Merauke, Suryapapua.com– Kira-kira apa lagi yang akan ‘digoreng-garing’ tim sukses (timses) sebelah, setelah anak cucu guru perintis angkat bicara sekaligus bersuara lantang sehubungan istilah guru ‘buta’ sebagaimana disampaikan Calon Gubernur Papua Selatan, Romanus Mbaraka dalam debat beberapa hari lalu.
Pernyataan atau statement Romanus ketika itu adalah menanggapi pertanyaan Cagub Papua Selatan, Apolo Safanpo terkait kurikulum yang digunakan seorang guru.
Kata guru ‘buta’ yang dimunculkan Romanus, sesungguhnya mengandung makna sangat mendalam bahwa guru-guru perintis yang datang pertama kali mengabdikan diri di pedalaman Papua (Merauke, Boven Digoel, Mappi serta Asmat), tak mengenal dan atau membawa yang namanya istilah kurikulum.
Mereka datang dengan niat dan kasih sayang tulus untuk bagaimana bisa mendamping dan membimbing orang asli Papua (OAP) di pedalaman agar dapat belajar dan berhitung serta membaca.
Itu makna sesungguhnya. Tapi maklumlah bagi tim sikses sebelah yang langsung menelan bulat-bulat kata guru ‘buta’ sekaligus dijadikan bahan gorengan di media sosial.
Mau bilang tapi sudahlah! Karena calon yang diusungnya juga masih sebatas retorika atau omong doang tanpa menunjuk bukti nyata dilakukan. Sehingga kata guru ‘buta’ dijadikan senjata untuk terus ‘bernyanyi’ di medsos.
Namun demikian, sudah tidak mempan atau tak berpengaruh sama sekali.
Buktinya, hari ini, puluhan anak dan cucu guru perintis bersuara lantang menyatakan langsung dihadapan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Papua Selatan, Romanus Mbaraka-Albert Muyak dalam pertemuan yang berlangsung Minggu (27/10/2024).
Elisabeth Remetwa, mewakili anak- cucu guru perintis dari Kei yang mengabdikan diri di daerah pedalaman empat kabupaten dengan tegas mengatakan, kata guru ‘buta’ sebagaimana disebutkan Romanus Mbaraka daam debat, sama sekali tak membuat mereka terganggu, tersakiti serta terluka.
“Apa yang disampaikan Bapak Romanus Mbaraka soal guru ‘buta’ dalam debat, sesungguhnya mengandung makna sangat mendalam. Dimana saat itu, orangtua kami guru perintis yang mengabdikan diri di kampung-kampung pedalaman, sama sekali tak mengenal atau membawa yang namanya kurikulum,” tegasnya.
Orangtua, lanjut Elisabeth, datang ke kampung-kampung di pedalaman hanya dengan membawa diri dan kasih sayang mendidik serta membimbing orang-orang Papua.
“Tidak ada peralatan canggih atau buku-buku dibawa sebagai literatur untuk mendidik orang Papua. Dengan hanya membawa diri sekaligus suatu semangat untuk ingin mendarmabaktrikan diri secara total di kampung,” tandaasnya.
Diakui bahwa tim paslon tertentu, memanfaatkan situasi menggoreng kata guru ‘buta’ tersebut, sekaligus menyatakan bahwa Romanus Mbaraka tak menyukai guru-guru perintis dulu.
“Bagi kami tidak sama sekali. Saya tegaskan lagi bahwa yang dimaksudkan Bapak Romanus Mbaraka soal kata guru ‘buta’ adalah orangtua kami datang dari kampung halaman tanpa membawa kurikulum berupa buku-buku atau peralatan lain untuk mendidik orang asli Papua,” jelasnya.
“Saya juga ingin sampaikan kepada Bapak Romanus Mbaraka bahwa sama sekali kami tak terganggu dengan sebutan kata ‘buta’ itu,” ungkapnya.
“Sekali lagi kami anak-cucu guru perintis, sudah punya komitmen dan sikap bulat serta tegas memberikan dukungan penuh kepada Bapak Romanus Mbaraka dan Bapak Albert Muyak,” katanya.
Menanggapi itu, Calon Gubernur Ppaua Selatan, Romanus Mbaraka menyampaikan banyak terimakasih kepada anak-cucu guru perintis yang sudah datang menyampaikan secara langsung.
“Saya juga sangat meyakini bahwa anak-cucu guru perintis memahami kata ‘buta’ sebagaimana yang saya sampaikan saat debat beberapa hari lalu,” ungkapnya.
Makna kata ‘buta’, demikian Rmanus, sesungguhnya adalah bahwa guru-guru perintis baik generasi pertama, kedua, ketiga bahkan sekarang di daerah pedalaman, tidak datang dengan membawa yang namanya kurikulum.
Guru-guru perintis datang dengan semangat dan kasih sayang unrtuk mendidik anak-anak Papua agar bisa belajar membaca serta menulis.
“Hasilnya sangat jelas. Banyak sekali anak Papua menjadi ‘manusia’ termasuk saya ini,” ujarnya.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun