Literasi Hukum Berbasis AI, Membentuk Generasi Kritis dari Papua Selatan

Opini127 views

UNIVERSITAS Musamus melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) didukung program BIMA Kemendiktisaintek, melaksanakan program pelatihan literasi hukum di SMA Negeri KPG Khas Papua Merauke.

Kegiatan ini bertujuan meningkatkan keterampilan menulis esai hukum siswa dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT dan Grammarly.

Sebanyak 30 siswa asrama mengikuti rangkaian pelatihan yang berlangsung intensif.

Dalam prosesnya, peserta dibimbing untuk memahami hak dan kewajiban hukum sekaligus belajar menuangkannya dalam tulisan argumentatif.

Dari evaluasi, 25 siswa (83%) berhasil menunjukkan peningkatan kualitas produk tulisan dengan struktur yang lebih sistematis, penggunaan istilah hukum yang tepat dan argumentasi yang lebih relevan dibandingkan hasil pra-pelatihan.

Menurut tim pelaksana, pemilihan SMA Negeri KPG sebagai mitra bukan tanpa alasan.

Sekolah ini menampung siswa dari berbagai daerah di Papua Selatan dan mempersiapkan mereka menjadi calon guru, sehingga berpotensi menjadi agen perubahan di masyarakat.

Dokumentasi kegiatan berupa poster, laporan, hingga video hasil pelatihan telah diunggah ke laman resmi LPPM Universitas Musamus sebagai bentuk akuntabilitas publik.

Literasi Hukum Harus Jadi Agenda Bersama

Literasi hukum tidak boleh lagi diposisikan sebagai pengetahuan tambahan yang hanya dibutuhkan oleh kalangan tertentu.

Bagi generasi muda Papua Selatan, literasi hukum merupakan fondasi penting untuk membangun kesadaran hak dan kewajiban, sekaligus bekal menghadapi berbagai persoalan sosial yang semakin kompleks.

Kegiatan pelatihan literasi hukum berbasis penulisan esai yang dilakukan di sekolah-sekolah bukan sekadar agenda teknis, melainkan investasi jangka panjang dalam membentuk warga negara yang kritis, berdaya, dan berkarakter.

Selama ini, rendahnya literasi hukum di kalangan pelajar dan masyarakat umum masih menjadi persoalan klasik.

Dampaknya tidak sederhana: mulai dari rendahnya kepatuhan terhadap aturan, minimnya keberanian menyuarakan hak secara konstitusional, hingga sikap apatis terhadap proses demokrasi.

Di Papua Selatan, tantangan ini diperberat oleh keterbatasan akses informasi hukum yang kontekstual dan mudah dipahami oleh pelajar.

Oleh karena itu, pendekatan pendidikan hukum perlu dirancang lebih dekat dengan dunia mereka—menggunakan bahasa yang akrab, contoh yang relevan, dan metode yang mendorong partisipasi aktif.

Dalam konteks inilah, integrasi literasi hukum dengan teknologi digital, termasuk pemanfaatan kecerdasan buatan (AI), patut diapresiasi.

Penggunaan ChatGPT dalam pelatihan menulis esai hukum, misalnya, membantu siswa menyusun kerangka berpikir, merumuskan argumen serta mengembangkan ide secara sistematis.

Sementara itu, Grammarly berperan sebagai pendamping untuk meningkatkan kualitas bahasa, ketepatan struktur kalimat dan kejelasan pesan.

Ketika teknologi ini digunakan secara bijak dan dikombinasikan dengan pendampingan guru, proses belajar tidak hanya menjadi lebih efisien, tetapi juga mendorong siswa untuk berpikir reflektif dan analitis.

Namun demikian, teknologi bukanlah solusi tunggal. Tanpa pendampingan pedagogis yang kuat dan pendekatan kontekstual, AI berpotensi hanya menjadi alat instan tanpa dampak mendalam.

Guru tetap memegang peran kunci sebagai fasilitator yang membimbing siswa memahami substansi hukum, menanamkan nilai keadilan serta mengaitkan isu hukum dengan realitas sosial di Papua Selatan.

Dengan cara ini, teknologi berfungsi sebagai katalisator perubahan cara berpikir, bukan pengganti proses belajar itu sendiri.

Catatan penting yang tidak boleh diabaikan adalah aspek keberlanjutan.

Pelatihan literasi hukum yang dilakukan satu atau dua kali tidak cukup untuk membentuk budaya menulis kritis dan kesadaran hukum yang kokoh.

Diperlukan program jangka panjang yang terencana, konsisten, dan terintegrasi dalam kebijakan sekolah.

Kolaborasi antara sekolah, perguruan tinggi, aparat penegak hukum, dan komunitas sipil juga menjadi kunci agar literasi hukum benar-benar menjadi gerakan bersama, bukan sekadar proyek sesaat.

Jika kegiatan semacam ini dibiarkan berjalan sporadis, maka capaian yang dihasilkan hanya akan menjadi laporan kegiatan, bukan perubahan nyata dalam pola pikir dan perilaku siswa.

Generasi muda Papua Selatan membutuhkan ruang belajar hukum yang relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Melalui aktivitas menulis, siswa tidak hanya belajar memahami bahasa dan konsep hukum, tetapi juga mengartikulasikan identitas, aspirasi dan sikap keberpihakan terhadap nilai keadilan dan kemanusiaan.

Tulisan menjadi medium refleksi sekaligus perlawanan intelektual terhadap ketidakadilan yang mungkin mereka alami atau saksikan.

Sudah saatnya literasi hukum ditempatkan sebagai pondasi pendidikan karakter, bukan sekadar tambahan kurikulum.

Ketika siswa memahami hukum sejak dini, mereka tidak hanya dipersiapkan menjadi individu yang patuh aturan, tetapi juga warga negara yang kritis, berani bersuara dan mampu mengambil peran aktif dalam membangun Papua Selatan yang lebih adil dan bermartabat.

Penulis : Ekfindar Diliana.

Dosen Tetap di Universitas MusamusMerauke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *