DALAM masyarakat, kita sering terdengar keluhan, “Kami ini mau taruh muka di mana? Anak kami ditangkap polisi karena kedapatan mencuri.” Yang lain mengeluh, “Anak perempuan di rumah hamil di luar nikah. Lalu kami taruh muka di mana?” Seseorang, yang tidak bersedia disebutkan namanya, pernah menceletuk, “Saudara saya terlibat dalam pemakaian dan pengedaran narkoba. Bagaimana dengan muka kami?” Begitu seterusnya masih ada sederetan keluhan senada yang berkaitan dengan klausa ‘taruh muka’.
Deretan keluhan itu menunjukkan bahwa ‘muka’ adalah bagian tubuh manusia yang sedikit banyak menampilkan isi hati, kehormatan dan martabat seseorang. Bahkan ‘muka’ dapat mewakiliki seluruh anggota tubuh manusia.
Gilian Brown dan S.C. Levinson (1987) menyatakan bahwa muka itu rawan terhadap ancaman yang timbul dari tindak tutur tertentu. Seorang teman di asrama dulu, ketika kejatuhan pintu kamar mandi, spontan menutup mukanya dengan tangan sambil keluar dari kamar mandi. Padahal secara rasional ia seharusnya menutupi bagian bawah tubuhnya itu.
Di beberapa wilayah pada zaman dulu dapat ditemukan sejumlah ibu yang sedang membuang hajatnya sambil menghadap ke lautan lepas. Hal yang biasa dilakukan setiap pagi sambil memandang lautan itu bertujuan untuk menghindari rasa malu jika ada orang lain yang melewati tempat tersebut. Dan tentu masih banyak contoh reaksi orang yang berusaha menyelamatkan muka mereka.
Klausa ‘taruh muka’ dapat berpadanan dengan frase ‘kehilangan muka’ yang menjadi topik dari tulisan ini. Menurut KBBI, frase ‘kehilangan muka’ bermakna ‘beroleh malu.’ Seseorang merasa malu, bahkan tertekan batinnya karena kehormatannya terancam oleh tindakan ancaman muka, baik verbal maupun nonverbal.
Upaya menyelamatkan muka dilakukan karena seseorang merasa terganggu kenyamanannya, merasa malu, bahkan merasa kehormatan atau nama baiknya tercoreng.
Tindak Tutur (Penutur dan Lawan Tutur)
Kehilangan muka tidak terlepas dari istilah ‘tindak tutur’ dalam ilmu linguistik, khususnya subdisiplin pragmatik. Dalam interaksi atau komunikasi sosial, alat terbaik yang digunakan adalah bahasa. Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pertukaran informasi antara penutur dan lawan tutur melalui suatu sistem simbol, lambang atau tanda maupun tingkah laku.
Dalam proses berkomunikasi terdapat tiga komponen yaitu partisipan, hal yang diinformasikan dan alat. Pertama, partisipan adalah pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah komunikasi. Pada partisipan ada pihak yang memberi informasi (penutur) dan ada pihak yang menerima informasi (lawan tutur atau mitra tutur). Kedua, hal yang diinformasikan berupa gagasan, ide, atau pemikiran mengenai sesuatu. Ketiga, alat adalah sarana yang digunakan untuk menyampaikan informasi berupa lambang atau kode yang berfungsi sebagai pengganti bahasa.
Setiap penutur dituntut untuk memahami situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur. Ketiganya tidak dapat dilepaskan dari konteks berbahasa atau berkomunikasi. Dalam berkomunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur (speech situation). Artinya, maksud sebuah tuturan hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Selanjutnya, peristiwa tutur (speech event) adalah berlangsungnya sebuah interaksi linguistik dalam satu atau lebih ujaran yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok pembicaraan, dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi atau berbahasa terjadi aktivitas bertutur. Jadi, kegiatan bertutur sebagai aktivitas berkomunikasi merupakan suatu tindakan. Tindakan yang terkandung dalam sebuah tuturan disebut tindak tutur (speech act).
Istilah tindak tutur ini diperkenalkan pertama kali oleh J.L. Austin (1911-1960) dalam bukunya How To Do Things with Words. Baginya ujaran atau penuturan adalah sebuah bentuk tindakan. Tindakan itu dapat terjadi apa adanya (lokusi), memiliki maksud tertentu (ilokusi), dan memiliki daya bagi lawan tutur untuk berbuat sesuatu (perlokusi). Dengan demikian, tindak tutur (baik verbal maupun nonverbal) dapat memengaruhi pihak yang menerima sebuah tuturan (lawan tutur), baik secara positif maupun negatif.
Konsep Muka (Face)
Dalam subdisiplin pragmatik, George Yule (1996 dalam bukunya Pragmatics) menyatakan bahwa konsep ‘muka’ (face) berkaitan erat dengan strategi kesantunan berbahasa atau penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Brown dan Levinson (1987 dalam buku Politeness Some Universal in Language Usage) mendefinisikan ‘muka’ (face) sebagai citra diri umum yang dimiliki oleh setiap orang, yang meliputi dua aspek yang saling berkaitan yaitu muka negatif dan muka positif.
Muka negatif adalah keinginan setiap orang untuk wilayah, hak perseorangan, hak untuk bebas dari gangguan, yaitu kebebasan bertindak dan melakukan sesuatu. Sementara itu, muka positif adalah citra diri atau kepribadian positif yang konsisten dari seseorang yang berinteraksi, termasuk keinginan agar citra positif ini diakui dan dihargai.
Dengan kata lain, muka negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain, sedangkan muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dapat diterima dan disenangi oleh pihak lain.
Brown dan Levinson (1987) menegaskan bahwa konsep muka ini bersifat universal (berlaku di mana pun, kapan pun, dan siapa pun), dan secara alamiah terdapat berbagai tuturan bahasa yang cenderung merupakan tindakan yang tidak rmenyenangkan, yang disebut ‘tindakan mengancam muka’ (face threatening acts).
Seseorang yang mukanya diancam melalui tindak tutur tertentu, akan mengalami konflik batin, merasa tidak nyaman, atau merasa malu. Terkadang ia merasa curiga terhadap pihak-pihak lain di sekitarnya. Misalnya orang yang terlibat masalah korupsi, tersangkut persoalan selingkuh, permasalahan narkoba, masalah pembunuhan, dan sebagainya.
Selama kasus-kasus ini tidak diketahui, agaknya ia merasa aman-aman saja. Sebaliknya, ketika kasus-kasus itu tersingkap, orang baru mulai menyadari perbuatannya, dan mengalami kegelisahan karena kepadanya dituntut sebuah tanggung jawab. Dalam situasi tersebut ia berefleksi dan membatin, “Mau taruh muka di mana ini?”
Tindak Tutur Mengancam Muka
Tindakan yang mengancam muka dibedakan atas dua macam, yaitu tindakan muka positif dan tindakan muka negatif lawan tutur. Brown dan Levinson (1987) memberikan beberapa contoh tindakan yang pada tingkat tertentu mengancam muka negatif dan muka positif lawan tutur (mitra tutur).
Tindakan yang mengancam muka negatif meliputi tindakan yang terkandung dalam (a) ungkapan mengenai perintah dan permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman, tantangan; (b) ungkapan mengenai tawaran, janji; dan (c) ungkapan mengenai pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian dan kemarahan terhadap lawan tutur.
Tindakan yang mengancam muka positif meliputi (a) ungkapan mengenai ketidaksetujuan, kritik, tindakan merendahkan atau mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan; (b) ungkapan mengenai pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan; (c) ungkapan mengenai emosi yang tidak terkontrol yang membuat lawan tutur merasa takut atau dipermalukan; (d) ungkapan yang tidak sopan, penyebutan hal-hal yang bersifat tabu ataupun yang tidak pantas dalam suatu situasi; (e) ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, atau menyombongkan berita baik; (f) ungkapan tentang hal-hal yang membahayakan serta topik yang bersifat memecah belah pendapat, seperti masalah politik, ras, dan agama; (g) ungkapan yang tidak kooperatif dari penutur terhadap lawan tutur, yaitu menyela pembicaraan; (h) ungkapan mengenai sebutan ataupun hal-hal yang menunjukkan status lawan tutur pada perjumpaan pertama.
Kehilangan Muka dan Strategi Mengatasinya
Tindak tutur mengancam muka secara negatif (verbal maupun nonverbal) dapat menimbulkan lawan tutur merasa kehilangan muka. Dalam hal ini, seseorang yang mukanya diancam akan merasa malu maupun takut. Tindak tutur mengancam muka dapat melukai perasaan hati seseorang. Tindakan tersebut dapat mengancam zonah nyaman, ketenangan, kehormatan, dan martabat pihak lawan tutur. Padahal setiap orang (siapapun dia) pada dasarnya ingin dihargai dan diakui eksistensinya.
Dalam siaran pers, wajah seseorang yang terlibat kasus korupsi, pembunuhan, ataupun kasus kejahatan lainnya ‘diacak’ sedemikian dengan tujuan untuk menghargai kemartabatannya. Peristiwa kecelakaan yang berakibat kematian keji hendaknya tidak disebarkan secara meluas agar keluarga yang mengalami musibah tersebut terhindar dari ancaman kehilangan muka.
Beberapa jurnalis sengaja menahan informasi tertentu, seperti kasus korupsi, karena hal itu dapat mengancam muka rezim yang sedang berkuasa. Ada hakim yang terpaksa menjatuhkan hukuman secara tidak adil karena takut kehilangan mukanya di depan kliennya yang (mungkin) telah menjanjikan “sesuatu”.
Di dalam dunia pendidikan, guru atau dosen sering melemparkan kesalahan, misalnya terlambat masuk kelas, karena takut kehilangan kewibawaan di depan peserta didik. Anak-anak sering dipersalahkan di rumah karena orang tua mereka tidak rela kehilangan muka. Seorang suami terpaksa membohongi istrinya karena takut rahasia pribadinya tersingkap, dan/atau kewibawaannya terancam.
Tindak tutur mengancam muka mendorong penutur memilih ‘strategi’ dengan mempertimbangkan situasi atau peristiwa tutur, yaitu kepada siapa (to whom), di mana (where), kapan (when), tentang apa (what), dan untuk apa (and to what end) ia bertutur (bdk. Fishman,1972). Brown dan Levinson (1987) mengemukakan adanya lima strategi bertutur, yang dapat dipilih sesuai dengan situasinya, yakni (a) terus terang tanpa basa-basi, (b) menggunakan kesantunan positif, (c) menggunakan kesantunan negatif, (d) sama-samar atau tidak transparan, dan (e) bertutur “di dalam hati” atau tidak mengujarkan maksud hatinya.
Penutup
Tindak tutur mengancam muka (face threatening acts) dapat mengakibatkan lawan tutur merasa kehilangan muka. Hal ini sering terjadi dalam berkomunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal.
Tindakan tersebut berkaitan erat dengan kesantunan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Orang yang mengalami kehilangan muka akan merasa malu karena kehormatan dan nama baiknya menjadi taruhan. Banyak orang terpaksa berbohong demi menjaga kewibawaan mereka.
Dalam mengatasi ancaman muka dan/atau kehilangan muka dibutuhkan strategi komunikasi yang tidak langsung (menghindari keterusterangan), dengan cara yang samar-samar (off record), dan menghargai lawan tutur sebagai sesama manusia. Lawan tutur bukanlah musuh melainkan mitra tutur. Siapapun dia, pejabat atau bawahan, kaya atau miskin, lawan tutur adalah citra Allah (Kej 1:26-27), artinya sama dan sederajat di mata Tuhan.
Upaya lainnya, diperlukan pertimbangan yang matang dalam melakukan sesuatu agar pada waktunya terhindar dari rasa malu atau kehilangan muka. “Siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang ini mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.” (Luk 14:28-30).
Penulis: Agustinus Gereda
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap di Universitas Musamus Merauke dan membantu di STK St. Yakobus Merauke.