GURU Agama Katolik harus melaksanakan peran profesinya dalam situasi bahaya tersebut? Satu hal yang ditegaskan di atas bahwa peran ini akan berjalan dengan baik apabila jati diri Guru Agama Katolik sangat kokoh.
Salah satu tuntutan dalam memenuhi persaingan pasar adalah profesionalitas. Atas dasar itu, semua negara menerapkan kebijakan pendidikan yang terarah kepada profesionalitas.
Hal ini tampak dalam tujuan pendidikan menurut Unesco yaitu pendidikan harus bertujuan untuk mengetahui, menciptakan, mengerjakan, menjadi diri sendiri dan hidup bersama.
Tujuan pendidikan di atas tampak kelihatan sangat integral namun kekuatan arus globalisasi tetap mendorong penekanan utama pembangunan manusia adalah profesionalitas.
Profesionalitas adalah sebutan halus untuk proses instrumentalisasi manusia, menghasilkan manusia yang laku di pasar kerja. Mengapa demikian?
Profesionalitas berhubungan erat dengan pembagian bidang kerja di mana seseorang tidak boleh masuk dalam wilayah orang lain. Alat penjaga batas bidang kerja ini adalah organisasi profesi. Sejalan dengan upaya proteksi tersebut, di sana juga terdapat aneka tuntutan terhadap anggotanya untuk melakukan tindakan-tindakan minimal yang harus dilakukan sesuai bidangnya tersebut.
Penetapan standar kerja atau pelayanan minimal tersebut dikemas dalam bentuk asas-asas yang termuat dalam kode etik profesi. Kerja seseorang disebut professional apabila memenuhi standar minimal yang ditetapkan tersebut. Standar minimal yang merupakan kewajiban tersebut, diimbangi dengan hak yang harus dipenuhi oleh anggota profesi yang didapatkannya dari pelayanannya terhadap masyarakat.
Hak tersebut seringkali tereduksi dengan upah yang diterima kaum profesional. Singkatnya, professionalitas sangat penting agar mampu berkompetisi dalam percaturan dunia pasar kerja. Pertanyaan yang muncul adalah bukankah hal seperti ini penting dalam konteks pelayanan seorang Guru Agama Katolik ?
Dua ekstrim yang akan muncul berhubungan dengan bidang kerja Guru Agama Katolik. Apabila Guru Agama Katolik tidak professional, dia akan tergerus atau kalah bersaing dalam konteks pasar kerja. Di sisi lain, ketika dia masuk hitungan profesionalitas (pasar kerja), dia harus memenuhi standar minimal dalam pekerjaan dengan konsekuensi upah yang jelas.
Di samping itu pelayanan pastoral mereka akan terjadi sejauh memiliki standar professional yang jelas termasuk upah yang sesuai standar minimal. Selain itu, dalam pelayannnya pun, dia cukup dibatasi oleh standar minimal pekerjaannya tanpa harus menampilkan totalitas pekerjaannya.
Hal itu sudah dianggap sesuai standar profesi. Prinsip profesionalitas di satu sisi dituntut adanya kemampuan dan kecakapan yang tinggi, di sisi lain harus siap menuntut hak untuk dihargai dengan imbalan yang sepadan.
Praktisnya, profesionalitas selalu menuntut hak yang semakin tinggi atas pelayanan profesi. Apabila seseorang bekerja melampaui batas maksimal tanpa diimbangi efek jasa, hal itu dianggap kurang efisien (hemat tenaga, hemat waktu, hemat uang, hemat pikiran).
Suatu pekerjaan yang inefisiensi dianggap belum professional. Selain itu, pekerjaan tanpa standardisasi upah yang jelas juga dianggap pekerjaan yang kurang profesional sebab input lebih besar dibandingkan output dan impact.
Berkaitan dengan dua ekstrim ini, Guru Agama Katolik perlu kembali disadari dengan semangat dasar profesionalitas yang telah hilang karena pengaruh perspektif “globalisasi”.
Profesi berasal dari kata profess yang berarti “meneruskan sesuatu.” Sebutan profesi sebenarnya memiliki makna religius yang merujuk pada kaul kebiaraan. Namun dalam perkembangannya, makna ini hilang dan diberi makna profesional sebagaimana dijelaskan tadi.
Itulah sebabnya gagasan panggilan seorang agen pastoral menjadi seorang profesional ditentang oleh para agen pastoral. Antara panggilan dan profesi pada umumnya sedikit bertentangan, terutama pendasaran profesi yang bertumpu pada standar-standar atau asas-asas minimal pelayanan sedangkan panggilan dalam pelayanan pastoral merupakan wujud tanggung jawab seorang kepada Allah.
Pelayanan profesional cukup memenuhi standar minimal itu sudah cukup dalam konteks komunal. Sedangkan pelayanan dalam perspektif panggilan religius merujuk pada standar maksimal sebab kebenaran tindakan itu adalah Allah atau Tuhan sendiri.
Kalau profesional memiliki tanggung jawab sosial sedangkan pelayanan pastoral lebih kepada tanggung jawab religius kepada Tuhan. Ukuran profesi bersifat minimalis sedangkan ukuran panggilan religius melampaui batas minimal. Walaupun pelayanan pastoral tidak bisa dengan ketat disejajarkan dengan profesi-profesi lain, tetapi pelayanan ini cukup analog dengan profesi-profesi lain.
Pelayanan pastoral sebagai suatu panggilan berarti suatu tanggapan bebas terhadap panggilan Tuhan di dalam dan melalui komunitas untuk mengabdikan diri dalam cinta demi pelayanan kepada sesama. Berdasarkan pemahaman ini, maka ada beberapa dimensi panggilan73: pertama, dimensi komunal (panggilan untuk pelayanan itu didengarkan di dalam gereja, didukung oleh gereja, dan untuk melayani misi gereja.
Kedua, dimensi transendental (keberpihakan pada sesuatu yang lebih atau mengatasi). Semua agen pastoral harus mengenal tanggapan masyarakat dengan menunjuk yang lebih daripada “hanya saya.” Sifat sukarela harus menyertai dimensi ini dengan jalan berdisiplin diri dan menomorduakan kepentingan pribadi demi pelayanan pada kesejahteraan umum.
Keterkaitan antara “dipanggil” dengan “menjadi profesional” memperteguh kesadaran bahwa semua yang kita lakukan dalam pelayanan adalah tanggapan bebas atas kehadiran Tuhan di dalam dan melalui komunitas yang memanggil kita untuk bertindak atas nama-Nya sebagai tanda-tanda dan agen cinta kasih Tuhan.
Komunitas mengenali pribadi-pribadi sebagai yang secara bebas menanggapi undangan Tuhan dalam Kristus untuk berperan serta dalam kegiatan Tuhan yang dilakukan terus-menerus guna memantapkan perjanjian cinta kasih dengan semua orang dan akhirnya membawa setiap orang kepada partisipasi penuh di bawah Kerajaan Allah.
Bahwa pelayan pastoral merupakan sebuah panggilan dan sebuah profesi, itu berarti bahwa tanggung jawab moral menjadi seorang pelayan muncul tidak hanya dari pengakuan- pengakuan sosial supaya menjadi professional, tetapi lebih merupakan undangan dari Tuhan untuk mencintai dengan cara-cara memantulkan jawaban atas panggilan Tuhan dengan mengikuti jalan Murid Yesus.
Penulis
Ludgerus Waluya Adi, S.Ag
Guru SD YPPK St. Theresia Buti Merauke