SUASANA di ruang kelas empat pagi itu dipenuhi keceriaan dan kegembiraan. Maklumlah sang guru menerapkan model pembelajaran inovatif kontekstual dan berhasil m nguasai kelas. Sebelum pembelajaran berakhir, guru mengevaluasi pemahaman peserta didik dengan menyuguhkan soal-soal pilihan ganda.
“Yang mencari nafkah dalam keluarga ialah (a) ayah, (b) ibu, (c) paman.” Sebagaimana lazimnya, yang mencari nafkah tentu ayah sehingga guru mengunci jawaban di (a). Ketika ada peserta didik yang memilih alternatif (b), bahkan (c) sudah pasti dianggap salah.
“Mengapa kamu memilih alternatif (b), Nak Mawar?” Sambil tersipu-sipu, Mawar menjawab, “Ayahku sudah meninggal dunia, Bu.” Hal yang senada dikomplain oleh Simon lantaran ayah dan ibunya sudah lama berpisah.
Contoh soal pilihan ganda di atas sangat boleh jadi tidak pernah dianalisis sebelum digunakan dalam evaluasi pembelajaran. Hal ini terjadi karena sang guru masih berpikir seperti kebanyakan orang. Padahal kenyataan yang dialami peserta didik tidak selalu demikian. Alternatif jawaban yang dipilih sesuai benar dengan kenyataan riil di dalam keluarga mereka.
Ternyata realitas seperti itu sering terjadi. Kebanyakan orang lebih merasa nyaman dengan apa yang ia miliki selama ini. Ada orang yang merasa puas dengan cara atau metode yang ia terapkan. Mereka mempertahankan kebiasaan lama. Pikiran mereka seakan-akan tertutup terhadap inovasi dan kreasi baru, yang (siapa tahu) lebih efektif. Padahal setiap orang diharapkan berinovasi dalam bidang apa saja, termasuk bidang pendidikan dan pengajaran. Sudah saatnya, peserta didik dilatih berpikir di luar kebiasaan (thinking out of the box).
Pola Pikir Cerdas dan Rata-rata
Berpikir di luar kebiasaan (thinking out of the box) berkaitan dengan pola pikir cerdas dan pola pikir rata-rata. Apa itu pola pikir? Menurut Fang, dkk. (2004: https://www.kumpulanpengertian.com/2020/04/ pengertian-pola-pikir-menurut-para-ahli.html), pola pikir adalah sesuatu yang terjadi di kepala seseorang, yang memiliki kekuatan untuk mengontrol sikap seseorang dan berpotensi memengaruhi perilaku seseorang. Para pakar lain (Aloia, Pasquale, dan Aloia, 2011) menjelaskan, pola pikir adalah sebuah pandangan mental atau karakter yang terprogram dan memutuskan respon dalam berbagai situasi.
Hamilton, Vohs, Sellier, dan Meyvis (2011, Being of Two Minds: Switching Mindsets Exhausts Self-Regulatory Resources) menyatakan, pola pikir merupakan hal yang penting untuk menjelaskan penilaian manusia dan pengambilan keputusan yang dapat memperbaiki atau memperburuk bias keputusan.
Selanjutnya, pola pikir adalah filosofi kehidupan, cara berpikir, sikap, opini, dan mentalitas seseorang atau sekelompok masyarakat (Triantis, 2013: https://www.kumpulanpengertian.com /2020/04/pengertian-pola-pikir-menurut-para-ahli.html).
Berpijak pada pengertian-pengertian di atas dapatlah dikatakan bahwa pola pikir merupakan sebuah filosofi kehidupan, cara berpikir, sikap, opini, dan mentalitas yang memiliki kekuatan memengaruhi perilaku seseorang. Pola pikir merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan dan respon individu terhadap berbagai situasi dan kondisi.
Berpikir tentang kegagalan akan menghasilkan kegagalan. Berpikir tentang kehidupan yang biasa-biasa akan menghasilkan hidup yang biasa. Sebaliknya, berpikir tentang hal-hal yang hebat (cerdas) akan mampu mencapai kehebatan. Semuanya dimulai dengan pola pikir yang dibangun dari dalam.
Demikian pula dengan kesuksesan. Kesuksesan dimulai dengan pola pikir, disertai dengan upaya yang harus dilakukan secara konsisten. Hal ini berarti pola pikir menentukan apakah seseorang akan konsisten melalui upaya tersebut dan mencapai kesuksesan atau melupakannya dan mengalami kegagalan.
