Bahasa yang Nyaris Hilang, Identitas yang Masih Bernyawa! Menyelamatkan Bahasa Lokal Merauke Lewat Cerita Rakyat

Opini105 views

APA makna sebuah bahasa jika tidak lagi digunakan? Apakah bahasa itu masih hidup atau hanyalah peninggalan budaya yang tersimpan dalam buku-buku tua dan perpustakaan yang sepi?

Di Merauke, pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin penting mengingat situasi yang cukup memprihatinkan.

Di zaman digital ini, sedikit demi sedikit, bahasa lokal di Ujung Timur Indonesia mulai pudar. Jumlah penutur asli semakin berkurang dan tergeser oleh bahasa dominan yang lebih praktis, modern dan lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan masyarakat.

Meskipun, hasil penelitian oleh Tim Balai Bahasa Papua dan Papua Barat yang dilakukan pada tahun 2013 (kumparan. com, 2024) telah mengidentifikasi sebanyak 307 bahasa daerah Papua.

Fakta ini semakin memperkuat posisi Indonesia sebagai pemilik jumlah bahasa daerah terbanyak di negara ini.

Dengan melihat data tersebut, sangat disayangkan karena bahasa daerah adalah warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan diteruskan dari generasi ke generasi.

Namun sayangnya, warisan ini sekarang telah ada di ambang kepunahan. Mengingat keberadaan bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga menyimpan nilai-nilai, peradaban dan identitas bersama suatu komunitas.

Dalam konteks Merauke, yang kaya akan keragaman suku dan bahasa, fenomena kepunahan bahasa terjadi secara perlahan.

Peristiwa ini tidak muncul tanpa sebab, ada beberapa faktor yang mempercepat prosesnya.

Dalam sebuah wawancara, Yohanis Sanjoko, peneliti muda dari Balai Bahasa Provinsi Papua menyatakan, ada dua bahasa di Merauke yang terancam punah yaitu bahasa Marori dan Kanum (papua. tribunews. com, 2022).

Ini menunjukkan bahwa saat ini, inisiatif revitalisasi bahasa daerah di Merauke mengalami kemunduran.

Usaha tersebut tidak dilakukan secara optimal sehingga proses pewarisan bahasa dari generasi ke generasi tidak berjalan dengan baik.

Beberapa alasan yang menyebabkan hal ini. Pertama, perubahan pola hidup dan modernisasi membuat generasi muda lebih memilih berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing.

Bahasa ibu dianggap kuno, tidak praktis dan tidak memiliki relevansi dalam pendidikan atau dunia kerja.

Kedua, kurangnya dukungan dari institusi terhadap bahasa lokal, baik melalui kurikulum pendidikan, dokumentasi bahasa, maupun media penyiaran, membuat bahasa-bahasa ini kehilangan tempat.

Ketiga, dan mungkin yang paling penting, adalah menurunnya transmisi bahasa dari orang tua kepada anak-anak. Banyak keluarga kini tidak lagi menggunakan bahasa daerah dalam keseharian, beranggapan bahwa bahasa Indonesia sudah cukup untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial.

Padahal, hilangnya sebuah bahasa tidak hanya berarti punahnya kosakata. Hal ini juga menghapus cara berpikir, sistem nilai bahkan cara suatu komunitas memahami alam, waktu dan hubungan sosial.

Bahasa adalah inti dari identitas suatu masyarakat. Jika sebuah bahasa punah, maka sebagian dari identitas itu juga akan hilang.

Merauke bukan hanya sekadar lokasi geografis; ia adalah tempat dari kisah-kisah tentang asal-usul, roh leluhur, dan alam yang keramat, semuanya diceritakan melalui bahasa yang kini mulai dilupakan.

Keadaan yang kritis ini, kita harus mencari cara untuk memastikan agar bahasa-bahasa lokal tetap ada.

Salah satu metode yang paling alami dan menjanjikan adalah melalui tradisi cerita rakyat.

Cerita rakyat bukan hanya sekadar hiburan di masa lalu, tetapi juga sebuah cara untuk menyampaikan nilai, pelajaran moral dan warisan lisan yang kaya.

Memperkenalkan kembali cerita rakyat dalam bahasa aslinya merupakan suatu bentuk pelestarian yang menyenangkan dan berarti. Anak-anak dapat belajar bahasa dengan cara yang menginspirasi imajinasi mereka, sementara orang tua dan tokoh masyarakat kembali mendapatkan kesempatan untuk menjadi penjaga cerita.

Sebagai contoh, di komunitas Marind, cerita tentang asal usul suku, roh pelindung hutan atau interaksi antara manusia dan alam diturunkan secara lisan melalui dongeng atau lagu-lagu tradisional.

Cerita tersebut tidak hanya menghibur tetapi juga menanamkan nilai-nilai seperti kerja sama, penghormatan terhadap alam, dan loyalitas pada tradisi.

Jika kisah-kisah ini dihidupkan dalam bentuk buku bergambar, pertunjukan teater di sekolah, konten media sosial atau podcast berbahasa lokal, bukan hal yang tidak mungkin bahasa daerah bisa kembali menemukan tempatnya di hati generasi muda.

Di zaman digital ini, kesempatan untuk pelestarian kreatif semakin terbuka lebar. Yang diperlukan adalah komitmen bersama dari pemerintah daerah, tokoh masyarakat, pengajar, hingga para pemuda di Merauke.

Bahasa-bahasa lokal Merauke memang berada dalam kondisi yang kritis. Namun selama masih ada sekitar satu suara yang bisa mengucapkannya, masih ada harapan untuk menghidupkannya kembali.

Cerita rakyat dapat menjadi jembatan yang dapat menjangkau generasi muda tanpa mengabaikan akar tradisi.

Sekarang adalah waktu untuk bertanya: apakah kita akan menjadi saksi atas hilangnya bahasa-bahasa ini atau akan berperan sebagai pelindung warisan identitas yang masih ada? Selama kisah-kisah itu masih dapat diceritakan, bahasa-bahasa itu belum sepenuhnya punah.

Penulis :

Halimah Anggun Nurrani

Mahasiswa Universitas Musamus,

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *