Pengakuan Petani di Kampung Ngguti Bob, Satu Hektar Butuh Biaya Rp6.000.000

Ragam472 views

Ngguti Bob—Bapak itu terlihat sudah ‘termakan’ usia. Namun semangatnya masih menggebu-gebu  dengan terus mengola, menanam hingga merawat padinya di sawah hingga menunggu panen datang.

Baginya, usia tidak-lah menjadi penghambat untuk terus berjibaku ditengah lumpur di area persawahan miliknya. Karena lahan yang diolah dari tahun ke tahun untuk menanam padi, menjadi satu-satunya sumber pendapatan.

Dengan pendapatan didapatkan, tentu ‘asap dapur’ pun akan mengepul setiap saat.

Itulah yang dilakukan Riswo, salah seorang petani di Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.

Saat ditemui Surya Papua Selasa (16/07/2024), Riswo mengaku memiliki lahan seluas 6 hektar. Namun demikian, dalam setiap musim tanam, tidak digarap semuanya.

“Ya, saya tidak menggarap seluruh lahan yang ada, karena tak memiliki modal secukupnya. Paling setiap musim tanam baik rendengan maupun gadu, hanya dibuka 2-3 hektar,” tuturnya.

Diapun mengaku, untuk satu hektar, anggaran disiapkan mencapai Rp6.000.000 untuk biaya olah lahan, tanam hingga panen. Kalau pupuk serta obat-obatan untuk penyemprotan, itu diluar estimasi uang tersebut.

“Saya beli pupuk dan menyemprot sendiri. Tidak bisa meminta bantuan orang, karena nanti anggaran keluar lagi, sementara saya orang susah dan hanya mengandalkan kehidupan dari sawah,” katanya polos.

Ditanya hasil dari satu hektar yang dipanen, Riswo mengaku, kalau padinya bagus dan tidak terserang penyakit, bisa dapat 50-80 karung gabah. “Memang pada musim tanam pertama beberapa bulan lalu, hasilnya menggembirakan,” katanya.

Kalau tahun lalu, hancur semuanya. Karena selain padi jatuh serta terendam banjir, juga diserang penyakit.

Sehubungan kesulitan yang dihadapi, dia menambahkan, harga beras tidak sesuai di penggilingan. Kalau datang panenan bagus, harganya jebol.

“Kami jual ke penggilingan Rp8.000/kg, padahal sebelumya harga sampai belasan perkilogram,” ungkapnya.

Penulis : Frans Kobun

Editor   : Frans Kobun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *