Merauke, Suryapapua.com– Senin 22 Januari 2024, sekitar pukul 15.30 WIT, arak-arakan umat, kendaraan, drum band serta tarian salah satu etnis, menghantar RD Stefanus Mahuze dari rumahnya di daerah Sayap, menuju ke Paroki Sang Penebus Kampung Baru.
Disana ratusan umat telah menanti Pastor Stefanus Mahuze, Putra Asli Marind (pemilik negeri ini) untuk memimpin misa perdana, setelah ditahbiskan bersama dua rekan pastor lainnya yakni RD Wilfridus Fallo dan RD Simon Petrus Laian oleh Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC di Gereja St. Fransiskus Xaverius Katedral Merauke Sabtu 20 Januari 2024.
Untuk diketahui, Pastor Stefanus Mahuze memimpin misa perdana di Gereja Sang Penebus Kampung Baru, karena sejak kecil menjadi bagian dari gereja tersebut.
Tepat puku 16.00 WIT, prosesi perarakan dilakukan. Didampingi puluhan pastor, perarakan menuju ke dalam gereja, sekaligus misa perdana dipimpin langsung Pastor Stefanus.
Ratusan umat memadati gereja, termasuk di halaman. Tampak hadir Sekretaris Daerah (Sekda) Merauke, Yeremias Paulus Ndiken bersama ibu serta sejumlah pejabat Katolik lain.
Dalam khotbahnya, banyak cerita unik dan menarik diutarakan dan atau disampaikan Pastor Stefanus Mahuze dengan motto tahbisan,” Sesungguhnya Aku ini Hamba Tuhan, Terjadilah Padaku Menurut Kehendakmu (Luk 1:38).”
Cerita-cerita tersebut, sempat membuat gelak tawa ratusan umat baik di dalam maupun di luar gereja.
Betapa tidak, Pastor Stefanus mengulas pengalamannya ketika masih duduk di bangku SMP. Dimana hendak mengenal seorang wanita, namun harapannya pupus, lantaran cinta ditolak.
Sebelum beranjak dewasa, Stefanus adalah misdinar (putra altar) di gerejanya ketika di bangku pendidikan sekolah dasar (SD).
“Memang saat masih di kelas IV SD setelah sambut baru (penerimaan komuni pertama), langsung menjadi misdinar. Mulai dari situlah, tumbuh panggilan untuk menjadi seorang pastor,” ujarnya.
Selain itu, menurutnya, ketertarikan melihat para pastor memimpin perayaan misa, termasuk khotbah.
“Jujur saya kagum sekali dengan Pastor Miler Senduk, MSC saat memimpin misa. Bagi saya sangat gagah, suaranya lantang serta keras dari atas mimbar,” jelasnya.
Ketika masuk di bangku SMP, benih panggilan menjadi seorang pastor, sepertinya ‘redup.’ Karena ia sedang kecantol dengan cinta, setelah melirik seorang wanita.
Hanya saja, orangtua melarang. Karena saat di bangku SD, ia telah mengutarakan niatnya menjadi pastor.
“Ya, meski dilarang, saya mencoba mengutarakan cinta melalui tulisan di lembaran kertas yang dihiasi dengan gambar love,” ujar Pastor Stefanus disambut ketawa umat.
Surat-pun tuntas ditulis dan sedianya diserahkan secara langsung ke wanita yang dliriknya itu. Janji bertemu ditepati, sekaligus menyerahkan surat cinta.
Harapan dan niat besar mendapatkan cinta dari wanita tersebut, bertepuk sebelah tangan. Betapa tidak, setelah surat diterima, bukannya dibaca, tetapi dirobek-robek dihadapannya.
Disaat itulah, Stefanus memutuskan tidak ‘mengenal’ wanita sekalian berpacaran.
“Usai tamat, saya mendaftarkan diri di Seminari Pastor Bonus. Ketika itu, Pastor Andi Fanumbi memulai,” katanya.
Saat di seminari dan membaca buku sejarah gereja yang diterbitkan, iapun sadar bahwa misionaris MSC datang membawa Injil. Dan, leluhur di tanah ini menerimanya dengan suka cita. Sehingga karya dimaksud dilanjutkan.
“Awalnya saya ingin masuk MSC. Hanya saja ketika itu, Bruder MSC yang mengajar kami sejarah gereja di seminari mengatakan, sewaktu-waktu MSC bisa pindah. Sedangkan Pr (Projo) tidak.Sehingga saya akhirnya memilih Projo karena ingin selama-lamanya disini,” ungkapnya.
Lebih lanjut Stefanus mengaku, panggilan Tuhan itu tidak selamanya enak-enak. “Saya sendiri pernah mengalami ketika mengambil studi S2 di Yogyakarta yang agak lama,” katanya.
“Dari kegagalan, saya merasa bahwa saya sedang membangun tembok kesombongan. Karena merasa calon imam Projo paling mahal sudah. Artinya saya disekolahkan oleh Jesuit dengan fasilitas lengkap. Lalu segala macam bentuk kegiatan diberikan, hingga membuat saya merasa nyaman dan akhirnya lupa diri,” ungkapnya polos.
Ketika dirinya gagal dalam mata kuliah (tidak lulus), dari situ mulai merefleksi diri dan berusaha bertobat. Selanjutnya belajar lagi dan akhirnya lulus.
Sepulang dari studi S2, berharap akan langsung ditahbiskan menjadi imam. “Namun sayang di sayang, Bapak Uskup Agung Merauke mengatakan, oh tidak. Ngana cabut rumput dan tanam bunga selama setahun dulu.”
Saat itu, demikian Stefanus, hatinya berontak. saban hari selalu dibaluti pikiran telah gagal.
Lebih menyakitkan lagi, seorang rekan pastor mengatakan kepada dirinya, ” Sekolaah tinggi-tinggi, eh pulang cabut rumput. Ya, sebagai manusia saya emosi. Tetapi kemudian, saya refleksi dan merendahkan diri. Lalu saya harus turun untuk belajar dari hal- hal sederhana.”
Dengan berbagai peristiwa pahit dialami serta dirasakan, mampu dihadapi dengan tenang serta selalu berserah diri kepada Tuhan. Sehingga pada akhirnya ditahbiskan menjadi seorang imam oleh Uskup Agung Merauke beberapa hari lalu.
“Dari atas mimbar altar, saya mengajak anak-anak untuk kita lanjutkan. Kalau Tuhan sudah pilih, pasti akan menemani kita,” katanya.
“Hari ini juga, saya berdiri sebagai imam baru, imam projo, itu berkat doa dan dukungan dari keluarga dan umat di Paroki Sang Penebus Kampung Baru. Terimakasih banyak untuk semuanya,” ungkap Pastor Stefanus.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun