Merauke, Suryapapua.com– “Hadirnya Kampung Imbuti yang didiami atau dihuni orang Marind-pemilik ulayat dalam wilayah Kota Merauke ini, merupakan hasil karya emas dari tangan seorang Romanus Mbaraka yang kala itu menjabat sebagai Bupati Merauke periode 2011-2016.”
Demikian disampaikan Burhanuddin Zein, salah satu penggagas Kampung Imbuti saat ditemui Surya Papua Jumat (8/7). Menurutnya, masyarakat Marind Imbuti pernah mengalami sejarah buruk , setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa.
“Kenapa saya katakan demikian, karena ketika itu, Kampung Imbuti dihilangkan menjadi Desa Samkai. Dalam bahasa Marind, Samkai adalah jalan besar,” ujarnya.
Dengan hadirnya Desa Samkai, lanjut Zein, masyarakat Marind Imbuti mengalami dan merasakan sesuatu sangat menyedihkan. Karena kampungnya hilang secara administrasi, meskipun orangnya masih hidup sampai sekarang.
Lebih parah lagi, dalam perjalanan, Desa Samkai berubah menjadi kelurahan. Jadi lengkap sudah penderitaan orang Marind untuk berkembang di atas tanahnya.
“Saya menghitung sejak 1975 sampai 2015, baru Peraturan Daerah (Perda) tentang pembentukan Kampung Imbuti keluar. Jadi selama kurang lebih 40 tahun, orang Marind-Imbuti, kehilangan kampung serta identitasnya,” ujar Zein.
Selama itu, orang Marind-Imbuti hidup dalam wilayah Kelurahan Samkai. Artinya bahwa kebijakan yang diturunkan pemerintah entah dari pusat, provinsi dan kabupaten, tak menyentuh mereka secara spesifik.
Karena, menurutnya, secara administrasi wilayah, dikelola suatu kelurahan yang didalamnya berdomisili orang-orang yang sudah mapan baik dalam bidang sandang, pangan serta papan. Sementara orang Marind-Imbuti hidup diantara cela-cela bangunan dan luput dari sentuhan pemerintah.
Zein kembali menegaskan, bagi orang Marind, hanya ada tiga symbol identitas yakni kampung, marga dan golongan (Imoh, Mayo, Sosom dan Esam). Jadi mereka masih hidup dalam ketiga simpul dimaksud.
“Intinya orang Marind masih ada dan dilindungi konstitusi serta Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 18 B,” katanya.
Lalu di era reformasi termasuk hadirnya otonomi khusus (otsus), orang baru mengenal Imbuti, karena adanya Lembaga Masyarakat Adat (LMA).
Dalam perjalanan pula, undang-undang desa keluar sekaligus memperkuat pemberian nama kampung bagi Papua.
Dengan demikian, ada penguatan bahwa membangun itu dari desa atau kampung. Bukan lagi managemen top down diterapkan, tetapi bottom up. Atau bukan lagi membangun desa tetapi desa atau kampung membangun.
Zein kembali menceriterakan, hadirnya Kampung Imbuti, setelah berdiskusi dengan Bupati Merauke, Romanus Mbaraka periode 2011-2016 silam. “Pak Rom menanyakan kepada saya, kira-kira apa yang bisa diberikan atau dibuat untuk orang Marind-Imbuti,” katanya.
“Seketika juga saya sampaikan satu saja, mereka telah kehilangan identitas. Sehingga Kampung Imbuti harus dikembalikan. Lalu saya disuruh menulis,” ujarnya.
“Kenapa saya meminta, karena kampung-kampung eks transmigrasi, mendapatkan dana Gerbangku dan lain-lain. Sedangkan orang Marind Imbuti tidak, karena bergabung dalam wilayah Kelurahan Samkai,” jelasnya.
Setelah Imbuti menjadi kampung definitif dalam wilayah Distrik Merauke, mereka pun mendapatkan bantuan dana dari pemerintah secara rutin setiap tahun.
“Ya semua ini ada karena karya besar atau karya emas dari tangan seorang Romanus Mbaraka terhadap orang Marind Imbuti,” tegasnya.
Selama ini, orang Imbuti hanya dikenal dengan papan nama LMA, namun kini telah memiliki kampung sendiri melalui penetapan oleh DPRD setelah diusulkan pemerintah setempat.
“Saya kira ini suatu sejarah yang dibuat Pak Romanus Mbaraka. Sehingga wajib dibuat dalam bentuk buku. Karena pernah ada komunitas Marind yang terancam hilang, namun di tangan anak kampung dari pulau terapung Kimaam, muncul atau hadirnya Kampung Imbuti sampai sekarang,” tandasnya.
Dengan dibuatkan dalam suatu buku, demikian Zein, agar pemimpin Merauke yang akan datang, ketika membuat suatu kebijakan, berkaca dari Kampung Imbuti.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun
Perlu ada program kerja yang jelas. Tidak cukup hanya dikasih dana dan itu dianggap selesai. Perlu ada program kerja yang jelas (berjangka), perlu ada pendampingan, lalu ada monev, dst