SAAT menjelang perayaan Natal tahun 2022 ini sebagian besar umat Kristen sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
Ada banyak kegiatan menyongsong Natal antara lain membuat kandang Natal, menyiapkan pohon Natal, menyiapkan bingkisan atau kado Natal, acara Santo Nikolas bahkan ada kelompok jemaat yang sudah merayakan Natal padahal belum waktunya.
Toko-toko dipenuhi dengan pohon-pohon Natal, lagu-lagu Natal yang dikumandangkan jauh sebelum perayaan Natal. Tidak lupa rumah-rumah dicat sehingga kelihatan lebih indah dan rapi daripada biasanya.
Gua-gua Natal diletakkan di depan atau di samping rumah sehingga menambah keindahan suasana. Bahkan ada yang mengadakan lomba menghias kandang Natal.
Berbagai aktivitas Natal itu terkadang berlebihan dan jauh dari esensi (inti) perayaan Natal. Aktivitas-aktivitas itu seakan-akan “menutup” atau “menghilangkan” esensi Natal, yaitu datangnya ‘Juruselamat’ sang Raja Damai ke dalam dunia.
Oleh karena itu, makna sesungguhnya perayaan Natal antara lain kesederhanaan, kerendahan hati dan solidaritas terutama kepada yang miskin.
Mengapa orang menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat lahiriah saja? Dalam rangka perayaan Natal, apakah umat sudah mengikuti acara rekoleksi, dan pengakuan dosa? Sudah cukupkah orang muda Katolik (OMK) berlomba-lomba membuat kandang Natal ataukah masih ada hal lain yang lebih esensial?
Artikel ini bertujuan memberikan pencerahan kepada pembaca tentang Natal yang hendaknya dirayakan secara utuh, seimbang, dan menyeluruh. Dengan begitu, makna Natal sebenarnya tidaklah menjadi kabur.
Tradisi Perayaan Natal
Setiap tahun umat Kristiani merayakan hari Natal yang jatuh pada 25 Desember. Umat Katolik yang merayakan Natal, sebelumnya mengikuti perayaan Adven yang berlangsung selama empat minggu.
Istilah ‘adven’ berpadanan dengan kata ‘kedatangan’ dalam bahasa Indonesia. Jadi, adven merupakan masa persiapan menantikan kedatangan Kristus, baik pada saat kelahiran-Nya di Betlehem dulu maupun kedatangan-Nya yang kedua pada akhir zaman.
Masa Adven memuncak pada malam sebelum Natal (disebut Malam Natal) pada tanggal 24 Desember. Gereja-gereja dihiasi dengan lilin, lampu dan daun-daunan.
Istilah ‘Natal’ berasal dari kata natus (Latin) yang dalam bahasa Indonesia disebut ‘kelahiran’. Dari kata tersebut muncul ungkapan bahasa Latin dies natalis ‘hari kelahiran’, seperti yang kita kenal sekarang.
Kata tersebut juga digunakan dalam bahasa-bahasa Roman lainnya, seperti natale (Itali), dan nadal atau navidad (Spanyol). Dalam Kitab Suci (terjemahan bahasa Indonesia) tidak ditemukan kata ‘natal’, yang ada hanya frase ‘kelahiran Yesus’ (Luk 1:26-38; Luk 2:1-7; Mat 1:18-25).
Dalam bahasa Inggris digunakan kata Christmas ‘Hari Natal’, yang berasal dari frase Cristes Maesse, yang berpadanan dengan Mass of Christ ‘Misa Kristus’.
Terkadang kata Christmas disingkat menjadi Xmas. Huruf X sering digunakan sebagai simbol suci, dalam bahasa Yunani, adalah kata pertama dalam nama Christos (Kristus).
Tradisi Natal diawali oleh Gereja terdahulu untuk memperingati sukacita kehadiran Juruselamat atau ‘Mesias’ di dunia. Sampai saat ini, Natal adalah hari raya umat Kristen di dunia untuk memperingati hari kelahiran Raja Damai, Yesus Kristus. Kalender masehi telah menetapkan tanggal 25 Desember untuk memperingati atau merayakan Hari Natal.
Di Eropa, Hari Natal, kemudian Gereja mengadakan ibadat perayaan keagamaan khusus. Selama masa Natal, umat Kristen mengekpresikan cinta kasih dan sukacita mereka dengan bertukar kado, dan menghiasi rumah mereka dengan daun-daunan dan pohon Natal.