Berikut ini adalah perbedaan antara orang dengan pola pikir rata-rata dan orang dengan pola pikir cerdas (https://www.studilmu.com/blogs/details/ pola-pikir-hebat-vs-pola-pikir-rata-rata).
Ciri-ciri orang dengan pola pikir rata-rata, di antaranya (i) selalu beralasan; (ii) menganggap kepercayaan diri sebagai sebuah perasaan; (iii) selalu menggunakan kata “sebaiknya”; (iv) berfokus pada perasaan; (v) selalu berkata, “Ah, rasanya mustahil”; (vi) selalu mengasihani diri; (vii) memandang kegagalan sebagai hasil akhir; (viii) berfokus pada hal-hal yang tidak dapat dikendalikan; (ix) selalu mengedapankan emosi, jika marah ia akan menunjukkan kemarahannya, jika sedih ia akan menunjukkan kesedihannya.
Ciri-ciri orang dengan pola pikir cerdas, antara lain (i) mewujudkan keinginan tanpa alasan; (ii) menganggap kepercayaan diri sebagai tindakan; (iii) selalu menggunakan frase “Saya ingin”; (iv) fokus pada hal-hal yang dapat dan seharusnya dilakukan; (v) tidak mengatakan, “Ah, rasanya mustahil”, tetapi “Ini sulit”; (vi) tidak ada waktu untuk mengasihani diri sendiri; (vii) memandang kegagalan sebagai umpan balik; (viii) fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan; (ix) tidak menunjukkan emosi, selalu tampil penuh kepercayaan diri.
Kang Aviv (dalam https://www.youtube.com/ watch?v=dctqd635_S0) mengemukakan beberapa tipe pemikir seseorang, antara lain analitis, investigatif, komprehensif, dan metodis atau kumulatif.
Tipe pemikir analitis (i) senang menganalisis informasi yang ia terima; (ii) tidak mudah percaya; (iii) merasa perlu untuk menganalisis, memahami sebab-akibat, alasan di balik suatu informasi sebelum mengambil keputusan; (iv) sering cenderung menanyakan alasan di balik suatu pernyataan atau informasi.
Tipe pemikir investigatif (i) serupa dengan tipe analitis: tidak mudah percaya, ada dorongan untuk menggali lebih dalam informasi yang ia terima; (ii) bedanya: pada tipe investigatif dia cenderung baru percaya ketika melihat/mendengar langsung dari sumbernya.
Tipe pemikir komprehensif (i) cenderung cepat membuat kesimpulan dari informasi yang didapar; (ii) cepat menyimpulkan sesuatu (meskipun informasi belum lengkap); (iii) kurang nyaman dengan penjelasan yang panjang lebar dan lambat.
Tipe pemikir metodis/kumulatif (i) step by step; (ii) bertahap; (iii) slow but sure; (iv) mempelajari sesuatu atau menyelesaikan masalah secara sistematis; (v) mudah panik ketika waktu terbatas atau diburu-buru.
Tipe-tipe pemikir di atas dapat ditemukan melalui tes grafologi. Grafologi adalah ilmu untuk membaca karakter atau kemampuan seseorang melalui tulisan tangannya. Pada umumnya grafologi digunakan untuk mengetahui karakter, potensi, motivasi dan dorongan yang ada dalam diri, kestabilan emosi, keadaan mental, kecenderungan intelektual, kekuatan dan kelemahan diri sehingga bisa diarahkan dan dioptimalkan secara tepat. Dalam dunia pendidikan, grafologi dimanfaatkan untuk mengetahui karakter peserta didik, pola penyerapan informasi dan pendekatan peserta didik, dapat menjadi panduan dalam mengarahkan jurusan yang tepat sesuai dengan bakat dan minat peserta didik.
Hakikat Berpikir di Luar Kebiasaan
Berpikir di luar kebiasaan merupakan terjemahan dari think out of the box. Arti harfiahnya ‘berpikir di luar kotak’. Menurut Wikipedia Indonesia, berpikir di luar kebiasaan adalah cara berpikir di luar batasan masalah yang ada, atau cara berpikir dengan menggunakan perspektif yang baru.
Secara lebih luas, think out of the box adalah (i) cara pikir baru di luar kebiasaan sebelumnya; (ii) cara berpikir yang berbeda dari orang-orang pada umumnya; (iii) cara berpikir kreatif di luar kemampuan diri dan kelompok; (iv) cara berpikir yang tidak pernah terpikirkan oleh siapapun sebelumnya.
Singkatnya, think out of the box tidak hanya berfokus pada apa yang dihadapi, dan apa yang biasanya orang pikirkan. Think out of the box berarti berani berpikir lebih jauh dari kemampuan dan kebiasaan yang ada, dan dari orang-orang pada umumnya.
Ungkapan think out of the box pertama kali diperkenalkan oleh Henry Ernest Dudeney (1857 – 1930). Dia adalah seorang penulis dan matematikawan Inggris, yang berspesialisasi dalam teka-teki logika dan permainan matematika. Dia dikenal sebagai salah seorang pencipta teka-teki matematika terkemuka.
Senada dengan itu, Edward de Bono (1933 – 2021) menyebutkan adanya berpikir lateral. Berpikir lateral adalah berusaha mencari solusi untuk masalah yang terselesaikan melalui metode yang tidak umum, atau sebuah cara yang biasanya akan diabaikan oleh pemikiran logis.
Istilah out of the box arti harfiahnya ‘di luar kotak’; disebut juga thinking out of the box ‘berpikir di luar kotak’. Yang dimaksud dengan kotak (box) di sini adalah kondisi diri pribadi atau sebuah masyarakat. Oleh karena itu, berpikir out of the box berarti berpikir kreatif atau inovatif berbeda dari atau melebihi orang kebanyakan.
Strategi Mengembangkan Berpikir di Luar Kebiasaan
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran sudah selayaknya dikembangkan keterampilan berpikir di luar kebiasaan. Dengan demikian, kompetensi peserta didik dapat tercapai secara menyeluruh, yang meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, sikap literat terhadap baca-tulis, numerasi, sains, digital, finansial, budaya, dan kewargaan. Berikut adalah strategi mengembangkan keterampilan berpikir out of the box, di antaranya berpikir tingkat tinggi, berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir inovatif, dan keterampilan bertanya.
Meningkatkan pola pikir tingkat tinggi
Keterampilan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills (HOTS) dapat dilatih melalui proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Dalam hal ini proses pembelajaran harus menyediakan ruang bagi peserta didik untuk menemukan konsep pengetahuan berbasis aktivitas.
Dalam ranah kognitif, proses pembelajaran berkenaan dengan kemampuan berpikir, kompetensi mengembangkan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan, dan pernalaran. Proses kognitif tersebut dapat dilihat dalam taksonomi Bloom, yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwoll.
Ranah kognitif itu meliputi mengingat (C1), memahami (C2), menerapkan atau mengaplikasikan (C3). Tiga level pertama ini dikategorikan dalam berpikir tingkat rendah atau lower order thingking skills (LOTS). Selanjutnya, proses kognitif meningkat kepada menganalisis (C4), mengevaluasi atau menilai (C5), dan mengkreasi atau mencipta (C6). Tiga level terakhir ini dikategorikan dalam berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills (HOTS).
Berdasarkan proses kognitif tersebut, kemudian ditambahkan dimensi pengetahuan oleh Anderson dan Krathwoll. Dimensi pengetahuan itu meliputi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif (Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan).
Pengetahuan faktual berisi elemen-elemen dasar yang harus diketahui peserta didik. Pengetahuan konseptual memuat skema-skema, model-model mental, atau teori-teori eksplisit dan implisit. Pengetahuan procedural berkenaan dengan bagaimana melakukan sesuatu, yang dapat berkisar dari melengkapi latihan-latihan yang rutin hingga pemecahan masalah-masalah baru.
Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan tentang kesadaran secara umum seperti halnya dengan kewaspadaan dan pengetahuan mengenai kesadaran pribadi seseorang. Peserta didik diharapkan agar lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap pengetahuan dan pemikiran mereka.
Menumbuhkan pola pikir kritis, kreatif, dan inovatif
Setiap saat pemikiran kita dibanjiri oleh berbagai informasi yang berkembang dan terus berkembang melalui media sosial. Media sosial rupanya tidak mudah dikontrol oleh siapa pun. Ada banyak informasi yang menyebarkan kebohongan (hoax), tindak kekerasan fisik dan seksual, perkelahian, pembunuhan, perampokan, dan seterusnya.
Berhadapan dengan situasi tersebut perlulah menerapkan sikap berpikir kritis (critical thinking). Berpikir kritis adalah kemampuan mempertanyakan setiap aspek penting dalam suatu permasalahan (Monash University). Dalam berpikir kritis, peserta didik dilatih untuk menganalisis sebuah topik atau permasalahan secara objektif. Selain itu, dengan berpikir kritis mereka mampu memilah mana informasi yang penting dan mana yang tidak penting.
Kemampuan berpikir kritis tidak secara otomatis tertanam dalam diri seseorang. Ia membutuhkan latihan yang kontinyu dengan cara mempertanyakan sesuatu. Misalnya, apakah dengan memakai sepatu, seorang siswa menjadi lebih pintar atau kurang pintar? Mengapa ikan yang sehari-hari hidup di laut tidak pernah menjadi asin, kecuali diasinkan sesudah ia mati?
Kemampuan berpikir kritis perlu dilengkapi dengan pola pikir kreatif atau keterampilan berpikir kreatif (creative thinking). Berpikir kreatif adalah proses berpikir mengembangkan ide-ide yang tidak biasa dan menghasilkan pemikiran baru, yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas. Berpikir kritis memberikan dorongan kepada peserta didik agar lebih terpacu dalam belajar.
Berpikir kreatif merupakan kompetensi dan keterampilan utama menyongsong revolusi industri 4.0, bahkan revolusi 5.0, dan konsepsi pendidikan abad ke-21. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pekerjaan kreatif akan diambil-alih oleh robot dan proses otomatisasi lainnya.
Guna mengembangkan pendidikan menuju Indonesia Kreatif tahun 2045, Kemendikbud telah mengadaptasi tiga konsep pendidikan abad ke-21, yang meliputi scientific approach, authentic learning, dan authentic assessment. Hal ini dilakukan untuk mencapai kesesuaian konsep dengan kapasitas peserta didik serta kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan.
Term ‘kreatif’ berasal dari kata creare (Latin) yang sepadan dengan ‘menciptakan’ dalam bahasa Indonesia. Dalam proses pembelajaran, peserta didik biasanya meniru apa yang diajarkan guru. Sesudah meniru, peserta didik dapat melakukan kreasi sendiri sehingga menghasilkan sesuatu yang berbeda bentuknya dari gurunya, walaupun tidak mengubah esensinya.
Berpikir kreatif merupakan keterampilan dan kompetensi penting yang harus diasah dan dikembangkan. Peserta didik, guru, dan masyarakat pada umumnya perlu mengembangkan kreativitas agar memiliki daya kompetensi yang kuat dalam menghadapi zaman serba-otomatis oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Berpikir di luar kebiasaan (thinking out of the box) juga tidak terlepas dari kemampuan berpikir inovatif (innovative thinking). Berpikir inovatif berkenaan dengan upaya-upaya untuk menemukan sesuatu yang baru (novum), meskipun tidak ada yang baru di bawah kolong langit (non novi sub sole). Program pendidikan kita sudah lama dirancang agar peserta didik memiliki keterampilan berpikir kreatif dan inovatif untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya, yang lebih efektif dan efisien dalam penerapannya.
Dengan berpikir inovatif seseorang diharapkan dapat memperbarui penemuan yang sudah ada. Penemuan yang diperbarui itu hendaknya sesuai dengan perkembangan zaman sehingga tetap relevan dan up to date. Kecuali itu, penemuan baru diharapkan bermanfaat bagi keperluan hidup manusia, misalnya penemuan di bidang pendidikan, teknologi monitor (seperti smartphone dan komputer), bisnis online, dan kuliner.
Menumbuhkan keterampilan bertanya
Sudah lama bangsa kita cenderung berpikir menuruti kebanyakan orang, mengikuti pendapat umum, opini publik, bahkan desas-desus, kabar angin, dan berita bohong, yang tersebar di tengah masyarakat. Padahal pendapat orang kebanyakan dan sejenisnya belum tentu benar secara objektif.
Kecenderungan mengikuti pendapat umum telah mengerdilkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Dalam pembelajaran di sekolah, kemampuan berpikir seperti itu telah dihambat oleh pembelajaran yang cenderung menggunakan metode ceramah. Sistem evaluasi pembelajaran yang dijejali pertanyaan tertutup dalam bentuk multiple choices selama bertahun-tahun telah mematikan sikap kritis dan kreatif. Para siswa kurang diberi ruang dan waktu yang cukup untuk mengemukakan pendapat, apalagi mengajukan pertanyaan.
Apabila kondisi tersebut dibiarkan, peserta didik dapat tenggelam dalam aktivisme menjawab pertanyaan guru. Padahal mengajukan pertanyaan, bertanya, bahkan mempertanyakan merupakan awal mula pengetahuan. Jika demikian, keterampilan bertanya peserta didik perlu ditumbuhkan sejak dini.
Melalui keterampilan bertanya, seseorang dapat mengetahui sesuatu, menerima informasi tertentu, dan memperoleh pengetahuan. Jadi, boleh dikatakan bahwa keterampilan bertanya merupakan sesuatu yang dianugerahkan sejak lahir. Anak-anak usia 3 – 4 tahun sudah mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, yang terkadang membingungkan orang dewasa, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang kritis. Bukankah anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar?
Dalam kegiatan pembelajaran, perlu dibedakan antara pertanyaan tingkat rendah dan tingkat tinggi (sesuai dengan taksonomi Bloom). Pertanyaan seperti apa, siapa, di mana, kapan merupakan pertanyaan level rendah karena hanya ingin mengetahui sesuatu yang bersifat pengetahuan.
Kemampuan bertanya tingkat tinggi diperlukan dalam membaca kritis, ketika seseorang tidak hanya membatasi diri pada soal mengerti dan mengingat penjelasan yang ada, tetapi juga menilai bahan yang dbaca. Bertanya tingkat tinggi mencakupi pertanyaan analisis, pertanyaan evaluasi, dan pertanyaan mencipta (creation question).
Dalam upaya melatih keterampilan bertanya peserta didik, guru diharapkan menerapkan bertanya tingkat tinggi. Bertanya tingkat tinggi menuntut peserta didik untuk menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6). Meskipun demikian, pertanyaan tingkat tinggi tetap membutuhkan level-level di bawahnya: mengingat (1), memahami (C2), dan menerapkan (C3).
Penutup
Kehadiran teknologi komunikasi 5G diperkirakan bakal membantu mempercepat hadirnya penerapan industri 5.0 di Indonesia. Pada revolusi industri 5.0, karakter penekanan lebih kepada manusia sebagai pusat peradaban yang memanfaatkan teknologi digital dalam berbagai bidang kehidupan. Tidak hanya relasi mesin dengan mesin dan efektivitas robotik, tetapi juga interaksi manusia dengan mesin dan sebaliknya (Jakarta, ANTARA, 25 Juli 2022).
Dalam menghadapi revolusi industri 5.0 dan konsep pendidikan abad ke-21, mau atau tidak mau, peserta didik diarahkan untuk beralih dari pola pikir rata-rata ke pola pikir cerdas. Dengan cara demikian, mereka tidak jatuh ke dalam persoalan lama seperti kebanyakan orang pada umumnya. Dalam situasi apapun, peserta didik diharapkan mampu berpikir kritis, kreatif, dan inovatif.
Untuk mencapai tingkat berpikir demikian dibutuhkan strategi yang tepat sasar. Salah satunya adalah strategi berpikir di luar kebiasaan (thinking out of the box). Strategi berpikir di luar kebiasaan, antara lain meningkatkan pola pikir tingkat tinggi; menumbuhkan pola pikir kritis, kreatif, dan inovatif; dan menumbuhkan keterampilan bertanya.
Pembelajaran di kelas hendaknya menggunakan model-model pembelajaran terbaru, seperti problem solving, discovery learning, inquiry base learning, project base learning, hybrid learning, quantum learning. Para guru diharapkan mendalami dan menerapkan model-model pembelajaran mutakhir tersebut.
Pada akhirnya peserta didik dilatih berpikir di luar kebiasaan (thinking out of the box). Dengan keterampilan berpikir di luar kebiasaan, peserta didik (siswa maupun mahasiswa) dijauhi dari tindakan tidak terpuji, seperti mencontek, melakukan plagiasi, atau terjerumus ke dalam taksonomi ketidakjujuran lainnya.
Penulis: Agustinus Gereda
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap di Universitas Musamus Merauke, dan membantu di STK St. Yakobus Merauke.