Memahami Realitas Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan, Sebuah Catatan Potlot

Opini204 views

KEKERASAN terhadap perempuan bukanlah fenomena baru, namun hingga saat ini, tetap menjadi persoalan serius yang mengakar dalam berbagai lapisan masyarakat baik dalam ranah domestik, ruang publik, maupun dunia digital.

Perempuan masih sering menghadapi berbagai bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, psikologis, seksual, maupun struktural yang tidak hanya merenggut hak-hak dasar mereka, tetapi juga mencerminkan ketimpangan sistemik dalam relasi gender.

Tulisan ini bertujuan untuk mengajak pembaca memahami realitas kekerasan sosial terhadap perempuan dengan menelusuri akar permasalahannya, bentuk-bentuk manifestasinya serta dampaknya bagi korban dan masyarakat secara luas.

Dengan menyoroti faktor budaya, ekonomi dan politik yang turut melanggengkan kekerasan berbasis gender, diharapkan pembaca dapat lebih peka terhadap isu ini dan terpacu untuk berkontribusi dalam upaya pencegahannya.

Ragam Realitas Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman atau tanpa persetujuan, termasuk tindakan fisik, psikologis atau manipulasi.

Kekerasan seksual terhadap perempuan berdampak luas, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial, dan seringkali memiliki akar dalam ketidaksetaraan gender dan relasi kuasa yang timpang.

Kekerasan terhadap perempuan memiliki banyak wajah, mulai dari yang kasat mata hingga yang tersembunyi, baik dalam ranah privat maupun publik.

Berikut beberapa bentuk utama dari berbagai kekerasan terhadap perempuan selain kekerasan seksual yang menjadi fokus dalam tulisan ini.

a.Kekerasan Fisik: Tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau cedera tubuh, seperti pemukulan, penjambakan, penganiayaan, hingga pembunuhan.

jenis kekerasan fisik seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganiayaan oleh pasangan, atau serangan fisik di ruang publik.

b.Kekerasan Seksual: Segala bentuk pemaksaan atau eksploitasi seksual tanpa persetujuan korban misalnya seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, eksploitasi seksual komersial, pelecehan daring (cyber harassment) dan perkosaan dalam pernikahan.

c.Kekerasan Psikologis/Emosional: Bentuk kekerasan non-fisik yang merusak kesehatan mental dan kepercayaan diri korban misalnya seperti Gaslighting, penghinaan, ancaman, isolasi sosial, atau kontrol berlebihan oleh pasangan.

d.Kekerasan Ekonomi: Upaya membatasi akses perempuan terhadap sumber daya finansial untuk membuatnya bergantung misalnya seperti pelarangan bekerja, pengambilan paksa penghasilan korban, atau penolakan memberikan nafkah.

e.Kekerasan Struktural/Sistemik adalah kekerasan yang terjadi akibat ketidakadilan sistem sosial, hukum atau kebijakan, misalnya seperti diskriminasi upah, minimnya perlindungan hukum bagi korban, atau praktik tradisi yang merugikan perempuan (seperti kawin paksa atau sunat perempuan).

f.Kekerasan Digital adalah kekerasan berbasis teknologi, sering terjadi di media sosial atau platform digital misalnya seperti revenge porn, doxing (penyebaran data pribadi), pelecehan online, atau ancaman melalui pesan.

g.Kekerasan Simbolik adalah kekerasan yang termanifestasi melalui bahasa, norma atau representasi budaya yang merendahkan perempuan seperti berktifikasi perempuan di media, stigma negatif terhadap korban kekerasan atau anggapan bahwa perempuan “harus tunduk.”

Faktor-Faktor Yang Melanggengkan Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh struktur sosial yang kompleks, termasuk budaya, ekonomi, dan politik. Berikut penjelasan tentang bagaimana ketiga faktor ini berkontribusi terhadap pelanggengan kekerasan terhadap perempuan:

1.Faktor Budaya: Patriarki dan Normalisasi Kekerasan

Budaya memainkan peran kunci dalam membentuk norma gender yang sering kali menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.

Beberapa mekanisme budaya yang melanggengkan KBG antara lain pertama, patriarki dan stereotip gender.

Sistem patriarki yang banyak dianut dalam umumnya dianggap menormalisasi dominasi laki-laki atas perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun institusi. Stereotip seperti “perempuan harus patuh” atau “laki-laki lebih berkuasa” menciptakan ketidaksetaraan struktural yang memicu kekerasan. Kedua, budaya victim-blaming.

Artinya korban kekerasan sering disalahkan (misalnya, karena cara berpakaian atau perilaku), sementara pelaku dimaafkan dengan dalih “natur maskulinitas.”

Hal ini memperkuat impunitas pelaku. Ketiga, tradisi dan norma sosial.  Praktik seperti pernikahan dini, kawin paksa, atau pembatasan akses pendidikan bagi perempuan didukung oleh norma budaya tertentu, yang meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan.

Faktor budaya ini didukung oleh Teori Hegemonic Masculinity (Connell, 1987) menjelaskan bagaimana budaya mempromosikan maskulinitas dominan yang menganggap kekerasan sebagai alat legitimasi kekuasaan laki-laki.

2.Faktor Ekonomi: Ketergantungan dan Marginalisasi

Ketimpangan ekonomi memperburuk kerentanan perempuan terhadap kekerasan melalui pertama, ketergantungan finansial: Perempuan dengan akses terbatas terhadap sumber daya ekonomi (pekerjaan, properti, atau upah setara) lebih sulit meninggalkan hubungan abusive karena ketergantungan pada pelaku.

Kedua, eksploitasi tenaga kerja perempuan dimana Sektor informal (seperti pekerja domestik atau buruh migran) sering tidak memiliki perlindungan hukum, membuat perempuan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan di tempat kerja.

Ketiga, kemiskinan dan stres ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa tekanan ekonomi dalam rumah tangga dapat meningkatkan kekerasan domestik sebagai pelampiasan frustrasi (teori Stress-Induced Aggression). Data UN Women (2023) menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan fisik/seksual selama hidupnya, dengan risiko lebih tinggi pada kelompok ekonomi rendah.

3.Faktor Politik: Kebijakan yang Lemah dan Diskriminatif

Negara dan sistem politik dapat memperkuat atau mengurangi KBG melalui pertama, implementasi hukum yang lemah: Meski banyak negara memiliki UU anti-KBG, penegakannya sering tidak efektif karena bias gender aparat hukum.

Kedua kebijakan yang tidak responsif gender contohnya, akses terbatas pada layanan kesehatan reproduksi, atau diskriminasi dalam hukum waris. Kedua, politik identitas dan konservatisme.

Gerakan politik yang menggalang dukungan berdasarkan nilai-nilai tradisional sering membatasi hak perempuan. Kondisi ini dikatakan dalam teori Feminisme Negara (Catherine MacKinnon) yang menyoroti bagaimana negara bisa menjadi alat patriarki ketika kebijakannya mengabaikan kebutuhan perempuan.

Ada interkoneksi atau irisan yang sangat kuat antara ketiga faktor diata yakni, budaya patriarkal memengaruhi kebijakan politik yang diskriminatif, kemiskinan (ekonomi) memperkuat ketergantungan perempuan pada struktur budaya opresif serta politik yang tidak responsif gender menghambat upaya pemberdayaan ekonomi perempuan.

Ciri dan Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan seksual terhadap perempuan mampu memiliki berbagai bentuk dan ciriciri yang berbeda-beda. Salah satu ciri kekerasan seksual adalah adanya unsur paksaan atau ancaman, baik secara fisik, psikologis, atau seksual, yang dilakukan oleh pria terhadap perempuan.

Kekerasan ini bisa terjadi dalam berbagai situasi, misalnya di dalam hubungan romantis, dalam keluarga, atau bahkan dalam tempat kerja. Kekerasan seksual tidak mengenal kapan dan siapa yang melakukan, sehingga terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung menggunakan media atau teknologi (Darussalam, 2019).

Ciri-ciri lain kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk adanya unsur diskriminasi gender, yang membedakan perempuan sebagai korban dan pria sebagai pelaku.

Kekerasan seksual juga dapat memiliki motif yang terkait dengan gender, seperti keinginan untuk menguasai atau menghina perempuan.

Selain itu, kekerasan seksual dapat dilakukan oleh orang yang memiliki posisi kekuasaan atau otoritas, seperti guru, dokter, atau pejabat, yang dapat mempengaruhi kepercayaan korban dan membuat mereka lebih sulit untuk berbicara tentang pengalaman mereka (Schwantz, 2017).

Dengan demikian, kekerasan seksual terhadap perempuan dapat memiliki dampak yang banyak dan mempengaruhi kehidupan korban secara fundamental.

Kekerasan seksual terhadap perempuan juga memiliki beberapa ciri-ciri lain yang penting untuk diketahui dan diwaspadai.

Pertama, kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal, dan mampu terjadi di mana saja, baik di rumah, tempat kerja, atau di ranah pendidikan sekalipun.

Kedua, kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender, sehingga dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan terhadap siapa pun, termasuk istri, suami, pacar, orang tua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, atau orang yang tak dikenal.

Ketiga, kekerasan berbasis gender dapat mencakup tindakan seksual seperti pemerkosaan, penyerangan seksual, aborsi paksa dan kekerasan terhadap anak yang dilakukan tanpa persetujuan korban.

Keempat, pelecehan seksual juga mencakup komentar terkait seks yang dilakukan secara langsung, melalui pesan teks, atau dengan mengirimkan foto atau video.

Kelima, korban kekerasan seksual mungkin mengalami trauma fisik dan mental jangka panjang serta berisiko mengalami depresi atau bunuh diri. Oleh karena itu, mereka membutuhkan bantuan psikolog atau psikiater untuk mengatasi trauma tersebut.

Bagaimana dengan dampaknya? kekerasan seksual yang dialami perempuan memiliki dampak signifikan dan merusak.

Gangguan kesehatan mental adalah salah satu dampak utama dari kekerasan seksual terhadap perempuan.

Dampaknya dapat meliputi trauma psikologis, stres pascatrauma, gangguan kecemasan, depresi, gangguan tidur dan gangguan makan.

Selain gangguan kesehatan mental, kekerasan seksual juga dapat menyebabkan dampak fisik yang serius.

Hal ini dapat mencakup cedera fisik, luka-luka, memar, dan bahkan risiko infeksi atau penyakit menular seksual.

Selain itu, korban kekerasan seksual sering mendapati perasaan malu, minder, dan hilang percaya diri.

Mereka juga mungkin mengalami isolasi sosial, kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat, dan kesulitan dalam membangun kepercayaan dan afeksi terhadap orang lain.

Selain itu, dampak kekerasan seksual juga akan berdampak pada kehidupan sehari-hari korban.

Misalnya, korban mungkin mengalami kesulitan dalam pekerjaan atau pendidikan karena mengalami gangguan konsentrasi, kehilangan minat atau motivasi, dan gangguan kepercayaan pada orang lain (Oram, 2019).

Sumber Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dalam artikel “Dampak Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Dampaknya “Kekerasan seksual terhadap perempuan memiliki dampak yang signifikan dan merusak (Saragi et al., 2023).

Kekerasan seksual memiliki dampak psikologis yang signifikan terhadap perempuan, yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka secara fundamental.

Perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung mengalami stres, depresi, dan anxiety yang berkepanjangan serta dapat mengembangkan trauma yang sulit untuk diatasi.

Mereka juga mungkin mengalami perubahan perilaku, seperti isolasi sosial, peningkatan kekhawatiran, dan perubahan dalam perilaku seksual.

Selain itu, kekerasan seksual dapat mengganggu kepercayaan diri dan identitas perempuan, serta mempengaruhi hubungan mereka dengan orang lain, termasuk keluarga dan teman (Saturnus et al., 2017).

Dampak psikologis ini dapat berlangsung lama dan mempengaruhi kehidupan perempuan secara signifikan, sehingga perlu adanya dukungan dan intervensi yang efektif untuk membantu mereka mengatasi trauma dan memulihkan kehidupan mereka.

Bagaimana Menyikapi Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Kekerasan seksual terhadap perempuan terus menjadi isu yang tersebar luas, baik secara global maupun dalam konteks tertentu seperti kampus.

Upaya untuk mengatasi dan memberantas kekerasan seksual harus melampaui perubahan perilaku individu dan fokus pada tantangan terhadap norma-norma masyarakat, mendorong kesetaraan gender, memberikan pendidikan komprehensif tentang persetujuan dan menegakkan hukum yang ketat untuk meminta pertanggungjawaban pelaku.

Selain itu, mengatasi faktor-faktor mendasar yang berkontribusi terhadap kekerasan seksual, seperti kemiskinan, pengangguran dan kurangnya sistem peradilan dan kepolisian yang efektif, sangatlah penting.

Kampanye kesadaran dan program pendidikan sangat penting dalam memberikan informasi dan mendidik perempuan dan laki-laki tentang pentingnya menghormati dan mencintai satu sama lain, serta mempromosikan budaya tidak menoleransi kekerasan.

Selain itu, solusi yang berfokus pada komunitas yang memobilisasi perilaku prososial di kalangan calon pengamat dapat memainkan peran penting dalam mencegah kekerasan seksual.

Dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab masyarakat dan meningkatkan penerimaan anggota masyarakat terhadap pesan-pesan pencegahan, intervensi pengamat yang proaktif dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mengurangi insiden kekerasan seksual terhadap perempuan.

Mengatasi kekerasan seksual terhadap perempuan secara efektif, sangatlah penting untuk menerapkan strategi komprehensif yang mampu mengatasi faktor individu dan masyarakat yang berkontribusi terhadap masalah ini.

Untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap perempuan secara efektif, sangat penting untuk menerapkan strategi komprehensif yang mengatasi faktor individu dan masyarakat yang berkontribusi terhadap masalah ini (Sardinha et al., 2022).

Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah salah satu bentuk kekerasan yang paling umum dan paling berbahaya terhadap perempuan di Indonesia.

Kekerasan seksual ini dapat berupa pelecehan, perkosaan, atau penyalahgunaan seksual lainnya.

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi masalah yang kompleks dan berkelanjutan di Indonesia. Pada tahun 2023, Komnas Perempuan mencatat 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan Kekerasan mental mendominasi sebanyak 3.498 atau 41,55%, disusul kekerasan fisik sebanyak 2.081 atau 24,71%, kekerasan seksual sebanyak 2.078 atau 24,69%, dan kekerasan ekonomi sebanyak 762 atau 9,05%.

Data ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling umum terhadap perempuan di Indonesia.

Pada tahun 2024, Komnas Perempuan mengingat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat sebanyak 289.111 kasus, menunjukkan penurunan kekerasan terhadap perempuan dibandingkan tahun 2022 sebanyak 55.920 kasus atau sekitar 12%.

Namun, data ini juga menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling umum terhadap perempuan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, data kekerasan terhadap perempuan menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling umum terhadap perempuan di Indonesia.

Data ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi salah satu bentuk kekerasan yang paling umum terhadap perempuan di Indonesia.

Pada skala lokal realitas sosial hari ini memperlihatkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan juga masih berlangsung di segala ruang; domestik (rumah tangga) maupun publik, di segala waktu dan dilakukan oleh banyak orang dengan identitas sosio-kultural yang beragam, dari yang dianggap sebagai “orang terhormat”, terpelajar dan dianggap “shaleh” sampai yang dianggap “orang rendahan” dan “manusia pinggiran”.

Pada sisi lain kekerasan terhadap perempuan dalam kenyataannya tidak hanya dilakukan secara individual melainkan juga oleh institusi sosial, ekonomi, politik dan budaya.

Kita juga boleh jadi kehilangan akal untuk dapat mengidentifikasi secara pasti identitas orang yang diharapkan dapat menjamin keamanan perempuan dari kemungkinan menjadi korban kekerasan.

Orang-orang yang paling dekat dan paling terpercaya dengan perempuan sekalipun seperti ayah, kakak, adik, paman, teman kerja dalam sejumlah kasus kekerasan seksual terbukti juga terlibat dalam aksi kekerasan.

Kesimpulan dan Rekomendasi untuk Pencegahan

Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah masalah sistemik yang mencerminkan ketidaksetaraan gender, budaya patriarki, dan lemahnya penegakan hukum.

Fenomena ini tidak hanya merampas hak-hak dasar perempuan tetapi juga meninggalkan trauma mendalam yang memengaruhi kehidupan korban dalam jangka panjang.

Meskipun kesadaran masyarakat tentang isu ini semakin meningkat, upaya pencegahan dan penanganan masih belum optimal.

Diperlukan pendekatan holistik, mulai dari pendidikan seksualitas yang komprehensif, reformasi hukum, hingga perubahan norma sosial yang memandang perempuan sebagai subjek yang setara.

Untuk itu yang dapat dilakukan sebagai bentuk pencegahan pendidikan kesetaraan gender untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan pentingnya kesetaraan gender.

Selain itu perlu juga penegakan hukum yang adil yang memberikan hukuman yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual dan memastikan perlindungan bagi korban.

Pencegahan dapat juga dilakukan melalui penyuluhan dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual dan cara mencegahnya. Last but not least, memberikan dukungan psikologis dan konseling bagi korban untuk membantu mereka pulih dari trauma.

Bagaimana peran media? media massa memiliki peran penting dalam membentuk opini publik dan meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual.

Selain itu media harus memberitakan kasus kekerasan seksual secara bertanggung jawab, menghindari stigmatisasi korban dan fokus pada upaya pencegahan dan penanggulangan.

Memahami realitas kekerasan seksual terhadap perempuan adalah langkah awal untuk menciptakan perubahan.

Setiap individu, institusi, dan pemerintah harus berkolaborasi dalam membangun lingkungan yang aman, adil, dan bebas dari kekerasan berbasis gender.

Dengan mengedepankan empati, keadilan, serta komitmen kolektif, kita dapat mengakhiri budaya impunitas dan mendorong terwujudnya masyarakat yang menghargai hak serta martabat perempuan.

Semoga upaya bersama ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga tindakan nyata untuk masa depan yang lebih inklusif dan setara.

“Perjuangan melawan kekerasan seksual adalah perjuangan untuk kemanusiaan itu sendiri.”

Penulis :

God Samderubun

Dosen Fisip Universitas Musamus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *