SALAH satu program yang tengah disosialisasikan para pendamping dari Kementerian Pertanian (Kementan) RI kepada para petani di kampung-kampung di lokasi eks transmigrasi adalah terkait sistem bagi hasil 70:30 persen atau menyewa alat mesin pertanian (alsintan) ketika lahan atau areal persawahan digarap.
Tentunya ada plus-minus dari dua pilihan tersebut. Namun sejauh ini belum diterapkan, lantaran masih terus disosialisasikan kepada petani di kampung-kampung.
Dengan hadirnya brigade (kelompok) di kampung, akan menangani termasuk pengolahan lahan persawahan, karena diberikan mandat oleh Kementan RI mengurus semua alsintan mulai dari hand traktor, traktor, harvestor combine, alat (mesin) tanam, alat penyemprotan dan lain-lain.
Untuk diketahui bahwa, program pembagian 70:30 persen adalah petani mendapatkan 30 persen, sedangkan brigade (kelompok;red) 70 persen.
Hitung-hitungannya, lahan petani dibuka hingga pasca panen menggunakan alsintan dari Kementan RI melalui brigade. Setelah proses panen, dihitung pembagian untuk areal persawahan yang dimanfaatkan menanam padi.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kampung Sumber Mulya, Distrik Kurik, Arif Wijaya kepada suryapapua.com, kemarin mengungkapkan, program 70:30 maupun penyewaan alsintan masih terus dilakukan sosialisasi dalam beberapa pekan terakhir.
“Kita belum tahu apa yang menjadi keputusan petani. Apakah menggunakan sistem 70:30 atau menyewa alsintan,” ujarnya.
Jika menggunakan sistem 70:30 persen, petani hanya terima bersih dan tidak mengeluarkan sepersen anggaran atau dana untuk pembukaan lahan. Nantinya setelah panen baru dibuat perhitungan bagi hasil gabah sesuai luasan lahan saat dibuka.
Sebaliknya, apakah petani menyewa alsintan untuk mengelola lahan sendiri ? Itu tergantung kepada petani sendiri tanpa ada unsur pemaksaan.
“Ya, tentu harga sewa alsintan akan dibuat perhitungan kembali. Misalnya satu hektar menyewa alat antara Rp500.000-1.000.000, pasti dibicarakan,” ujarnya.
Sejauh ini, menurut, Arif, masih dilakukan sosialisasi dan belum ada tindakan nyata dari dua sistem tersebut sesuai arahan dan petunjuk Kementan RI melalui pendamping.
Meskipun masih disosialisasikan, namun petani juga merasa binggung dengan aturan dimaksud.
“Kenapa bingung? Bagaimana kalau petani itu saban hari menggarap lahan persawahannya, lalu tiba-tiba hanya duduk dan nanti menerima hasil setelah panen yakni 30 persen. Sedangkan pemerintah melalui brigade mendapatkan 70 persen,” katanya.
“Mungkin masih bisa diterima petani ketika ada pekerjaan lain sedang dijalankan atau dilaksanakan. Sehingga pekerjaan pengolaan lahan persawahan hingga panen diserahkan kepada brigade. Tetapi kalau keseharian petani adalah dari rumah ke sawah dan sebaliknya, apakah merasa diuntungkan?,” tuturnya.
Lalu, demikian Arif, perlu dihitung secara baik pula. Kalau 1 hektar berapa banyak uang didapatkan.
Apakah lebih banyak atau sedikit. Jangan sampai merugi karena hanya mendapatkan 30 persen, sedangkan yang menikmati adalah pemerintah dan brigade (kelompok).
Arif menambahkan, harusnya program 70:30 persen itu, cocok untuk pembukaan lahan baru.
Kalau lahan eksisting (lahan yang sudah dimanfaatkan petani) diserahkan untuk dikelola brigade, tentu petani merasa keberatan.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun