Kerugian Sosial ekonomi: Salah Satu Dampak Negatif Gengsi Yang Berlebihan

Opini417 views

PASANGAN  yang baru memasuki rumah tangga itu “terpaksa” bekerja keras demi melunasi semua utang dari pesta pernikahan mereka.

Sumbangan apapun yang telah diberikan ternyata “dihabiskan” dalam pesta sehari semalam. Bukankah sumbangan itu dapat dimanfaatkan sebagai modal awal dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka? Sebab, kehidupan berumah tangga tidak pernah luput dari permasalahan, termasuk persoalan ekonomis.

Umat, dan masyarakat, mengumpulkan dana besar untuk biaya makan-minum dalam acara syukuran tahbisan imam. Konon, hal ini merupakan salah satu bukti dukungan terhadap panggilan seorang imam. Akan tetapi, sumbangan yang besar itu “dihabiskan” dengan mengundang begitu banyak orang ke pesta syukuran imamat. Dan terkadang masih ada sisa dana cukup besar, tetapi tidak jelas pertanggungjawabannya.

Mungkinkah dana (yang telah dikumpulkan dari orang-orang yang berkekurangan) itu dialokasikan untuk kebutuhan pastoral maupun pribadi imam baru?

Dua contoh kasus di atas memperlihatkan kecenderungan ‘gengsi’ dalam masyarakat kita, baik secara kelompok maupun individu. Ada orang yang menunda pembaptisan anak, atau pernikahan gereja, dengan alasan dana belum ada. Aneh, ketika sakit tidak ada uang, tetapi waktu pesta ada uang, karena bisa meminjam; soal cicilan itu urusan belakang.

Betapa tidak! Banyak orang lebih mengidolakan gengsi daripada menerima realitas dirinya. Gengsi diartikan sebagai harga diri atau kehormatan yang dimiliki seseorang. Jika demikian, gengsi dapat menjadi motivasi untuk menjadi lebih baik, meningkatkan kepercayaan diri, dan membangun identitas dalam diri.

Akan tetapi, gengsi yang berlebihan dapat berdampak buruk terhadap diri sendiri maupun relasi dengan orang lain. Terlalu menekankan gengsi dapat membawa dampak buruk, termasuk dampak negatif terhadap pengelolaan ekonomi keluarga.

Tulisan ini hendak membuka wawasan tentang gengsi sebagai harga diri seseorang. Akan tetapi, gengsi yang berlebihan akan membawa dampak buruk terhadap diri sendiri dan orang lain. Salah satunya adalah dampak negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi.

Gengsi Menutupi Kekurangan

Sudah disebutkan bahwa gengsi adalah harga diri atau kehormatan yang dimiliki seseorang. Menurut KBBI, gengsi adalah kehormatan dan pengaruh, harga diri, martabat.  Menurut ilmu psikologi, gengsi dibentuk oleh manusia sebagai benteng terluar untuk menjaga harga diri dan menutupi berbagai kelemahan atau kekurangan. Dengan kata lain, gengsi dibentuk oleh manusia sebagai benteng terluar untuk menyembunyikan kelemahan dan kekurangan yang ada dalam dirinya (Psychology Today).

Jika gengsi diartikan sebagai kehormatan atau harga diri seseorang, maka ia dapat menjadi motivasi untuk hidup yang lebih baik. Kecuali itu, gengsi dapat meningkatkan kepercayaan diri. Sebaliknya, gengsi yang berlebihan dapat menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain. Orang dengan gengsi yang berlebihan cenderung ‘berbohong’ seolah-olah ia memiliki sesuatu, padahal tidak ada.

Orang yang memiliki rasa gengsi yang berlebihan akan melakukan berbagai cara agar terlihat setara dengan atau bahkan lebih tinggi daripada orang lain. Ia tidak ingin dipandang rendah atau menunjukkan kekurangannya di hadapan orang lain. Demi menjaga harga dirinya ia terpaksa berbohong, berpura-pura memiliki segalanya, padahal sebenarnya tidak mempunyai apa-apa.

Seseorang yang memiliki gengsi yang berlebihan cenderung memaksakan terpenuhinya apa yang diinginkan, padahal sesungguhnya tidak mampu. Misalnya, ia sebenarnya tidak mampu membeli HP atau mengadakan pesta, tetapi karena gengsi terpaksa ia berutang demi mempertahankan harga diri dan memenuhi keinginannya.

Realitas gengsi itu telah mewarnai hampir seluruh dimensi kehidupan manusia. Akibatnya banyak orang, termasuk sejumlah organisasi (arisan) keluarga, tidak lagi menerima diri seperti adanya, tetapi terjerumus ke dalam bayangan semu. Orang menutupi kekurangan atau kelemahannya karena lebih berorientasi pada sesuatu yang sebenarnya tidak ada.

Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain

Sifat gengsi pada umumnya terjadi karena seseorang tidak ingin dipandang remeh. Ia berusaha untuk menjadi hebat atau sejajar di mata orang lain dengan melakukan berbagai cara tanpa mempertimbangkan dampaknya. Kecenderungan seperti ini tidak baik, dan (cepat atau lambat) dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Menurut Yoursay.id (6 Juli 2022), ada beberapa dampak negatif dari gengsi yang berlebihan. Dampak negatif tersebut, di antaranya tidak pernah mensyukuri hidup; berpotensi terlilit utang; selalu merasa takut dan kuatir; sulit untuk berkembang; dan selalu merasa kurang.

Dampak negatif tersebut dapat menyusahkan diri sendiri. Kecenderungan bergengsi tinggi berpotensi merugikan diri sendiri dan orang lain. Misalnya, seseorang mengadakan pesta demi harga dirinya, padahal sebetulnya ia tidak memiliki apa-apa. Demi harga dirinya, ia terpaksa berutang tanpa menyadari kemampuan membayar cicilan di kemudian hari. Hal inilah yang dikenal sebagai gengsi. Dan, gengsi itu berhubungan erat dengan harga diri, namun keduanya memiliki perbedaan.

Seorang motivator, Merry Riana (dalam https://www.cxomedia.id/beda-tipis-antara-harga-diri-dan-gengsi/, 13 Juni 2022) mengemukakan sekurang-kurangnya terdapat tiga perbedaan antara harga diri dan gengsi.

Pertama, harga diri dilandasi kesadaran, sedangkan gengsi didasari pengakuan. seseorang yang memiliki harga diri harus menjaga kehormatan dirinya. Gengsi yang berlebihan menghendaki pengakuan eksistensinya. Hal ini menyebabkan ia selalu menutupi kekurangan dirinya agar mendapatkan pengakuan dari pihak lain.

Kedua, harga diri dilandasi kejujuran, sedangkan gengsi didasari kebohongan. Kejujuran membuka topeng yang menutupi diri. Mereka yang gengsinya berlebihan, selalu berbohong, dan berbohong lagi, sehingga menutupi kebohongan lainnya agar jati dirinya tidak diketahui.

Ketiga, harga diri dibayar dengan kerja keras, sedangkan gengsi dibayar dengan utang dan cicilan. Orang yang kerja keras (dan kerja cerdas) selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, dan memperoleh hasil yang maksimal. Gengsi dibayar dengan uang, utang, dan cicilan. Demi sebuah gengsi, seseorang berani mengeluarkan sejumlah uang, bahkan sampai berutang dan mencicilnya dengan susah payah.

Perlu disadari bahwa gengsi sebenarnya bukanlah hal yang penting atau wajib dipenuhi, bukan pula sebuah harga diri. Harga diri yang sehat akan berujung pada pencapaian sebuah tujuan. Sebaliknya, gengsi harus dibayar mahal dengan rasa malu dan tidak percaya diri. Dengan demikian, gengsi, apapun alasannya, merugikan diri sendiri dan orang lain.

Ciri-ciri Orang yang Mengutamakan Gengsi

Ternyata ketika seseorang lebih mementingkan gengsi, bukannya memberikan dampak positif melainkan dampak negatif. Misalnya gengsi dapat melahirkan sosok pribadi yang sombong sehingga dijauhi dari pergaulan umum. Banyak orang mungkin tidak memercayainya lagi karena ia sering berbohong.

Orang yang lebih mementingkan gengsi, memiliki ciri-ciri, sebagaimana dilansir oleh gramedia.com (https://www.gramedia.com/literasi/gengsi-adalah/) di bawah ini.

Pertama, tidak peduli terhadap orang yang lebih muda. Orang yang lebih mementingkan gengsi biasanya mengabaikan orang muda, apalagi anak-anak. Ia selalu menganggap dirinya yang pantas dihormati. Padahal saling menghormati adalah kunci untuk membuka relasi yang baik dengan orang lain, dan saling menjadi sesama.

Kedua, enggan menghargai orang yang berkedudukan rendah. Padahal menghargai orang lain, apalagi orang sederhana dan miskin, merupakan cerminan pribadi sebagai makhluk yang setara di mata Tuhan. Oleh sebab itu, perbedaan dalam dunia ekonomi tidak menjadi penghalang untuk menjalin persahabatan.

Ketiga, cenderung tampil sempurna dan enggan berbuat baik. Penampilan yang baik bukanlah hal yang salah. Akan tetapi, hal itu tidak boleh membuat kita enggan berbuat baik kepada orang lain. Bagaimanapun manusia, siapapun dia, akan selalu berhadapan dengan kondisi tertentu, bahkan kondisi tidak menguntungkan sehingga mengharuskan kita mencari solusinya.

Keempat, tidak mau kelihatan gagal. Orang yang bergengsi tinggi cenderung menyembunyikan kegagalannya. Bahkan ia sering menutupi kegagalan dengan berbagai macam pencitraan, padahal sebenarnya ia sedangkan menampilkan gengsinya.