Menurut catatan sejarah, perayaan Natal baru dimulai sekitar tahun 200 M di Aleksandria (Mesir). Para teolog Mesir menunjuk tanggal 20 Mei, tetapi ada pula 19 atau 20 April. Di tempat-tempat lain, perayaan Natal dilaksanakan pada 5 atau 6 Januari, ada pula pada bulan Desember. Perayaan pada tanggal 25 Desember dimulai pada tahun 221 ole Sextus Julius Africanus, dan baru diterima secara luas pada abad ke-5 M.
Banyak tradisi perayaan Natal di barat (Eropa) merupakan pengembangan kemudian dengan menyerap unsur-unsur berbagai kebudayaan. Misalnya pohon Natal, kartu Natal, Sinterklas, puasa, dan lilin Natal.
Pohon Natal atau Pohon Terang merupakan tradisi menghias pohon dan menempatkannya dalam rumah dan di Gereja. Tradisi mengirim kartu Natal, yang dimulai pada 1843 di Inggris. Biasanya kartu dengan gambar yang berkaitan dengan kisah kelahiran Yesus dan disertai tulisan: “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru.” Dewasa ini digunakan teknologi informasi untuk berkirim kartu Natal elektronik.
Tradisi Sinterklas berasal dari Belanda, yang dirayakan pada 5 Desember, sekarang dikenal sebagai Santa Claus atau Santo Nicolas, yang hidup pada ke-4 M. Ia dikenal karena kebaikannya memberi hadiah kepada orang miskin. Namun, hendaklah disadari agar Sinterklas tidak boleh melampaui peran Yesus Kristus.
Puasa merupakan tradisi yang dilakukan oleh kaum Kristen Puritan di Inggris pada 1647. Selain itu, berbeda dengan tradisi Natal di barat, perayaan Natal ritus timur mengandung aspek rohani, seperti puasa, bermazmur, membaca Kitab Suci, dan puji-pujian.
Di Gereja-gereja Arab, tidak ada perayaan Natal tanpa didahului puasa. Gereja Ortodoks Syiria melakukan persiapan Natal dengan berpuasa selama 10 hari. Sementara di Gereja Ortodoks Kopitik, puasa lebih lama, yaitu sejak minggu terakhir November (40 hari).
Dalam masa Natal, lilin memberikan gambaran tentang Kristus, yang dilambangkan sebagai terang bagi dunia yang gelap. Di dalam Kitab Suci tertulis tentang ‘terang’. Dalam Perjanjian Lama disebutkan “terang yang besar” (Yes 9:1-6); sedangkan dalam Perjanjian Baru disebutkan “terang manusia” (Yoh 1:1-8).
Kisah Kelahiran Yesus Kristus Menurut Kitab Suci
Kisah tentang kelahiran Yesus Kristus menurut Kitab Suci Perjanjian Baru dapat dibaca di dalam Injil Lukas (Luk 2:1-21) dan Injil Matius (Mat 1:18 – 2:23). Catatan ini memang sangat minim, namun dapat dijadikan dasar bagi cerita tentang kelahiran Yesus.
Lukas mencatat bahwa Maria mengetahui dari Malaikat bahwa dia telah mengandung dari Roh Kudus. Kemudian Maria dan Yusuf, suaminya, meninggalkan rumah mereka di Nazaret mengadakan perjalanan ke kota Betlehem untuk melakukan sensus atas perintah Agustus, Kaiser Romawi pada waktu itu. Karena mereka tidak mendapat tempat menginap di kota itu, bayi Yesus dibaringkan di sebuah palungan (bak makanan ternak). Kisah kelahiran yang dilaporkan Lukas ini sangat singkat.
Kelahiran Kristus di Betlehem Efrata, Yudea, di kampung halaman Daud, nenek moyang Yusuf, memenuhi nubuat nabi Mikha (Mik 5:1-2). Ada dua kota Betlehem waktu itu, yakni Betlehem di Yudea, dan Betlehem di tanah Zebulon.
Matius mencatat silsilah dan kelahiran Yesus dari seorang perawan, dan kemudian beralih ke kedatangan orang-orang Majus dari Timur untuk melihat Yesus yang baru dilahirkan. Orang-orang bijak tersebut semula tiba di Yerusalem dan melaporkan kepada raja Yudea pada waktu itu, Herodes Agung, bahwa mereka telah melihat sebuah bintang untuk menyambut kelahiran seorang raja. Penelitian lebih lanjut memandu mereka ke Betlehem Yudea di rumah Maria dan Yusuf. Mereka mempersembahkan emas, kemenyan, dan mur kepada bayi Yesus.
Ketika bermalam orang-orang Majus itu mendapat mimpi yang berisi peringatan bahwa Raja Herodes Agung merencanakan pembunuhan terhadap bayi tersebut. Karena itu mereka memutuskan untuk langsung pulang tanpa memberitahu Herodes tentang suksesnya misi mereka.
Matius kemudian melaporkan bahwa keluarga Yesus melarikan diri ke Mesir untuk menghindari tindakan Raja Herodes, yang telah memutuskan untuk membunuh semua anak di bawah dua tahun di Betlehem, untuk menghilangkan saingan terhadap kekuasaannya.
Setelah kematian Herodes, Yesus dan keluarga kembali dari Mesir. Tetapi, untuk menghindar dari raja Yudea baru (anak Herodes Agung, yakni Herodes Arkhelaus), mereka pergi ke Galilea dan tinggal di Nazaret.
Sisi lain dari cerita kelahiran Yesus yang disampaikan oleh Injil Lukas adalah penyampaian berita itu oleh para Malaikat kepada para gembala. Kepada para gembala warta tentang kelahiran Yesus disampaikan untuk pertama kalinya.
Berbeda dengan Injil Lukas dan Matius, Injil Yohanes tidak berbicara langsung tentang kelahiran Yesus Kristus. Dalam Injilnya (Yoh 1:1-18), Yohanes menunjuk kepada kehadiran Yesus ke dunia sebagai Sabda yang telah menjadi manusia.
“Sabda itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberkan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh 1:14).
Makna (Kelahiran Yesus) Natal
Natal pada hakikatnya adalah kelahiran Yesus Kristus ke dunia, yang mengambil wujud manusia. Natal atau kelahiran Yesus itu membawa arti dan makna rohani, yang sering bertentangan dengan pemahaman umat manusia pada umumnya. Makna rohani Natal itu, antara lain kesederhanaan, kerendahan hati, solidaritas, sukacita dan damai.
Kesederhanaan
Kehidupan Yesus di dunia sejak awal hingga kematian-Nya ditandai dengan kesederhanaan dan kebersahajaan. Maria, ibu-Nya adalah gadis bersahaja dari dusun Nazaret, sedangkan Yusuf, bapa pemelihara-Nya adalah tukang kayu yang sangat sederhana, namun tulus hatinya.
Selain Maria dan Yusuf, tokoh lain yang mempersiapkan jalan-Nya, Yohanes Pembaptis pun orang yang hidupnya memperlihatkan kesederhanaan. Ia “memakai jubah bulu unta dan makanannya belalang dan madu hutan” (Mrk 1:6).
Kelahiran-Nya terjadi di tempat yang kotor, pakaian-Nya sekadar kain lampin, dan dibaringkan di dalam palungan (Luk 1:7). Demikian pula, saat tampil di depan umum hingga wafat-Nya, Yesus tetap memperlihatkan kebersahajaan itu.
Sebagai manusia terkadang kita menganggap pesta Natal menjadi kesempatan untuk bersenang-senang. Kita membuat kandang Natal yang megah, bahkan berlomba-lomba, padahal harus mengeluarkan anggaran yang cukup besar. Hal yang sama kita lakukan dengan mengecat tembok-tembok rumah dan pagar, juga tentu memerlukan biaya. Belum lagi makanan dan minuman, bingkisan atau kado Natal.
Dengan hidup yang berfoya-foya, kita sebenarnya dijaukan dari hidup untuk sesama kita yang ada di sekitar. Masih banyak orang yang berada jauh di bawah standar kehidupan. Dalam perayaan Natal, kita diajak oleh Tuhan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih sederhana, rela membagi-bagikan apa yang menjadi kelebihan kita.
Peristiwa kelahiran Yesus tidak pernah terlepas dari cerita tentang gembala-gembala, yang menjaga kawanan domba di padang. Mereka adalah orang-orang sederhana, tetapi justru kepada merekalah untuk pertama kali warta kelahiran Tuhan disampaikan. “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:10-11).
Kerendahan Hati
Setiap kandang Natal yang ada di Gereja-gereja selalu terletak lebih rendah daripada altar. Di rumah pun kandang Natal lebih rendah letaknya. Hal ini berarti, ketika ingin melihat kanak-kanak Yesus yang terbaring di palungan, kita – mau atau tidak – merendahkan badan dan membungkuk serendah mungkin.
Sikap rendah hati ini telah ditunjukkan oleh Yohanes Pembaptis. Ia tidak menonjolkan dirinya, tetapi mengakui diri hanya sebagai jalan yang mempersiapkan kedatangan Tuhan. “Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak” (Yoh 1:26-27).
Betapa banyak orang di dunia yang hidupnya jauh dari kerendahan hati. Mereka lebih suka tampil sebagai layaknya presiden kecil, gubernur kecil, bupati kecil. Apalagi mereka yang memiliki kekuasaan, padahal kekuasaan tersebut tidak pernah abadi. Sebaliknya, masih kita temukan sejumlah orang yang hidupnya sesuai dengan semangat hidup Kristiani.
Mereka sebenarnya hebat, tetapi lebih suka berperan di belakang layar. Pelatih sepak bola, seperti Lionel Scaloni, 44 tahun adalah pelatih termuda di piala dunia 2022. Dialah arsitek yang mengantar Argentina menjadi juara dunia. Dia bukan sekadar pemimpin yang baik, tetapi juga hebat. Akan tetapi, ia tidak suka menonjolkan diri, ia juga tidak suka publisitas.
Kerendahan hati merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup Yesus. Ia yang berwujud Allah, tetap telah menghampakan diri dengan mengambil keadaan hamba dan menjadi sama dengan manusia. Ia merendahkan diri karena taat sampai mati, sampai mati di kayu salib (Flp 2:6-11).
Apa yang dilakukan Yesus itu bukanlah ketaatan karena terpaksa, melainkan karena kehendak Bapak-Nya yang telah mengutus Dia. “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34).
Yesus menyadari bahwa Ia harus menyelesaikan tugas-Nya sampai tuntas dan kembali ke pangkuan Bapa-Nya. Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Sudah selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya (Yoh 19:30).
Ungkapan “Sudah selesai” menunjukkan bahwa karya penyelamatan manusia yang dilakukan-Nya di atas bumi ini sudah tuntas.
Solidaritas
Natal adalah sebuah perayaan solidaritas. Umat yang merayakannya diharapkan bersolider dengan sesamanya, terutama terhadap mereka yang miskin dan papa. Sebab, dengan menjadi manusia melalui Yesus Kristus, Allah telah melawat umat-Nya dan memperhatikan mereka.
Dasar dari solidaritas adalah belas kasihan dan kerelaan untuk merawat, menyembuhkan, dan membangkitkan. Belas kasihan menjadi kata kunci dalam Injil Matius. Misalnya, “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (Mat 9:36). Atau “Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit” (Mat 14:14).
Selanjutnya, “Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu Ia menjamah mata mereka dan seketika itu juga mereka melihat lalu mengikuti Dia” (Mat 20:34).
Solidaritas itu telah ditunjukkan oleh para Majus dari Timur. Mereka memberikan contoh solidaritas, yaitu mempersembahkan apa yang mereka miliki kepada kanak-kanak Yesus: emas, kemenyan, dan mur (Mat 2:11b).
Kita mungkin telah bersolider melalui pengumpulan dana untuk orang-orang yang terkena bencana alam. Kita juga mengumpulkan dana mandiri untuk Keuskupan, yang akan digunakan sebagai sumbangan bagi mereka yang membutuhkan. Tetapi, apakah sumbangan itu telah kita berikan dengan sukarela ataukah terpaksa?
Jika solidaritas itu datang dari pejabat pemerintahan dan/atau legislatif, apakah sudah cukup diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan? Kalau demikian, mengapa sumbangan itu hanya diberikan pada saat safari Natal, atau pada saat menjelang lima tahunan dalam kampanye berikutnya? Lalu hari-hari lain, bagaimana?
Damai dan Sukacita
Natal juga hendaknya membawa damai dan sukacita di antara semua yang merayakannya, bahkan sukacita kepada siapa pun. Banyak orang merindukan kebersamaan dalam keluarga, namun tidak mendapatkannya karena hidup berjauhan, bahkan ada anggota keluarga yang sudah mendahuluinya. Sementara itu, ada anggota keluarga yang sudah bertahun-tahun tidak menikmati sukacita karena belum berdamai satu sama lain.
Sukacita dan damai Natal itu telah diperlihatkan oleh para Majus dari Timur. “Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melaihat Anak itu Bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia” (Mat 2:10-11).
Kenyataan yang terjadi, manusia telah menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus est). Manusia saling mengecam, saling berlawanan, dan saling membunuh. Dengan begitu, mereka telah menolak kehadiran Allah sendiri, yang adalah Pemiliknya. “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh 1:11). Padahal seharusnya manusia menjadi teman bagi sesamanya (homo homini socius est).
Jika ada orang yang masih belum berdamai, segeralah mengusahakannya agar kelahiran Yesus yang kita rayakan tahun ini tidaklah menjadi sia-sia. Natal membawa sukacita dan damai di hati manusia. Lukas mencatat: Tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan Malaikat itu sejumlah besar bala tantara sorga yang memuji Allah, katanya: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:13-14).
Penutup
Natal tidak lain adalah perayaan kelahiran Yesus Kristus, yang menjadi Raja Damai bagi dunia, meskipun dalam keadaan manusia yang lemah. Itulah misteri Allah menjadi manusia. Maka sudah selayaknya Natal dirayakan secara utuh, seimbang, dan menyeluruh.
Hal ini berarti umat (Katolik) perlu mengikuti setiap tahapannya sampai tuntas, melalui sejumlah rangkaian kegiatan liturgi, yang dilandasi Kitab Suci dan Tradisi Gereja.
Pertama, sebelum Natal umat wajib mengikuti masa Adven yang berlangsung selama empat minggu berturut-turut. Dalam liturgi masa Adven, ada empat batang lilin yang diletakkan di lingkaran adven atau koronka adven, tiga lilin berwarna ungu dan satu lilin berwarna merah muda.
Lilin ungu pertama dinyalakan sebagai lambang pertobatan. Umat memasuki masa penantian dan harapan akan kedatangan Kristus yang kedua, yaitu kedatangan Tuhan pada akhir zaman. Lilin ungu kedua dinyalakan pada minggu kedua Adven.
Umat diingatkan untuk tetap setia mempersiapkan jalan kedatangan Tuhan. Lilin merah muda dinyalakan pada minggu ketiga Adven, sebagai lambang sukacita, yang juga dikenal sebagai minggu Gaudete. Umat bersuka cita menyambut kelahiran Yesus Kristus. Pada minggu keempat Adven, lilin ungu ketiga dinyalakan bersamaan dengan tiga lilin sebelumnya. Umat diingatkan untuk berkurban sebagaimana Maria telah bersedia menjadi ibu Yesus.
Kedua, untuk menyongsong Hari Raya Natal, umat perlu mempersiapkan diri melalui doa-doa yang intensif dalam keluarga maupun di lingkungan, kegiatan katekese umat, rekoleksi, dan pengakuan dosa.
Ketiga, liturgi masa Adven berpuncak pada perayaan Malam Natal (24 Desember). Misa Malam Natal disebut juga Vigili Natal, sebagai malam berjaga-jaga untuk mempersiapkan diri menanti kelahiran Yesus Kristus.
Menurut tradisi, Yesus lahir pada malam hari (Luk 2:6-8). Maka pada Malam Natal dapat diadakan Misa Tengah Malam. Namun, dewasa ini Misa Malam Natal dapat diadakan pada pukul 06.00 atau 07.00 sore (malam), sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (kebijakan pastoral).
Keempat, Hari Raya Natal dirayakan pada 25 Desember. Umat Kristiani di seluruh dunia merayakan Natal sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Kelahiran Yesus Kristus itulah yang hingga kini diperingati sebagai Hara Raya Natal setiap tahunnya.
Hari berikutnya (sesudah Hari Raya Natal) dapat dirayakan Natal Kedua bagi umat yang tidak dapat merayakan Hari Raya Natal 25 Desember. Jika tidak, umat dapat mengikuti perayaan Misa untuk memperingati pesta Santo Stefanus sebagai martir pertama dalam Gereja Katolik.
Kelima, Hari Raya Natal selanjutnya berturut-turut diikuti dengan liturgi Pesta Keluarga Kudus, Hari Raya Maria Bunda Allah (1 Januari), Hari Raya Penampakan Tuhan (dulu disebut Pesta Tiga Raja, yang dirayakan pada tanggal 6 Januari), dan Pesta Pembaptisan Tuhan yang menutup seluruh rangkaian liturgi Natal.
Natal telah membawa sukacita bagi kita. “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:10-11).
Penulis: Agustinus Gereda
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap di Universitas Musamus Merauke, dan membantu di STK St. Yakobus Merauke.