Merauke, Suryapapua.com– Panitia pemilihan (panpil) dari Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan Mappi angkat bicara setelah panpil provinsi menetapkan anggota Majelis Rakyat Papua Selatan di Hotel Corein beberapa hari lalu.
Dari keterangan pers yang berlangsung Jumat (2/6) di Sekretariat Panpil Merauke, Adrianus Moromon, anggota Panwas Kabupaten Boven Digoel didampingi Ketua Panpilnya, Adonia Yalenkatuk menegaskan, panpil provinsi telah mementahkan nama-nama dari keterwakilan adat serta perempuan yang dituangkan dalam berita acara disertai keputusan oleh Panpil Kabupaten Boven Digoel.
“Proses demi proses telah dilalui disertai keputusan panpil kabupaten. Namun yang mengecewakan, kenapa sehingga sampai pleno provinsi, ada yang namanya nomor 10, dinaikkan ke nomor satu. Bahkan ada yang tak ada nama dalam data calon anggota MRP Papua Selatan usulan Panpil Boven Digoel, kok bisa ada di panpil provinsi,” tanya dia.
Dikatakan, keterwakilan adat serta perempuan adalah kewenangan kabupaten, namun kenapa sehingga diambilalih panpil provinsi? Ada apa sesungguhnya?
Baginya, pleno yang dilakukan panpil provinsi untuk penetapan anggota MRP Papua Selatan adalah membawa keputusan dari panpil kabupaten, jadi tinggal saja mensahkan sekaligus menetapkan.
“Ini justru keluar dari semua aturan. Panpil provinsi terkesan menggodok kembali calon yang diusulkan dari kabupaten. Ya, kalau seperti begini, untuk apa kami diberikan tugas serta tanggungjawab? Jujur kami merasa tidak dihargai dalam bekerja,” tegasnya.

Sementara anggota Panpil Kabupaten Merauke, Dominikus Cambu mengaku, ada sejumlah pelanggaran dilakukan panpil provinsi yakni pelanggaran etik, hukum dan administrasi.
Cambu membeberkan, untuk pelanggaran hukumnya adalah penetapan akhir oleh panpil provinsi dengan mengganti nama-nama yang tidak sesuai dari panpil kabupaten.
Tugas panpil provinsi, menurutnya, sesuai pasal 14 point 1 yakni menetapkan hasil dari panitia kabupaten untuk utusan perempuan serta adat.
“Kami mempunyai kewenangan meneliti dan memverifikasi kelompok masyarakat adat dan perempuan, juga persyaratan yang dimasukan calon peserta. Sekaligus menetapkan daftar urut tetap dan tunggu, lalu menyerahkan ke panpil provinsi untuk ditetapkan,” katanya.
Lalu, katanya, turunan pasal 14 point F dan G pasal 17 tentang musyawarah mufakat dari hasil pemilihan tingkat kabupaten, disini panpil kabupaten sudah menjalankan aturan dimaksud, namun panpil provinsi menabraknya.
Sehubungan dengan pelanggaran administrasi, paling fatal dilakukan panpil provinsi adalah daftar nama diubah. “Nama nomor urut jadi 3, diganti dengan nama daftar tunggu nomor 5,” ungkapnya.
Hal lain disoroti adalah nama calon atas nama Paskhalis Imadawa bersama dua nama lain, mestinya harus diseleksi dari bawah (distrik) ke kabupaten. Tetapi faktanya, langsung ke atas dan tak mengikuti mekanisme, sehingga menabrak aturan.
Sementara pelanggaran etikanya adalah panpil provinsi sama sekali tidak terbuka di setiap tahapan tentang pleno dan lain-lain.
Sekretaris Kesbangpol Kabupaten Mappi, Wenseslaus Angwarmase mengakui juga nama-nama dari panpil kabupaten yang dikirim sesuai nomor urut, diganti atau diubah di panpil provinsi.
“Kan ini menjadi persoalan, sehingga kami perlu mendapatkan penjelasan dari panpil provinsi,” tegasnya.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun









