Merauke, Suryapapua.com– Memprihatinkan! Kata ini tepat untuk menggambarkan situasi anak-anak Papua di pedalaman di Sekolah Dasar (SD) Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (YPPK) Teri, Distrik Kimaam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Betapa tidak, dua tahun, kegiatan belajar mengajar tidak berjalan. Kepala sekolahnya dengan alasan sakit, hengkang dan lebih memilih tinggal di sekolah.
Akibatnya bangunan sekolah-pun rusak parah. Kursi dan meja-pun tidak ada sama sekali, Sehingga ketika sekolah baru diaktifkan kembali dalam beberapa minggu terakhir oleh kepala sekolah baru, ratusan anak harus duduk melantai sambil mengikuti proses belajar mengajar.
Kepala Sekolah SD YPPK Teri, Johanes Jordanus Sutawibawa ketika dihubungi melalui ponselnya Jumat (3/11) mengaku, setelah dilantik Bupati Merauke, Romanus Mbaraka bersama ratusan kepala sekolah lainnya, ia langsung bergerak ke tempat tugas.
“Memang saat datang pertama, saya hanya bisa terdiam. Lima ruangan kelas di SD YPPK Teri rusak parah. Plafon mapun dinding dan lain-lain, hancur. Belum lagi halaman di sekitar sekolah, ditumbuhi rumput tebal, karena selama dua tahun, kegiatan belajar mengajar tidak berjalan,” ungkap Johanes.
Setelah melakukan pengecekan di setiap ruangan kelas yang rusak parah itu, tak ada kursi dan meja.
Meskipun dengan berbagai keterbatasan dan kekurangan disana sini, namun Johanes tak patah arang. Ia terus melangkah melakukan pembenahan secara perlahan-lahan, utamanya data jumlah siswa-siswi di SD YPPK Teri.
Selain pendataan, kegiatan proses belajar mengajar, wajib dijalankan. Karena sudah dua tahun, anak-anak nganggur, alias tidak mendapatkan sentuhan pendidikan dari guru-guru.
“Ya, anak-anak harus duduk dilantai mengikuti kegiatan belajar mengajar. Ada beberapa anak membawa tikar dari rumah untuk digunakan sebagai alas,” ungkapnya.
Ditanya jumlah siswa-siswi di SD YPPK Teri, Johanes mengaku data sementara sekitar 242. Hanya saja, jumlahnya akan bertambah, lantaran masih dilakukan pencarian NIK.
“Lalu saya juga belum bisa membagi rombongan belajar. Karena harus mengetahui terlebih dahulu kemampuan anak didik. Jika sudah bisa menulis dan membaca baik, langsung di Kelas VI, termasuk menyesuaikan dengan usia mereka,” jelasnya.
“Memang saya harus memulai dari nol. Karena kondisinya seperti demikian. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus membenahi perlahan mulai dari anak didik, bangunan fisik sekolah dan lain-lain,” katanya.
Untuk tenaga guru, menurutnya, yang berstatus PNS hanya dirinya sekaligus sebagai kepala sekolah, juga dua guru honorer. Mereka sudah lama mengabdi, namun terhenti selama dua tahun, akibat kepala sekolah sebelumnya di kota.
“Saya sudah panggil mereka kembali melaksanakan tugas. Jadi kami sedang melakukan pembenahan secara perlahan,” ujarnya.
Johanes mengakui telah melaporkan kondisi ini ke Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Merauke. Harapannya agar dilakukan renovasi kembali bangunan sekolah sehingga kegiatan belajar mengajar bisa berjalan kembali.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun