BARU-baru ini banjir di beberapa titik di Kota Merauke seperti Jalan Pendidikan, Jalan Ahmad Yani, Jalan Gak, Jalan Hindun, Jalan Prajurit, dan sejumlah wilayah lainnya (Jubi Papua, 2025) menyebabkan gangguan serius pada aktivitas warga.
Banjir tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti curah hujan tinggi, fenomena alam, pembangunan pemukiman di daerah rawan banjir, kerusakan lingkungan, serta sistem drainase yang tidak optimal akibat tersumbat sampah.
Permasalahan sampah di Merauke saat ini sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan dengan dampak signifikan terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Kota Merauke menghasilkan sekitar 45 hingga 50 ton sampah setiap harinya (Infopublik, 2025).
Angka ini hanya mencakup sampah dari pelanggan layanan resmi, belum termasuk limbah yang dibuang sembarangan di sungai, saluran air, dan ruang publik lainnya. Peningkatan aktivitas ekonomi dan pertumbuhan penduduk turut mempercepat akumulasi volume sampah ini (Merauke.go.id, 2025).
Dari berbagai jenis sampah yang dihasilkan, sampah plastik menjadi salah satu tantangan terbesar.
Jenis sampah ini sulit terurai secara alami dan sering menyumbat saluran air serta pintu-pintu air seperti di kawasan Belrusak. Akibatnya, genangan air mudah terbentuk dan memperburuk banjir saat musim hujan tiba. Di sisi lain, tumpukan sampah yang menggunung turut mencemari tanah dan perairan, sekaligus menjadi sarang penyakit.
Meskipun upaya penanganan teknis seperti penambahan truk pengangkut sampah, pembenahan drainase, dan penyediaan tempat pembuangan sementara (TPS) terus dilakukan, persoalan ini tetap berulang.
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan sampah dan banjir di Merauke tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan struktural. Diperlukan pula pendekatan kultural dan edukatif yang menyentuh akar persoalan: kesadaran masyarakat.
Salah satu langkah strategis untuk membangun kesadaran lingkungan adalah dengan menanamkan pendidikan peduli lingkungan sejak usia dini.
Anak-anak sebagai generasi penerus memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif bila sejak awal dibentuk pola pikir dan sikap yang mencintai alam.
Pendidikan ini akan menjadi fondasi penting bagi terciptanya budaya bersih dan tertib dalam pengelolaan sampah.
Pendidikan lingkungan dapat dimulai dari rumah, melalui teladan orang tua yang tidak membuang sampah sembarangan serta membiasakan anak memilah dan mengelola sampah.
Di sekolah, guru dapat mengintegrasikan materi lingkungan hidup dalam pelajaran muatan lokal dan aktivitas keseharian siswa.
Misalnya, kegiatan seperti kerja bakti sekolah, praktik pembuatan kompos, atau lomba kebersihan kelas bisa menjadi bagian dari pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna.
Selain itu, program ekstrakurikuler seperti bank sampah sekolah, klub lingkungan, atau gerakan “Satu Siswa Satu Pohon” bisa menjadi sarana anak-anak berpartisipasi aktif dalam merawat lingkungan.
Mereka tidak hanya belajar teori, tapi juga terlibat langsung dalam aksi nyata. Dengan begitu, kesadaran mereka terhadap dampak buruk sampah terhadap lingkungan akan tumbuh secara alami.
Untuk memperkuat gerakan ini, pemerintah daerah dapat mencanangkan program “Sekolah Bebas Sampah” yang memberikan penghargaan kepada sekolah-sekolah yang berhasil menerapkan pengelolaan lingkungan secara konsisten.
Program ini dapat menjadi pemicu sekaligus apresiasi atas upaya nyata sekolah dalam menciptakan budaya bersih dan sehat.
Tak kalah penting, pendekatan berbasis budaya lokal juga perlu dikedepankan.
Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Marind yang menghormati alam sebagai bagian dari kehidupan bisa dijadikan dasar dalam pendidikan lingkungan.
Ketika pesan yang disampaikan selaras dengan identitas budaya, anak-anak akan lebih mudah menerima dan menerapkannya dalam keseharian mereka.
Keberhasilan menanamkan pendidikan lingkungan sejak dini juga telah terbukti di berbagai negara.
Di Jepang, misalnya, anak-anak diajarkan untuk membersihkan ruang kelas dan lingkungan sekolah setiap hari.
Kebiasaan ini membentuk rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap kebersihan lingkungan, yang kemudian terbawa hingga dewasa. Hasilnya, Jepang dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pengelolaan sampah terbaik dan tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap kebersihan.
Hal serupa juga terjadi di Swedia yang telah memasukkan isu lingkungan dalam kurikulum nasional sejak tahun 1994.
Melalui pendekatan interdisipliner, anak-anak diajak memahami keterkaitan antara gaya hidup, konsumsi, dan dampaknya terhadap alam.
Program ini terbukti efektif: saat ini, lebih dari 99% sampah rumah tangga di Swedia didaur ulang atau digunakan untuk menghasilkan energi. Kesadaran ini berakar dari pendidikan yang sistematis dan berkelanjutan.
Sementara itu, di Indonesia sendiri, beberapa kota telah menunjukkan hasil positif dari pendekatan serupa. Kota Surabaya, misalnya, berhasil mengurangi volume sampah secara signifikan melalui program “Sekolah Adiwiyata”, di mana sekolah-sekolah dibina untuk menjadi pelopor pelestarian lingkungan.
Anak-anak dilibatkan dalam aktivitas seperti menanam pohon, memilah sampah, dan membuat eco-brick. Program ini tidak hanya menciptakan lingkungan sekolah yang asri, tapi juga mengubah perilaku siswa dan keluarganya.
Melihat berbagai contoh tersebut, Merauke dapat mengambil pelajaran berharga untuk diterapkan secara lokal. Dengan memanfaatkan struktur pendidikan yang sudah ada, memperkuat kerja sama antara dinas pendidikan, dinas lingkungan hidup, serta komunitas lokal, pendidikan peduli lingkungan bisa menjadi gerakan kolektif yang berdampak nyata.
Keterlibatan tokoh adat dan tokoh agama juga bisa menjadi kunci keberhasilan program ini.
Mereka memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola pikir masyarakat, termasuk anak-anak.
Ketika ajakan untuk menjaga lingkungan datang dari figur yang dihormati, pesan tersebut akan lebih mudah diterima dan dijalankan.
Dalam jangka panjang, pendidikan lingkungan yang dimulai dari anak-anak akan menciptakan generasi yang lebih tanggap terhadap bencana dan lebih bijak dalam memperlakukan alam.
Mereka akan tumbuh menjadi warga yang tidak hanya menuntut perbaikan infrastruktur, tetapi juga aktif menjaga kelestarian lingkungan sekitar.
Dengan demikian, solusi terhadap banjir di Merauke tidak hanya terletak pada pembangunan fisik, tetapi juga pada pembangunan kesadaran. Pendidikan adalah jembatan menuju perubahan perilaku yang berkelanjutan, dan anak-anak adalah titik awal perubahan tersebut.
Merauke memiliki kekayaan budaya, sumber daya alam, dan potensi generasi muda yang luar biasa.
Jika digerakkan secara bersama melalui pendidikan yang berpihak pada lingkungan, maka masalah banjir dan sampah yang selama ini menjadi ancaman bisa berbalik menjadi peluang untuk membangun kota yang lebih bersih, sehat, dan berdaya tahan iklim.
Penulis :
Ekfindar Diliana, S.Pd., M.Li
Dosen Tetap Universitas Musamus Merauke






