SETELAH mencermati dinamika ketatanegaraan kita sepekan terakhir ini, khususnya menyaksikan perdebatan di level elit yaitu pada lembaga kekuasaan eksekutif dan lembaga kekuasaan legislitaf terkait adanya publikasi laporan hasil audit Pusat Pelaporan dan Analisis Transaski Keuangan atau yang disingkat PPATK, yang kemudian menimbulkan kegaduhan public, karena dalam laporan tersebut terungkap indikasi adanya dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp 349 Triliun, yang disinyalir terjadi pada lingkup Kementerian Keuangan dalam kurun waktu 14 tahun.
Sebagai Dosen pengajar Hukum Tata Negara yang ikut menganlisa kegaduhan ini dari perspektif Hukum Tata Negara sangat menyayangkan hal ini terjadi. Memang bila dilihat kemasan dan substansi persoalan ini adalah ranah hukum pidana. Namun bila dikembalikan pada fungsi hukum sebagai mekanisme penyelenggaraan negara ini akan lebih tepat bila dikaji dari pespektif hukum tata negara.
Kita pasti mengetahui bahwa lembaga PPATK yang didirikan tahun 2002 ini adalah lembaga yang lahir dari salah satu tuntutan reformasi dalam bidang hukum. Lembaga ini diharapkan akan lebih memperkuat pemerintah pada bidang keuangan negara, khususnya dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, dan PPATK diposisikan sebagai Lembaga Sentral (focal point).
PPATK awalnya dibentuk berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2002, yang kemudian di ubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003, dan terakhir diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2010, dengan perubahan terakhir ini PPATK benar-benar diberi tugas dan fungsi yang wajib dijalankan secara independen.
Kedudukan PPATK ini justru lebih dipertegas dengan Tata Kerjanya yanga diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022, tentang Organisasi dan Tata Kerja ( OTK) PPATK, di mana dalam OTK PPATK tersebut, PPATK dalam menjalan tugas, fungsi dan kewenangannya wajib menolak segala bentuk campur tangan pihak mana pun.
Dan di dalam OTK PPATK telah menegaskan bahwa PPATK membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Presiden RI dan DPR RI.
Selain Perpres RI Nomor 10 Tahun 2022, sebelumnya telah diterbitkan Perpres RI Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Sesungguhnya Komite ini berdasarkan pasal 3 dan pasal 4 Perpres tersebut hanya memiliki tugas dan fungsi (tusi) mengkoordinasikan penanganan pencegahan dan pemberantasan TPPU dan merumuskan arah dan kebijakan dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU, artinya Tusi dari Komite ini tidak lebih dari pekerjan teknis koordinasi penanganan.
Selanjutnya bila kita mau jujur, sesungguhnya Lembaga PPATK kita ini lebih mencontoh atau lebih mirip dengan Financial Intelligence Unit, sehingga Hasil Analisis (HA) dan Hasil Pemeriksaan (HP) dikategorikan data intelejen keuangan, untuk itu Pertanggung jawaban dari hasil analisis dan pemeriksaan oleh Pimpinan PPATK disampaikan langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kalau berdasarkan uraian di atas dalam persepktif hukum tata negara, maka seharusnya kegaduhan di tingkat elit seperti yang tonton ratusan ribu rakyat dilayar televisi dan media sosial lainnya tidak perlu terjadi. Berdasarkan OTK PPATK yang diatur dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2022, maupun Perpres Nomor 6 Tahun 2012 sama sekali tidak mengatur adanya publikasi HA dan HP PPATK secara terbuka, karena ini adalah data inteligen keuangan, maka salurannya langsung ke Presiden, nanti setelah HA dan HP tersebut sudah di tangan Presiden, baru Presiden memangil para pembantunya yaitu para menteri untuk ikut membahas dalam rapat tertutup dan terbatas.
Begitupun mekanisme yang sama akan terjadi juga di DPR setelah HA dan HP PPATK sampai ke DPR, baru akan dibahas tertutup dan terbatas oleh Pimpinan DPR dan Pimpinan serta Anggota Komisi terkait.
Bila akhirnya Presiden berdasarkan hasil ratas atau ratup ternyata berkesimpulan, bahwa memang benar data informasi yang terangkum dalam HA dan HP PPATK terindikasi kuat dan meyakinkan merupakan TPPU, maka Presiden melalui Menkopolhukkam memerintahkan Kapolri, Kejaksaan, dan bahkan KPK untuk menangani penyelidikan dan penyidikan dengan target membuktikan TPPU dan juga predikat crimenya.
Yang perlu diketahui juga bahwa Hasil Analisis dan Hasil Peneriksaan PPATK yang merupakan data inteligen belum dapat secara langsung diklaim sebagai bukti permulaan, yang kemudian dapat dipublikasikan secara terbuka, karena kedua dokumen ini masih lebih bersifat laporan adminstratif dari PPATK kepada Presiden, nanti dari hasil Ratas atau Ratup Presiden dengan Menko dan menteri terkait termasuk Kapolri, Kejaksaan dan KPK, yang membahas HA dan HP PPATK itu diputuskan untuk ditindaklanjuti sesuai proses hukum TTPU baru dilakukan oleh penyelidikan dan penyidikan oleh Penyidikan Polri atau Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di PPATK atau di Kemeterian Keuangan.
Kegaduhan publik ini terjadi karena angka atau nominal uang begitu besar yaitu 349 Triliyun dan secara langsung disebutkan terjadi di lingkup Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia, inilah sumber kegaduhan dan yang lebih mengejutkan lagi Anggota DPR RI Komisi terkait ikut terkejut, padahal jumlah sebesar itu adalah akumulasi 14 tahun lalu, dan seharusnya DPR tidak perlu terkejut karena UU PPATK telah mewajibkan PPATK untuk memberikan atau menyampaikan laporan kepada Presiden RI dan DPR RI secara berkala 6 ( enam ) bulan sekali.
Pertanyaan mendasarnya, bila hari baru semua pihak terkejut, berarti dapat disimpulkan bahwa pertama, selama 14 ( empat belas ) tahun atau 28 ( duapuluh delapan ) semester PPATK tidak pernah menyampaikan Laporan kepada Presiden dan DPR RI
Kedua, bahwa kalaupun ternyata PPATK dengan konsisten tetap melakukan Pelaporan secara berkala 6 ( enam ), maka dipastikan Dokumen Laporan tidak sampai ke Presiden dan DPR RI, karena selama 14 tahun luput dari Pembahasan di Ratas Presiden maupun DPR RI.
Ketiga, bahwa kalaupun ternyata PPATK dengan konsisten tetap melakukan Pelaporan secara berkala 6 ( enam ) bulan sekali, dan dipastikan Dokumen Laporan sampai ke Presiden dan DPR RI, namun kenapa selama 14 tahun luput dari Pembahasan di Ratas Presiden maupun DPR RI, berarti Presiden dan DPR RI telah nyata-nyata sengaja mengabaikan dan mengesampingkan Laporan PPATK tersebut, ini sama dengan menyimpan bom waktu yang menunggu waktu meledak.
Dan bila ternyata point ke 3 (tiga) di atas yang terjadi, maka apa yang terjadi hari ini sesungguhnya adalah gerakan Tuhan untuk mengungkap kejahatan, dan ini tidak dapat dihalangi oleh siapa pun.
Kejahatan Keuangan ini harus diungkap walaupun seorang Menkopolhukkam terlihat melakukan bom bunuh diri, namun tindakan ini adalah klimaks dari penegakkan hukum di Indonesia dan sekali lagi saya katakan ini adalah Gerakan Tuhan untuk Menyelamatkan Negara Indonesia yang merdeka karena semata – mata Atas Berkat Rahmat Allah, maka negara ini sampai kapan pun tetap terjaga dari kedzaliman.
Solusi konkritnya, DPR sebaiknya berhenti memanggil para menteri terkait dan PPATK, saat ini yang paling tepat adalah Presiden segera menggelar Rapat Terbatas dan Tertutup bahas kondisi eksisting, dan segera memerintahkan Menkopolhukkam bersama Kapolri, Kejaksaan Agung dan KPK untuk segera memulai gelar Penyelidikan dan selanjutnya Penyidikan, dan segera menemukan tersangka dan di bawa atau dilimpahkan ke sidang pengadilan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Ini wajib dilakukan untuk mengembalikan rasa percaya rakyat pada Negara dalam hal ini Presiden dan DPR RI.
Penulis : Burhanuddin Zein
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Negeri Musamus.