PRAKTIK masyarakat non-Muslim yang turut membeli takjil selama bulan Ramadan merupakan fenomena sosial yang menarik dalam kajian sosiologi. Fenomena ini dapat ditemukan di berbagai daerah, termasuk di Kota Rusa, Merauke, Papua Selatan.
Setiap bulan Ramadan, menjelang waktu berbuka puasa, masyarakat berbondong-bondong mendatangi pusat-pusat penjualan takjil atau kuliner berbuka puasa, tidak hanya bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa (umat Islam), tetapi juga individu yang tidak berpuasa (non-Muslim).
Fenomena ini tidak sekadar berkaitan dengan konsumsi kuliner, tetapi juga merefleksikan dinamika sosial, ekonomi, serta hubungan antar-agama dalam masyarakat yang heterogen.
Dalam konteks toleransi, interaksi ini dapat menjadi indikator adanya harmoni sosial serta kesadaran kolektif dalam menghargai keberagaman budaya dan praktik keagamaan. Tulisan ini akan mengkaji fenomena tersebut melalui perspektif sosiologi.
1.Makna Sosial di Balik Pembelian Takjil
Dalam perspektif interaksi simbolik, kebiasaan non-Muslim dalam membeli takjil dapat dipahami sebagai bentuk keterlibatan dalam konstruksi makna sosial yang lebih luas.
Takjil, dalam konteks ini, tidak hanya berfungsi sebagai komoditas makanan, tetapi juga merepresentasikan simbol solidaritas dan kebersamaan.
Partisipasi non-Muslim dalam pembelian takjil menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar menjadi pengamat pasif terhadap perayaan Ramadan, melainkan turut serta dalam pengalaman sosial yang mencerminkan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya yang melekat dalam tradisi tersebut.
Interaksi ini menciptakan pertukaran simbolik yang berkontribusi terhadap penguatan kohesi sosial. Penjual takjil, yang mayoritas beragama Islam, menerima kehadiran pembeli dari berbagai latar belakang agama dengan sikap inklusif, mencerminkan keterbukaan dalam interaksi lintas budaya.
Sebaliknya, pembeli non-Muslim tidak hanya sekadar mengonsumsi makanan berbuka puasa, tetapi juga menunjukkan apresiasi terhadap tradisi Ramadan sebagai bagian dari kehidupan sosial yang lebih luas.
2.Takjil sebagai Penguatan Solidaritas Sosial
Dalam perspektif fungsionalisme, fenomena pembelian takjil oleh masyarakat non-Muslim dapat dipahami sebagai suatu mekanisme sosial yang berkontribusi terhadap penguatan solidaritas antar kelompok.
Meskipun ritual berbuka puasa memiliki makna keagamaan yang khas bagi umat Islam, tradisi ini juga menciptakan ruang bagi partisipasi masyarakat yang lebih luas.
Keterlibatan non-Muslim dalam pembelian dan konsumsi takjil mencerminkan keterhubungan sosial yang lebih luas, di mana mereka turut berinteraksi dengan budaya Ramadan. Hal ini pada akhirnya memperkokoh kohesi sosial dalam masyarakat yang beragam.
Dalam konteks teori Émile Durkheim, solidaritas dalam masyarakat modern bersifat organic. Dimana individu dan kelompok yang berbeda saling bergantung dalam berbagai aspek kehidupan.
Fenomena partisipasi non-Muslim dalam pasar takjil menunjukkan bentuk saling ketergantungan tersebut, di mana aspek ekonomi—melalui perputaran komoditas takjil—berjalan seiring dengan aspek sosial, yaitu penguatan hubungan harmonis antar umat beragama.
3.Kapitalisasi Ekonomi atas Tradisi Keagamaan
Dalam perspektif teori konflik, fenomena ini dapat dianalisis sebagai bentuk kapitalisasi terhadap tradisi keagamaan.
Ramadan, selain memiliki dimensi spiritual, juga mengandung aspek ekonomi yang signifikan. Dalam konteks ini, pedagang yang menjual takjil memanfaatkan tingginya permintaan, termasuk dari masyarakat non-Muslim, sebagai peluang untuk meningkatkan keuntungan ekonomi.
Interaksi ekonomi dalam pasar takjil dapat dipandang dari dua sisi dalam kaitannya dengan toleransi antarumat beragama.
Di satu sisi, transaksi yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat mencerminkan adanya penerimaan dan harmoni sosial.
Namun, di sisi lain, terdapat kemungkinan bahwa makna esensial Ramadan dapat mengalami pergeseran akibat dominasi kepentingan ekonomi.
Kapitalisme berperan dalam mendorong komersialisasi, dimana Ramadan tidak hanya dipandang sebagai praktik ibadah, tetapi juga sebagai peluang bisnis yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang non-Muslim.
4.Kebersamaan dalam Keberagaman
Dalam perspektif multikulturalisme, partisipasi non-Muslim dalam pembelian takjil mencerminkan pengakuan terhadap keberagaman budaya dan agama dalam masyarakat.
Multikulturalisme tidak menuntut asimilasi, tetapi lebih menekankan pada penghargaan dan apresiasi terhadap perbedaan tradisi serta praktik keagamaan yang ada.
Keterlibatan non-Muslim dalam membeli takjil dapat dipandang sebagai bentuk partisipasi inklusif dalam budaya Ramadan, yang berkontribusi terhadap penguatan ikatan sosial antar kelompok.
Fenomena ini menunjukkan bahwa keberagaman tidak sekadar diterima secara pasif, tetapi juga dirayakan sebagai bagian dari identitas kolektif masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme dan kohesi sosial.
Kesimpulan
Kebiasaan masyarakat non-Muslim membeli takjil selama bulan Ramadan mencerminkan berbagai dinamika sosial yang terkait dengan toleransi, interaksi ekonomi, dan identitas budaya.
Dari perspektif interaksi simbolik, fenomena ini menunjukkan adanya apresiasi terhadap budaya Islam.
Dalam perspektif fungsionalisme, ini memperkuat solidaritas sosial. Namun, dalam perspektif konflik, terdapat potensi kapitalisasi ekonomi atas tradisi keagamaan.
Sementara itu, dari sudut pandang multikulturalisme, interaksi ini menunjukkan adanya penerimaan dan penghormatan terhadap keberagaman budaya dalam masyarakat.
Dengan demikian, fenomena ini bukan sekadar aktivitas konsumsi, tetapi juga bagian dari dinamika sosial yang lebih luas dalam menciptakan harmoni dan kohesi sosial dalam masyarakat yang plural.
Penulis:
Godfrid Samderubun
Dosen Fisip Universitas Musamus