ALKOHOL harus dikelola dengan kearifan budaya lokal dan regulasi (PERDA) yang dapat melindungi masyarakat.
Tujuannya agar masyarakat dapat terlindungi dari tindak kejahatan. Apakah itu dari pengaruh alkohol, pelecehan seksual dan kekerasan rumah tangga.
Para bandar miras harus dan wajib Memiliki izin distribusi miras di Wilayah Provinsi Papua Selatan.
Dan, Izin itu harus di sahkan dengan Perda Khusus oleh DPR, DPRK, MRP, BP3OKP, Pemprov dan Pemkab agar memberikan penambahan PAD Daerah.
Peredaran dan mengonsumsi miras di Papua Selatan, tidak boleh beredar liar. Harus ditertibkan dan tidak bisa dihapus sepenuhnya, namun diatur melalui regulasi (Perda Khusus) yang melindungi masyarakat (OAP dan Nusantara di Papua Selatan).
Orang Marind biasanya minum wati (yeriki) setelah selesai bekerja seharian untuk melepaskan lelah.
Sedangkan orang Eropa, Orang Timur Tengah dan Asia ketika minum alkohol semata-mata menghangatkan badan dan melepaskan lelah setelah seharian bekerja tetapi dengan takaran atau sloki.
Bukan minum sampai mabuk yang merugikan orang lain. Ini budaya yang kurang baik.
Pembinaan rohani (iman), moral, karakter building, akhlak, budi pekerti dan Intelektual sangat penting.
Itulah tugas tanggungjawab orangtua untuk memberikan pendidikan yang baik bagi generasi genzi dan pendidikan itu dimulai dari orangtua (keluarga).
Jika bapak dan ibu tidak tahu mabuk, maka anak-anak akan tumbuh kembang dilingkungan keluarga baik, tertib dan harmonis.
Sebaliknya jika bapak dan mama suka mabok dan masuk bar, maka anak-anak juga akan ikut-ikutan.
Oleh sebab itu Pendidikan Keluarga menjadi kunci utama dan central point dengan tiga pilar utama yakni iman, akhlak dan ilmu pengetahuan—sangatlah penting.
Kebijakan soal izin dan peredaran miras perlu dievaluasi ulang apakah benar sudah atau akan memberikan dampak positif untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau tidak (referensi regulasi terlampir dibawah ini).
Setahu saya, alkohol juga memberikan tambahan PAD. Jika belum tercover di dalam Perda, maka tugas DPRP, DPRK, MRP dan Pemerintah Provinsi Papua Selatan serta para bupati di empat kabupaten, harus duduk bersama membuat Perda Khusus tentang miras dengan pasal-pasal khusus dibuat agar beban pajak yang tinggi dibebankan kepada pembeli alkohol.
Mengapa demikian, penjual (rakyat) kecil yang berjualan di pasar juga tetap menunaikan kewajiban untuk membayar pajak daerah dalam aktivitas sederhana mereka.
Mama-mama yang jualan di pasar saja harus bayar pajak atau retribusi, walaupun seratus atau dua ratus rupiah. Jadi kalau bicara PAD dari miras, itu harus dikaji betul manfaat nyatanya bagi daerah.
Masyarakat Papua Selatan sejak dulu sudah mengenal bentuk minuman tradisional seperti wati.
Dimana minuman alami yang biasa dikonsumsi masyarakat Marind dalam porsi kecil untuk menghangatkan tubuh atau saat upacara adat.
Kalau orang Marind, minum wati itu satu tempurung saja. Setelah itu mereka tidur, badan segar dan besok bisa kerja lagi. Itu bagian dari budaya, bukan mabuk.
Namun, kebiasaan tradisional itu kini banyak bergeser akibat peredaran minuman keras pabrikan tanpa kontrol.
Nah, disinilah peran pemerintah dan keluarga menjadi kunci utama didalam pembinaan moral.
Bahwa yang rusak sekarang itu bukan mirasnya, tapi kontrolnya. Orang tua harus mengontrol pendidikan moral untuk anak-anak mulai dari rumah. Kalau bapak mamanya tidak minum, anak juga tidak minum. Itu pendidikan moral pertama.
Untuk itu perlunya didorong Perda Khusus tentang pengawasan alkohol di Papua Selatan yang melibatkan semua unsur mulai dari pemerintah provinsi, kabupaten, DPR, DPRK dan MRP harus duduk bersama membuat Perdasus.
Regulasi itu harus tegas dalam dua hal yakni batas usia konsumsi, pajak tinggi serta kontribusi pajak daerah (PAD).
Jika sekarang 10 persen pajak dari alkohol masuk ke negara, mungkin bisa dinaikkan jadi 20 – 35 persen untuk daerah.
Namun demikian, harus jelas aturannya. Siapa yang boleh minum, tempatnya di mana dan umur berapa yang boleh mengonsumsi alkohol.
Memang perlu dan pentingnya pembinaan moral, karakter dan tanggung jawab sosial bagi orangtua dan petugas keamanan.
Saya mengusulkan ide ekstrim untuk memberi efek jerah bagi pelaku kekerasan akibat mabuk dengan disiapkan penjara yang ada ‘bak air dan ular.’
Maksudnya agar memberikan efek jerah bagi pemabuk dan orang yang sudah melakukan pelecehan seksual serta kekerasan rumah tangga.
Dulu waktu saya masih kecil, orang mabuk dipenjara di POM, TNI/AD di dalamnya ada ular. Sekarang juga bisa dibuat seperti itu, supaya orang takut dan sadar.
Kalau anak mabuk, bapaknya juga harus dipanggil untuk bertanggungjawab karena gagal mendidik anaknya.
Alkohol tidak bisa dihapus sepenuhnya, sebab menjadi bagian dari kehidupan global dan pariwisata.
“Jadi bukan hapus, tapi diatur dan dikelola dengan baik lewat Perda, dikontrol dengan nilai-nilai budaya dan kearifan Lokal dan dikawal oleh moral keluarga.
Referensi Regulasi yang Mengatur Tentang Alkohol
Mulai tahun 2024, Pemerintah Kabupaten Merauke tidak lagi menarik retribusi atau pajak dari penjualan minuman beralkohol (minol).
Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Dengan aturan baru ini, retribusi minol dihilangkan dan beralih ke Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang dikelola oleh pemerintah pusat.
Meskipun retribusi di Merauke ditiadakan, penjualan minol tetap harus mengantongi izin dari pemerintah daerah.
Selain itu, pemerintah pusat menetapkan cukai minuman beralkohol yang naik mulai 1 Januari 2024.
Referensi:
Tarif cukai minuman beralkohol 2024. Berdasarkan peraturan pemerintah, tarif cukai minuman beralkohol (minol) pada tahun 2024 ditetapkan sebagai berikut:
Golongan A (kadar sampai dengan 5%): Rp16.500 per liter.
Golongan B (kadar di atas 5% sampai 20%): Rp42.500 per liter.
Golongan C (kadar di atas 20% sampai 55%): Rp101.000 per liter.
Bea Cukai Merauke akan terus melakukan pengawasan terhadap peredaran minol ilegal dan melakukan penindakan terhadap barang-barang ilegal di wilayah Papua Selatan.
Dampak Kenaikan Tarif Cukai Minuman Beralkohol 2024
Dari kacamata ekonomi, kenaikan tarif cukai minuman beralkohol pasti akan memengaruhi Harga Pokok Produksi (HPP) industri minuman keras.
Kenaikan HPP tersebut akan berdampak pada harga minuman beralkohol di tingkat produsen.
Sehingga dampak kenaikan tarif minuman beralkohol tersebut membuat harga jual minuman keras ke konsumen akan meningkat.
Kondisi tersebut dapat memengaruhi permintaan atas minuman beralkohol di pasaran.
Akibat mahalnya harga jual di tingkat konsumen akhir, potensi penurunan konsumsi miras juga akan semakin besar.
Hal ini juga dapat berimplikasi pada pendapatan negara dari cukai minuman beralkohol.
Seperti diketahui, penerimaan negara dari cukai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2024, ditargetkan sebesar Rp321 triliun. Target ini lebih besar dibanding tahun 2023 yang sebesar Rp300,1 triliun.
Target penerimaan negara dari cukai ini terdiri dari EA atau etanol, MMEA, KMEA, hasil tembakau, dan cukai Hasil Pengolahan Tembakau (HPTL).
Baca Juga: Pengertian Bea Cukai, Sejarah dan Tarif Barang
Kebijakan Pemerintah Terkait Minuman Beralkohol
Minuman beralkohol adalah salah satu barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik sesuai UU Cukai merupakan barang yang konsumsinya dikendalikan karena dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan masyarakat.
Sehingga peredarannya pun diawasi dan perlu diberikan pembebanan pungutan negara melalui pengenaan cukai.
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
Harapannya, selain dapat mengendalikan konsumsi dan peredarannya, juga dapat menambah penerimaan negara yang dinilai memberikan keadilan serta keseimbangan.
Selain kebijakan cukai atas minuman beralkohol, pemerintah juga melakukan pengawasan peredaran minuman keras melalui pengaturan penjualan hingga pembatasan iklan pada media elektronik, seperti televisi, media online, dan lainnya.
Pengaturan penjualan minuman keras diatur dalam Peraturan Menteri Perdagagangan No. 25 Tahun 2019 tentang Perubahan Keenam atas Permendag No. 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Permendag ini mengatur importasi minuman beralkohol hingga mewajibkan pengusaha, pengecer dan penjual langsung minuman keras melaporkan realisasi penjualannya ke pemerintah.
Selain itu, pembatasan peredaran juga dilakukan melalui Peraturan Persiden (Perpres) No 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.
Perpres ini mengatur siapa saja pihak yang diperbolehkan memproduksi, tempat penjualan harus mengantongi izin, hingga tata cara penjualannya yang harus terpisah dengan penjualan barang-barang jualan lainnya.
Kemudian pembatasan penjualan juga diatur melalui Permendag No. 20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Dalam Pasal 30 Permendag No. 20/2014 disebutkan, Importir Terdaftar Minuman Beralkohol (IT-MB), distributor, sub distributor, penjual langsung, dan pengecer dilarang mengiklankan minuman beralkohol dalam media massa apapun.
Pembatasan konsumsi minuman keras juga dilakukan melalui pengenaan cukai minuman beralkohol, yang di sisi lain dapat menambah penerimaan negara dari cukai.
Kesimpulan
Pajak minuman beralkohol merupakan minuman keras yang dikenai cukai dengan tarif cukai minuman beralkohol terbaru tertuang dalam PMK No. 160/2023.
Oleh karena minuman beralkohol dikenakan cukai, maka pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Kebijakan minuman beralkohol Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan dan cuka agar peredaran dan konsumsinya dapat dikontrol, sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
Penulis :
Yoseph Y. Yolmen, S.Pd, M.Si, MRSC
-.Tokoh Masyarakat Papua Selatan
-.Kepala Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) Perwakilan Wilayah Papua Selatan






