Bahasa Ibu di Ujung Timur, Urgensi Revitalisasi Bahasa Lokal Merauke (Malind)

Opini362 views

INDONESIA dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki bahasa daerah terbanyak di dunia.

Namun keberagaman tersebut sedang mengalami ancaman yang besar, terutama di wilayah- wilayah terpencil di Indonesia, salah satunya adalah provinsi paling ujung timur Indonesia Papua Selatan khususnya Merauke.

Salah satu bahasa yang terancam punah adalah bahasa Malind. Bahasa ibu yang mendiami wilayah Merauke (Malind) akhir-akhir ini sudah hampir tidak digunakan di kalangan anak muda, dikarenakan arus globalisasi semakin cepat.

Tentunya ini ini menjadi perhatian bagi setiap kita, baik budayawan dan juga pemerhati bahasa.

Keadaan terkini Bahasa Malind

Bahasa Malind kini mengalami penurunan sangat drastis yang mana penutur aktifnya berkurang.

Banyak anak-anak muda di Merauke lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia dengan dialeknya. Kadang juga menggunakan bahasa asing ketimbangan menggunakan bahasa daerah mereka.

Pemicu utama terjadinya hal ini adalah urbanisasi serta pendidikan di sekolah yang tidak menerapkan penggunaan bahasa daerah mereka dan juga tidak adanya dokumentasi seperti buku terkait bahasa Malind itu.

Menurut data penelitian yang pernah saya lakukan di wilayah Merauke khususnya di beberapa kampung (Sota, Rawa Biru, dan Kweel), Bahasa Malind termasuk dalam kategori hampir punah.

Dimana penutur aktifnya hanya mereka yang sudah dewasa (orang tua) sedangkan untuk kalangan anak muda sangat minim menggunakan bahasa Maalind dengan fasih.

Mereka hanya dapat mengerti namun untuk mengucapkan bahasa tersebut sudah tidak bisa.

Ini berarti dengan tidak adanya pelestarian bahasa Malind, akan menjadi sirna atau hilang penuturnya (berdasarkan penelitian yang saya lakukan dibeberapa kampung itu).

Mengapa Revitalisasi Bahasa Itu Penting?

Revitalisasi bahasa daerah seperti Bahasa Malind sangat penting karena bahasa merupakan bagian integral dari identitas budaya suatu masyarakat.

Melalui bahasa, nilai-nilai budaya, sejarah dan pengetahuan lokal diwariskan dari generasi ke generasi.

Jika bahasa Malind punah, maka hilang pula sebagian besar pengetahuan lokal yang tersimpan di dalamnya, termasuk tradisi lisan, sistem kepercayaan dan filosofi hidup masyarakat Malind.

Dalam konteks yang lebih luas, punahnya sebuah bahasa berarti hilangnya satu perspektif unik tentang dunia, yang tidak bisa digantikan oleh bahasa lain.

Upaya revitalisasi juga penting untuk membangun rasa bangga dan percaya diri di kalangan generasi muda terhadap warisan budaya mereka.

Ketika anak-anak muda merasa bahwa bahasa mereka dihargai dan diberi ruang dalam kehidupan sehari-hari maupun pendidikan formal, mereka lebih terdorong untuk belajar dan menggunakannya.

Hal ini bisa dilakukan melalui kurikulum muatan lokal, pelatihan guru bahasa daerah serta dukungan kebijakan dari pemerintah daerah dan pusat.

Partisipasi aktif dari komunitas juga menjadi kunci keberhasilan revitalisasi, karena masyarakat sendirilah yang menjadi penutur dan pewaris bahasa tersebut.

Selain itu, pelestarian bahasa lokal seperti Malind dapat menjadi sarana memperkuat kohesi sosial dalam komunitas.

Bahasa ibu menciptakan rasa keterikatan yang kuat antaranggota masyarakat.

Dalam konteks Merauke yang multikultural, mempertahankan bahasa Malind juga berarti menjaga harmoni dan keragaman budaya.

Ketika bahasa lokal dihormati dan digunakan secara luas, hubungan antar-etnis pun bisa lebih harmonis karena ada rasa saling menghargai akar budaya masing-masing.

Oleh karena itu, sangat penting bagi berbagai pihak—baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupun masyarakat adat—untuk bersama-sama mengupayakan strategi yang tepat dalam menyelamatkan Bahasa Malind.

Langkah-langkah seperti dokumentasi kosakata, pembuatan kamus, pelatihan penggunaan bahasa di rumah tangga dan penggunaan media digital untuk penyebaran bahasa dapat menjadi solusi konkret.

Tanpa langkah nyata saat ini, maka bahasa Malind hanya akan menjadi bagian dari catatan sejarah tanpa kehidupan di masa depan.

Penulis :

Berta Benakcem Manampimbir

Mahasiswi Universitas Musamus Merauke, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *