Kehadiran DOB di Tanah Papua Wajib Menghormati Hak-Hak Masyarakat Adat Papua

Opini391 views

PEMERINTAH Indonesia telah mengeluarkan  kebijakan pembentukan daerah otonom khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ini telah dimulai pada tahun 2021 ketika pemerintah dan DPR menyepakati perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Keistimewaan Otonomi Provinsi Papua.

Wacana ini terealisasi pada tahun 2022 dengan resmi terbentuknya daerah otonom baru di Bumi Cendrawasih. Pengesahan tiga daerah otonom baru disetujui Presiden RI  pada Juli lalu 2022 dengan pengesahan  UU Nomor 14 Tahun 2022 untuk Provinsi Papua Selatan, UU Nomor 15 Tahun 2022 untuk Provinsi Papua Tengah dan UU Nomor 16 Tahun 2022 untuk Provinsi Papua Dataran Tinggi Tengah.

Pemekaran DOB di Papua menyisakan sejumlah persoalan. Menurut Dr. Agus Sumule, akademisi Universitas Papua di Manokwari menyatakan bahwa, pemekaran di Tanah Papua hanya akan menjadi pintu masuk bagi migrasi penduduk dari luar (wilayah lain di Indonesia) untuk datang ke Papua.

Sumule juga menyatakan, hingga saat ini belum ada kajian ilmiah tentang perlunya dilakukan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Papua. Sehingga para elit yang mendorong pemekaran ini sesungguhnya sedang mengajak masyarakat Papua untuk masuk ke dalam lorong kegelapan

Dalam kegiatan nonton dan diskusi Film Dokumenter  Amber   dengan Tema,”Perlukah DOB Papua untuk kesejahteran OAP” tanggal 4 September 2023 di Gedung Petrus vertenten  Jalan Cikombong, mendapat ragam tanggapan mulai  perwakilan Pemerintah Provinsi Papua Selatan, pimpinan LSM, masyarakat adat dan penonton yang menghadiri nonton serta diskusi itu.

Salah satu penanggap  adalah dari Pemprov Papua Selatan yang diwakili Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik, Agus Kurniawan.

Menurutnya, perlu keterlibatan semua Pihak untuk duduk dan mendiskusikan mengenai masalah-masalah yang ada di empat kabupaten cakupan pemerintah Provinsi Papua Selatan.

Sementara menurut  Ketua  LBH Papua Pos Merauke,  Teddy Wakum   dalam tanggapannya mengatakan, film tersebut lebih memberikan spirit kepada kita untuk menjaga dan melestarikan tanah dan hutan adat di Papua Khusunya di Papua Selatan.

Kita bisa menempuh  jalur hukum jika ada masyarakat adat pemilik hak ulayat yang merasa dirugikan oleh perusahaan atau pemerintah. Beliau juga menegaskan, dengan hadirnya DOB akan terjadi perubahan pada rancangan tata ruang Dan wilayah di provinsi baru.

Dimana yang  menjadi soroton adalah  perubahan RTRW bisa mengakomodir ruang-ruang hidup bagi masyarakat adat asli Papua. Olehnya penting bagi semua pihak untuk menaruh perhatian serius terhadapa ruang-ruang hidup masyarakat adat Papua.

Hal yang sama pula di sampaikan Juru bicara  Greanpeace indonesia, Niko Wamafma. Kita perlu melestarikan dan mejaga hutan alam dari ancaman deforstasi yang berdampak kepada perubahan iklim global.

Dalam diskusi dan nonton barsama tersebut, mendapat satu catatan kritis dari Direktur Perkumpulan Petrus Vertenten, Hary Woersok. Beliau menegaskan, anak-anak Asli Papua yang telah menyelesaikan  pendidikannya  harus kembali ke kampung dan mulai membangun ikatan batin dengan tanah adatnya.

Bahwa Setelah  mengalami proses pendidikan formal Ikatan batin  dengan tanah itu semakin lemah karena melihat tanah dari  sudut pandang ekonomi. Cara pandang seperti ini, menurutnya, terbentuk dari proses pendidikan formal di sekolah.

cara pandang yang kapitalistik mulai terbangun, cara pandang yang melihat tanah itu dapat memberikan kekayaan atau  keuntungan. Cara  pandangan ini kemudian menghidupkan egosentrisme dalam dunia pendidikan itu sendiri.

Dalam diskusi dan nonton bersama tersebut mendapat  catatan-catatan penting yang dapat menjadi rekomendasi dalam rangka mempertahankan dan mendorong perlindungan ruang hidup masyarakat adat Papua setelah pembantukan Daerah Otonomi Baru:

Pertama, mendorong konsolidasi masyarakat adat, pemuda dan mahasiswa serta semua elemen terkait untuk terlibat aktif dalam menyuarakan hak –hak masyarakat Adat.

Kedua, mendorong Pemetaan partisipatif  wilayah adat masyarakat adat Papua,  Khususnya di Papua Selatan.

Ketiga, Mencontohi perjuangan Masyarakat  adat Awuyu, Khususnya Marga Woro dan juga masyarakat adat Marind khususnya marga Gebse Awabalik di Kampung Zanegi.

Keempat, Melakukan monitoring  Investigasi-Investigasi  di tingkatan Masyarakat adat.

Kelima, berkolaborasi  antara LSM-LSM yang peduli dengan masalah lingkungan dan juga dengan pemerintah daerah  baik pemerintah  provinsi maupun pemerintah  kabupaten.

  Arnold Anda

LBH Papua Pos Merauke

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *