Merauke, Suryapapua.com– Gebrakan dan terobosan dilakukan Pastor Paroki Santa Theresia Buti, Simon Petrus Matruti bersama pengurus DPP Paroki Buti yang ‘dinahkodai’ Isaak Layaan.
Salah satu kegiatan nyata dilakukan dengan melibatkan masyarakat adat Marind baik di Buti maupun Nasem yakni napak tilas—dimulai dari Dusun Salira, Kampung Nasem, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Napak tilas ditandai perayaan ekaristi dipimpin Pastor Simon Petrus Matruti serta Pastor Rio di lapang (hamparan)—tepatnya di Dusun Salira atau tempat pendaratan Misionaris Katolik (dari luar negeri) pertama.
Dari pantauan suryapapua.com Selasa (30/09/2025), sejak semalam masyarakat dari Imbuti maupun Nasem, telah menginap di lokasi atau wilayah Dusun Salira dengan membentangkan terpal.
Selama semalam suntuk, ratusan masyarakat Marind bersama Ketua DPP Paroki Santa Theresia Buti, Isaak Layaan, Hendrikus Dumatubun (wakil ketua) serta sejumlah pengurus menemani mereka.
Lalu tadi pagi, Pastor Sipe, panggilan akrabnya bersama sejumlah biarawati (suster) bertolak dari kota dengan mobil, sekaligus perayaan ekaristi bersama.

“Napak tilas kita mulai. Ini menjadi momentum untuk membicarakan sesuatu yang selama ini senyap dan diam. Dimana tidak ada yang bicara atau omong tentang Salira— tempat masuknya Misionaris Katolik di Kabupaten Merauke,” ungkap Pastor Sipe.
Melalui momentum napak tilas, demikian Pastor Sipe, banyak orang akan memulai sesuatu melalui caranya bahwa pernah terjadi sesuatu disini (Dusun Salira). Tentunya para sejarawan, antropolog akan berbicara sesuai ilmu mereka.
Bagi Pastor Sipe, napak tilas adalah sebuah perjalanan dalam iman yang diulang setelah dirintis para perintis.
Tuhan mengutus mereka (Misionaris Katolik dari luar negeri) datang di tanah ini membawa keselamatan.
Lalu memakai mereka menjadikan semua manusia dan alam semesta disini mengenal Allah. Itulah peradaban baru. Dimana orang Marind mulai mengenal Tuhan Yesus sebagai jalan kebenaran dan hidup.
“Generasi Marind sekarang ingin mengatakan kepada dunia bahwa kami tidak diam lagi dan menyimpan di saku saja begitu. Kami ingin keluarkan agar dunia tahu bahwa disini ada sejarah paling penting,” tegas Pastor Sipe.

Lebih lanjut dijelaskan, para misionaris masuk di Papua Selatan, tidaklah mudah. Bukan karena mereka tak baik, tetapi persoalan budaya yang membedakan.
Tentu budaya yang dibawa misionaris asing adalah budaya lain. Jadi itu tantangan sangat besar.
“Pasti orang Marind bilang ketika itu, untuk apa orang asing datang di tanah kami,” katanya.
Namun demikian, para misionaris meyakinkan orang Marind bahwa ada sesuatu dibawa yakni misi ke-katolik-kan, meskipun pasti tidak mudah-gampang, butuh suatu kesabaran.
“Nah, inilah nilai nilai yang ada waktu itu dan sekarang mulai dihidupkan yakni soal kesabaran, kesetiaan maupun ketulusan. Generasi sekarang perlu tahu akan kesabaran misionaris dulu juga para guru perintis,” pintanya.
Napak tilas, demikian Pastor Sipe, jangan dilihat sederhana. Santa Theresia mengatakan,” Buatlah hal- hal kecil dengan cinta besar, maka hal kecil akan berbicara untuk dunia luas, sekaligus menyampaikan nilai besar.”
Melalui perayaan ekaristi, menempatkan seluruh proses napak tilas sebagai sumber hidup. Karena disini Tuhan memberi hidupnya dan mengorbankan dirinya bagi umat manusia.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun