment berbagi atau sharing iman.
Relasi personal dan menjadikan setiap peserta binaan sebagai rekan berbagi pengalaman akan membuka peluang untuk saling memperkaya satu sama lain. Dalam konteks katekese umat, setiap orang dapat dan diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman dan sharing pengalaman iman.
Sesi katekese atau pengajaran hendaknya mengarahkan anak binaan kepada suatu hubungan yang sadar dengan Allah. Sebagai pembina, guru agama menciptakan atmosfir yang dapat menyeruhkan kepada anak didik bahwa kesempatan belajar adalah moment merasakan pertemuan dengan Tuhan.
Memang hal ini merupakan suatu tantangan tetapi guru harus menghadirkan visi iman sehingga anak didik akan mengerti keterlibatan personalnya dalam pertemuan itu.
Dalam hal ini diharapkan anak didik bukan saja hanya mendapat pengetahuan tetapi menjadi kommit, masuk kepada persekutuan dan pengalaman akan kehadiran Allah.
Guru Agama dalam Kesatuan Komunitas Setempat
Guru yang punya profesi mengajar dan merupakan hasil lembaga pendidikan resmi diyakini bahwa mereka mampu dan siap berperan dalam hidup masyarakat dan Gereja setempatnya.
Sebagai anggota masyarakat tentu mereka dapat melakukan gerakan membangun semangat kebersamaan tanpa harus membatasi ruang geraknya hanya dengan teman seimannya.
Sebagai anggota gereja, tentu mereka diharapkan hadir dalam semangat kebersamaan yang saling berbagi pengalaman dan pergumulan umat. Dalam semangat kemuridan dan sebagai guru bina iman harus bersedia berhadapan dengan umat setempat. Partisipasi aktif guru agama dalam persekutuan setempat harus masuk agenda.
Keterlibatan dalam lingkup komunitas setempat merupakan dimensi yang tidak bisa diabaikan bahkan masuk hakekat penghayatan iman pastoral guru agama. Keterlibatan yang pertama hadir sebagai teman seiman, ikut berbagi pengalaman iman.
Tugas guru agama itu sarat dengan pesan misi dan pengutusan gereja. Peran guru agama melampaui fungsi profesi guru biasa. Guru agama itu menjadi teladan dihadapan anak didiknya bukan saja sebatas guru sebagaimana yang lain tetapi dia menjadi teladan dalam hidup iman dan juga penghayatan dan pelaksanaan iman itu secara nyata dan langsung.
Di luar institusi sekolah guru agama tetap diminta partispasinya sebagai pembina iman. Guru agama itu punya peran pewarta sekaligus hidupnya sendiri harus memberi peneguhan terhadap isi pewartaannya.
Penulis :
Ludgerus Waluya Adi, S.Ag
Guru SD YPPK St. Theresia Buti Merauke