Kelima, enggan mengakui kesalahannya. Sikap tidak mau mengakui kesalahan menjadi salah satu pemicu terjadinya kehancuran sebuah relasi, baik relasi pertemanan, asmara, maupun relasi dalam keluarga. Salah satu cara memperbaiki relasi adalah dengan mengakui kesalahan serta menghindari gengsi dalam diri sendiri.

Upaya Menghindari Gengsi yang Berlebihan
Sebagaimana telah dikatakan, gengsi yang berlebihan berdampak negatif serta berujung pada kerugian bagi diri sendiri dan orang lain. Untuk mengatasi rasa gengsi yang berlebihan, perlu diupayakan beberapa hal, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, belajar menjadi diri sendiri. Hal ini berarti perlu mengakui kelebihan dan kekurangan diri, serta menghindari kesombongan. Dalam kerendahan hati, sepatutnya kita bersyukur kepada Tuhan atas apa yang dianugerahkan. Selayaknya seseorang berusaha menjadi manusia yang lebih baik dan benar, tanpa menaruh rasa iri kepada orang lain yang lebih berhasil. Sebab, semua orang diciptakan dengan keunikan masing-masing, dan berbeda-beda.

Tidak ada alasan untuk membandingkan-bandingkan diri dengan orang lain. Jika orang tertentu bisa mengadakan pesta yang besar, karena ia memang memiliki kelebihan, yang juga merupakan anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Hal itu tidak berarti orang yang berkekurangan lalu memaksakan keinginan untuk mengadakan pesta serupa, meskipun terpaksa berutang dan membayar cicilan.

Cara terbaik untuk mengatasi rasa gengsi yang berlebihan adalah dengan selalu mengucap syukur kepada Tuhan. Selain itu, perlu menghindari kebiasaan membanding-bandingkan apa yang kita miliki dengan apa yang dimiliki orang lain.

Kedua, hidup sederhana bukanlah suatu aib yang memalukan. “Kami malu karena tidak bisa buat pesta ketika anak kami menerima komuni pertama.” Begitu keluhan yang sempat dilontarkan. Tidak dapat mengadakan pesta bukanlah sesuatu yang memalukan. Mungkin orang lain tidak pernah melihatnya secara negatif, tetapi kita yang mengalaminya merasa malu.

Kalau pun kondisi saat ini miskin, hal itu bukanlah sesuatu yang membuat seseorang merasa minder. Belum tentu orang selamanya kaya. Begitu pula, orang tidak selamanya miskin. Sebab, kondisi hidup manusia bisa saja berubah dan berbalik secara radikal. Oleh karena itu, selayaknya kita berusaha keras dan cerdas, sambil tetap percaya dan berharap, dalam mencari penghasilan. Bukankah kesuksesan itu berasal usaha yang cerdas dan membutuhkan proses yang jujur?

Ketika melihat orang lain lebih berhasil, berusahalah memberikan apresiasi. Lebih baik belajar bersikap sportif daripada mencari cara untuk mempertahankan gengsi. Lebih baik belajar tentang apa yang telah dilakukan orang tersebut agar menjadi sukses, dan mencari persaingan yang sehat.

Penutup

Gengsi dapat berdampak positif, misalnya menimbulkan kepercayaan diri serta menjadi motivasi untuk kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, jika gengsi itu berlebihan, maka tidak akan membawa keuntungan apa-apa, bahkan merugikan diri sendiri dan orang lain.

Salah satu dampak dari gengsi yang berlebihan adalah kerugian di bidang sosial ekonomi (pengelolaan keuangan keluarga). Demi mempertahankan gengsi, orang “terpaksa” berutang, misalnya untuk mengadakan pesta (pernikahan, pembaptisan anak, komuni pertama, syukuran imam baru, syukuran keluarga dan kelompok arisan, bahkan pesta Natal dan Paska). Akibatnya sesudah pesta, keluarga yang bersangkutan harus bekerja keras untuk melunasi seluruh utangnya. Dan, hal ini sering dirasakan sebagai “beban” berat yang harus ditanggung selama beberapa bulan, bahkan bertahun.

Dipandang dari dampak negatif, orang yang lebih mementingkan gengsi tidak menampilkan diri apa adanya. Ia cenderung berbohong dan menutupi kekurangannya.  Untuk mengatasi gengsi yang berlebihan, seseorang perlu belajar menjadi diri sendiri dan senantiasa bersyukur atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Kecuali itu, perlu disadari bahwa kesederhanaan hidup, bahkan kekurangan bukanlah suatu aib yang memalukan. Melalui usaha yang jujur, halal, dan rendah hati, setiap orang berpeluang untuk meraih kesuksesan. Sebab, kesuksesan dan kebahagiaan bukanlah monopoli kaum elit atau orang kaya.

Penulis: Agustinus Gereda

Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap di Universitas Musamus Merauke, dan membantu di STK St. Yakobus Merauke.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *