TAK lupa akan kodrat. Dilahirkan dipinggir bedeng, tepatnya di Kampung Kalilam, Distrik Kimaam, Kabupatren Merauke.
Orangtua-nya (bapak dan mama) bukanlah guru maupun pegawai, tetapi rakyat biasa. Bapaknya hanya seorang pemburu buaya yang saban hari menghabiskan waktu mencari dan menombak buaya di tengah rawa.
Lalu kulit buaya diambil dan dijemur, sekaligus dijual agar bisa mendapatkan uang untuk menopang hidup eluarga, sekaligus asap dapur dapat menyala.
Juga menyisihkan sedikit dari pendapatan itu demi membiayani sekolah anaknya.
Perjalanan hidup keluarga dengan sejuta lika-liku itu, terus membayangi derap langkah-nya ketika mulai mengenyam pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Adalah Romanus Mbaraka, Bupati Merauke dua periode yang kini mencalonkan dirinya maju bertarung dalam Pemilihan Gubernur Papua Selatan bersama wakilnya, Albertus Muyak.
Setelah merekam baik di memori otaknya akan pahit getir kehidupan yang dialami serta dirasakan, Romanus Mbaraka, tidak terlena dan atau terbuai ketika sudah ‘diatas angin.’
Segalanya telah dimiliki, termasuk keempat buah hatinya yang sangat dicintai dan disayangi.
Tiga diantaranya sudah menjadi ‘manusia’ (dua berstatus Aparatur Sipil Negara), satu lagi pilot. Sedangkan bungsu (perempuan semata wayang-nya) masih menyelesaikan studi di perguruan tinggi.
Meskipun semua telah dipunyai atau dimiliki, Romanus Mbaraka masih terus bekerja dan bekerja.
Satu dari sekian banyak aset yang dimiliki adalah tanah seluas kurang lebih 50 hektar di Kampung Sarsang, Distrik Semangga.
Lahan tersebut dibelinya bukan ia sudah menjabat sebagai Bupati Merauke, tetapi masih staf di Bappeda Kabupaten Merauke. Bahkan tanah itupun dibeli secara cicil.
Lambat laun, tanah dilunasi dan kini telah dimiliki. Lahan dimaksud tidak dibiarkan begitu saja, tetapi dimanfaatkan dengan ditanami aneka tanaman mulai dari buah-buahan, kelapa, pisang serta sejumlah tanaman lain.
Bahkan, hamparan puluhan hektar tersebut, digarap atau diolah setiap tahun untuk ditanami padi.
Dengan berbagai tingkat kesibukan tinggi sebagai Bupati Merauke dalam memberikan pelayanan kepada rakyat, ia masih meluangkan waktu dengan turun ke sawah ikut membajak lahan sekaligus mengawasi kegiatan penanaman.
Bahwa sejumlah pekerja on-time di lahan, tetapi Romanus Mbaraka pasti terlibat langsung di tengah sawah dari proses bajak, tanam, perawatan dan pemeliharaan hingga pada kegiatan panen.
Banyak orang menjadi terheran-heran. Karena seorang Romanus Mbaraka yang adalah Bupati Merauke, tak harus sibuk siang hingga tengah malam di sawah ketika proses panen dilakukan.
Namun bedalah dengan karakter pria jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. Dia menyadari akan perjalanan serta tantangan hidup dari kecil hingga dewasa dengan penuh ‘kepahitan.’
Sehingga tidaklah muluk-muluk atau keenakan, ia lebih memilih berusaha mendapatkan dari cucuran keringatnya sendiri, termasuk bagaimana menjadi seorang petani.
Dari profesi itu, Romanus sangat mengenal dan tahu apa yang diinginkan dan diharapkan seorang petani agar bisa mengola lahan secara baik hingga mendapatkan hasil maksimal.
Tidak mengherankan pula ketika Romanus dialog bersama petani, diantara mereka sudah saling tahu. Tidak ada yang bisa menipu, lantaran sama-sama pelaku di tengah sawah yang sering ‘mandi lumpur.’
Ulasan ini bukanlah fiktif, tetapi fakta sesungguhnya. Dimana seorang Romanus Mbaraka yang adalah ‘pejabat besar’ tidak malu ketika mandi lumpur dan duduk di tengah sawah.
Mungkin ini menjadi motivasi sekaligus catatan bagi orang lain termasuk pejabat, agar meniru serta meneladani apa yang sudah dilakukan dan atau dijalankan seorang Romanus Mbaraka ini.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun