Pukulan Telak Bagi Dinas P dan P Merauke, Kursi-Meja Tak Ada, Guru Ini Rela Duduk Melantai Sambil Ngajar

Laporan Utama1,370 views

Merauke, Suryapapua.com– Inilah potret sesungguhnya pendidikan di daerah pedalaman. Betapa tidak, karut-marut persoalan dari tahun ke tahun mulai dari masalah guru, fasilitas pendukung seperti bangunan sekolah, kursi dan  meja, rumah dinas dan lain-lain, masih menjadi momok yang tak kunjung dituntaskan.

Berbagai persoalan  dimaksud, justru   terjadi dan dialami  di kampung-kampung lokal orang asli Papua (OAP).

Tidak bermaksud memvonis dan atau menyalahkan pemerintah, tetapi ini menjadi suatu catatan sekaligus masukan  bagi Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Merauke yang ‘dinahkodai’ Stefanus Kapasiang.

Menyedihkan dan memrihatinkan. Dua kalimat ini sekaligus menggambarkan kondisi sesungguhnya Sekolah Dasar Inpres (SDI) Kumbis, Distrik Kimaam, Kabupaten Merauke.

Bangunan sekolah sudah mulai rusak parah. Kursi-meja tidak ada sama sekali. Lantai  sudah rusak, belum lagi plafon-plafon dan lain-lain terlihat tak ada.

Meski dengan berbagai keterbatasan dan kekurangan, namun sosok perempuan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tidak lain adalah Fransiska Dosi  ini tak mundur selangkah. Jiwa dan raga-nya dipertaruhkan untuk anak-anak Marind di kampung tersebut.

Anak-anak di SDI Kumbis sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar. Tampak Fransiska Dosi sedang menulis di papan – Surya Papua/IST
Anak-anak di SDI Kumbis sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar. Tampak Fransiska Dosi sedang menulis di papan – Surya Papua/IST

Wakil Ketua II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Merauke, Dominikus Ulukyanan saat ditemui Surya Papua Kamis (13/10) mengungkapkan, begitulah kondisi bangunan SDI Kumbis dari tahun ke tahun.

“Sampai hari ini, tinggal seorang diri adik Fransiska Dosi, guru kontrak yang begitu setia bersama anak-anak Papua di Kampung Kumbis untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang pengajar,” ungkapnya.

Dari foto yang diterima Surya Papua, terlihat Fransiska Dosi mengenakan pakaian seragam pramuka, duduk bersilah di lantai. Sementara di depannya, puluhan anak-anak  tampak serius mengikuti kegiatan belajar mengajar.

“Memang keinginan dan semangat anak-anak untuk sekolah, sangat tinggi. Itu yang juga menjadi motivasi bagi adik Fransiska untuk setia dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai seorang guru,” ungkap Ulukyanan.

Lebih lanjut Ulukyanan menjelaskan, di sekolah itu, hanya tersisa Fransiska Dosi. Dulu ada guru honor yang mengabdi, hanya perlahan mereka mengundurkan diri, lantaran honornya tak dibayar pemerintah.

“Nah untuk adik Fransiska, sudah beberapa tahun terakhir bersama anak-anak di Kampung Kumbis. Sebelumnya, dia (Fransiska, red) 10 tahun mengajar di Kampung Wetau, Distrik Waan,” ungkapnya.

Wakil Ketua II DPRD Merauke, Dominikus Ulukyanan - Surya Papua/Frans Kobun
Wakil Ketua II DPRD Merauke, Dominikus Ulukyanan – Surya Papua/Frans Kobun

Persoalan tentang kondisi pendidikan di pedalaman yang didiami orang asli Papua, harus diangkat ke publik, agar semua orang tahu. “Saya bangga sekali dengan semangat dari adik Fransiska yang begitu setia dengan tugasnya, meskipun banyak kesulitan dihadapi,” katanya.

Ulukyanan juga mengurai  bagaimana Fransiska dengan suaminya yang juga seorang guru  harus berpisah dengan tugas. Sang suami ditempatkan di Tubang untuk mengajar disana. Sedangkan isterinya di Kimaam. Itulah bobroknya  pendidikan yang terjadi.

“Suami-isteri dipisahkan. Mestinya pemerintah harus berpikir agar bagaimana mereka hidup sama sama di satu tempat tugas,” ujarnya.

Masyarakat di Kampung Kumbis, demikian Ulukyanan, meminta agar orang NTT atau Kei yang bertugas disitu. “Ya karena guru-guru  lebih banyak NTT dan mereka punya semangat tingggal di kampung, sehingga Fransiska yang ditempatkan disana,” jelasnya.

Untuk diketahui, SDI Kumbis adalah pertama di Pulau Kimaan sejak tahun 1971. Sekolah tersebut telah menghasilkan banyak orang menjadi ‘manusia.’  Mereka sudah menjadi dokter, tentara, polisi dan lain-lain.

Ditambahkan,  akses transportasi menuju Kampung Kumbis, hanya bisa dilalui dengan transportasi sungai. Jika orang dari ibukota Distrik Kimaam, menggunakan perahu pok-pok dengan durasi perjalanan kurang lebih 4-5 jam. Kalau speedboat, waktu tempuh hanya sekitar satu jam.

“Biasanya adik ibu Fransiska numpang pok-pok milik masyarakat ke Kampung Kumbis ketika selesai ada urusan di kota,” katanya.

Penulis : Frans Kobun

Editor   : Frans Kobun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *