PUNYA segala-galanya. Namun tak membuatnya terlena. Terus berpikir dan bekerja. Karena menyadari diri kalau ia berangkat dari kehidupan keluarga sederhana.
Bapaknya hanya seorang ‘pemburu’ buaya. Sedangkan mamanya ibu rumah tangga. Dengan demikian, praktis ekonomi keluarga yang dibangun ketika itu, tentu mengalami pasang surut.
Satu-satunya sumber pendapatan yang bisa didapatkan adalah berburu buaya oleh ayah tercinta. Melihat kondisi seperti begitu, tak membuatnya patah arang alias putus asa.
Dalam benak pikirannya, satu saja yang bisa merubah hidup sekaligus mengangkat harkat serta martabat keluarga adalah sekolah. Itulah yang terus menggelora dalam hati sanu-bari pria tersebut.
Dia adalah Romanus Mbaraka, anak kampung kelahiran Batu Merah, Kampung Kalilam, Distrik Kimaam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan itu.
Berbekal modal semangat serta dukungan kuat maupun doa dari kedua orangtuanya juga keluarga, Romanus Mbaraka, terus melangkah menggapai harapan serta mimpi, meskipun ‘digoyang’ berbagai persoalan.
Sekolah, belajar serta berdoa menjadi rutinitas yang dijalani Romanus Mbaraka sehari-hari.
Apalagi terapan pendidikan ketika itu adalah berpola asrama. Sehingga tidak mengherankan akan menjadi modal atau fondasi dasar dari tingkat sekolah dasar (SD) untuk melangkah ke jenjang pendidikan selanjutnya yakni SMP, SMA hingga perguruan tinggi (PT).
Berbekal didikan kuat, akhirnya membuahkan hasil. Dimana Romanus Mbaraka mampu dan atau bisa bersaing hingga bisa kuliah sampai ke Intitut Teknologi Bandung (ITB) dengan mengambil spesifikasi ilmu planologi.
Berbicara tentang sejumlah perguruan tinggi, sebut saja ITB maupun Universitas Indonesia (UI), tidak semua orang bisa tembus masuk, karena yang menjadi penilaian utama adalah kemampuan intelektual.
Nah, disitulah Romanus Mbaraka mampu unjuk gigi sekaligus meyakinkan kepada semua orang bahwa, meskipun dirinya lahir dan besar ‘dibus-bak’ di kampung, tetapi bicara tentang intelegensi-kecerdasan, dapat dibuktikan dan atau ditunjukkan.
Perjalanan sekolah hingga kuliah, berbuah manis. Begitu juga saat mengabdikan diri sebagai seorang aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Merauke, melejit cepat.
Berkarier sebagai staf di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) hingga ‘melompat’ cepat menjadi kepala bidang setelah dipromosikan Mantan Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze ketika itu.
Dalam hitungan tidak terlalu lama, jabatan sebagai Kepala Bappeda Merauke pun didapatkan. Itu karena kemampuan intelektual dari sana yang sudah dimiliki.
Selama beberapa tahun ‘menahkodai’ Bappeda, Romanus Mbaraka dipercayakan memimpin Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) yang kini beruban nama menjadi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Merauke.
Dua pucuk pimpinan telah dilalui. Akhirnya Romanus Mbaraka pada tahun 2010 silam, atas dukungan isteri tercinta almarhumah Mama Yohana Mekiuw, iapun bulat melangkah mencalonkan diri maju bertarung dalam Pemilihan Bupati Merauke.
Mulus perjalanan. Romanus Mbaraka yang bertarung dengan beberapa kandidat ketika itu, akhirnya mampu meraup suara sangat signifikan hingga memimpin Merauke lima tahun.
Menjelang masa jabatan berakkhir, isteri tercinta dipanggil Tuhan. Romanus Mbaraka pun seperti kehilangan segala-galanya. Sementara moment maju bertarung periode kedua sudah didepan mata.
Saat sedang digoyang kepergian isteri tercinta, Romanus Mbaraka tidak fokus lagi kembali bertarung. Sehingga pada akhirnya tidak terpilih.
Lima tahun itu, Romanus Mbaraka memilih ‘berdiam diri.’ Fokus perhatiannya adalah mengurus kebunnya sendiri di Kampung Sarsang, Distrik Tanah Miring.
Tepat di tahun 2019, Romanus mulai ‘keluar’ dan bergerak dari satu kampung ke kampung lain sekaligus menyatakan diri maju bertarung di Pilbup 2020.
Tiba saatnya, gong Pilkada Merauke jalan. Dengan segala kemampuan serta tim yang solid, mereka bergerak dari satu kampung ke kampung lain. Sehingga tidak mengherankan ketika Romanus mampu merebut suara sangat signifikan dari setiap kampung.
Tapuk pimpinan bupati, ‘direbut’ kembali hingga sekarang dan tersisa setahun kedepan.
Kembali melihat tugas serta tanggungjawab sebagai Bupati Merauke, tentu banyak beban dan tanggungjawab dipundak yang harus diselesaikan dan atau dituntaskan, karena merupakan amanat rakyat.
Meskipun berbagai ‘belanja’ persoalan dihadapi dan atau diterima dari rakyat, namun Romanus Mbaraka tidak pernah melupakan jati diri sebagai seorang petani.
Modal lahan di Kampung Sarsang yang dibelinya secara cicil saat masih menjabat sebagai ASN di Bappeda Merauke, tetap menjadi perhatian di tengah kesibukannya.
Dimana, dalam setiap musim tanam, lahan yang kini telah mencapai 50 hektar itu, akan digarap untuk areal persawahan.
Saat terjadi pembongkaran lahan, proses tanam, rawat hingga panen, Romanus Mbaraka pasti selalu ada disitu. Bahkan, iapun rela turun dan mandi lumpur bersama ‘pasukannya.’
Ketika sudah mengenakan celana pendek dan topi balik belakang sebagai ciri-khasnya, pasti Romanus akan turun sawah ikut bekerja bersama.
Mungkin dapat dihitung dengan jari, bahkan tidak ada, ketika seorang pejabat apaagi bupati, harus ‘kotor-kotoran’ di tengah lumpur, karena semua telah dimiliki.
Beda dengan Romanus Mbaraka yang menyadari diri sebagai anak petani, sehingga kodrat itu tidak pernah dilewatkan dan atau dilupakan begitu saja.
Oleh karena Romanus Mbaraka adalah petani tulen, maka iapun tidak bisa ditipu sesama petani, lantaran dari peralatan, obat-obatan hingga hitung-hitungan hasil panen setiap hektar, baginya sudah diluar kepala.
Lalu pendapatan dari seorang petani-pun telah diketahui. Oleh karena sangat menjanjikan, sehingga tak henti-hentinya digeluti atau dijalankan dari tahun ke tahun.
Oretan atau tulisan ‘sekena-nya’ ini semoga bermanfaat dan atau menjadi motivasi bagi pejabat lain. Gengsi yang mungkin masih melekat, sebaiknya dibuang jauh-jauh.
Lebih baik mengikuti jejak perjalanan yang telah dilakukan seorang Romanus Mbaraka. Meskipun mandi lumpur, pada akhirnya tersenyum lebar, lantaran ada lembaran merah maupun biru didapatkan.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun