SKENARIO pembunuhan berencana itu disusun FS, seorang petinggi institusi kepolisian. Skenario pembunuhan YH, bawahannya sendiri adalah tembak-menembak. Hal itu dilakukan untuk merekayasa penyebab kematian YH yang terjadi 8 Juli 2022.
FS menyesali perbuatannya lantaran emosi dan amarah telah mengalahkan logikanya. FS juga lupa daratan, tidak memikirkan dampak yang akan terjadi. Ia pun tidak sempat memikirkan dampak negatif yang menimpa institusi kepolisian.
Ketidakjujuran FS itu berawal dari informasi sang istri, yang merasa dilecehkan secara seksual. Padahal pelecehan itu tidak terbukti. Jadi, ketidakjujuran sang istri melahirkan ketidakjujuran sang suami.
Tanpa klarifikasi yang memadai, FS bertindak membabi buta membunuh YH. Tetapi untuk mewujudkan rencana pembunuhan itu, FS agaknya seorang pengecut, tidak berani bertindak sendiri. Ia melibatkan orang-orang terdekatnya, di antaranya istrinya sendiri PC, RE, RR, dan KM.
Ketidakjujuran FS melahirkan ketidakjujuran. Ia melibatkan orang lain yakni bawahannya untuk turut dalam ketidakjujuran. Modusnya adalah memerintahkan bawahannya untuk merusak CCTV di sekitar TKP, yang berarti merintangi proses penyilidikan. Ada begitu banyak bawahannya yang menjadi korban ketidakjujuran FS.
Sebaliknya, RE masih memiliki kejujuran. Ia, yang semula ragu-ragu bercampur takut, akhirnya berani mengambil risiko. Dalam kejujurannya itu terkandung konsekuensi yang berat. Maklumlah, ia berhadapan dengan atasannya, sedangkan dia hanyalah seorang yang berpangkat terendah. RE tetaplah seorang yang tidak berdaya, terpaksa mengikuti perintah atasannya, tetapi akhirnya ia jujur.
Artikel ini menegaskan bahwa perbuatan apa saja, termasuk ketidakjujuran, selalu mengandung konsekuensi. Ketidakjujuran akan melahirkan ketidakjujuran. Sebaliknya, kejujuran melahirkan kejujuran.
Ketidakjujuran VS Kejujuran
Kematian tragis YH telah menggugat kemapanan institusi yang bercokol dalam zona nyaman, di antaranya ketidakjujuran, relasi kekuasaan, dan budaya institusi. Artikel ini akan berfokus pada ketidakjujuran.
Ketidakjujuran berlawanan dengan kejujuran. Jujur berarti berkata atau berbuat sesuai dengan kenyataan. Tidak jujur berarti berkata atau berbuat tidak sesuai dengan kenyataan. Ketidakjujuran disebut juga kebohongan.
Ketidakjujuran disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-fakto itu di antaranya pengaruh lingkungan (kebiasaan), kecemburuan, permusuhan, ketakutan, dan kelemahan prinsip.
Di dalam lingkungan yang tidak biasa jujur, orang jujur akan dijauhi, bahkan dibenci. Ia bisa saja tidak segera naik pangkat karena kejujurannya. Padahal tindakan atasan tersebut merupakan sebuah kesesatan berpikir. Inilah salah satu persoalan berkaitan dengan relasi kekuasaan.
Berkenaan dengan relasi kekuasaan, kekeliruan berargumen terjadi karena pernalaran yang diajukan berlandaskan kekuasaan seseorang yang berargumen untuk membenarkan sebuah kesimpulan. Misalnya, pada zaman orde baru, banyak orang mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) karena takut dicap subversif oleh penguasa yang sebenarnya munafik.
Ketidakjujuran hampir terjadi secara meluas. Tidak terkecuali para pemimpin dan pejabat, yang seharusnya menjadi barometer bagi masyarakat. Misalnya Dirut PLN yang terseret kasus korupsi. Kasus suap ASN, adovokat, hakim, dan lain-lain. TNI/POLRI berbuat curang, atau membiarkan orang berbuat curang. Terjadi malpraktik, seperti mengabaikan prosedur, kesalahan dalam penyelidikan, dan pernyataan yang menyesatkan.
Ketidakjujuran karena ketakutan dapat terbukti dari keterangan para saksi. Misalnya menjawab tidak tahu atau lupa atas pertanyaan hakim/jaksa. Ada begitu banyak ucapan yang bertolak belakang dengan kenyataan sesungguhnya. Ada pernyataan yang berlawanan dengan akal sehat.
Ada yang memperlihatkan ketidakjujuran dengan modus air mata. Hal ini dilakukan untuk menutupi anggapan negatif masyarakat. Apalagi jika karena kejujurannya, terpaksa ia merasa malu, kehilangan muka, bahkan ingin mempertahankan gengsi.
Sebaliknya orang yang mempertaruhkan prinsip kejujuran, berani berbicara benar. Meskipun kejujuran itu mengandung risiko, misalnya ditolak di lingkungan yang tidak jujur, bahkan diancam mati, prinsip tersebut dinilai positif. Sebab, kejujuran mampu memengaruhi hati nurani orang, yang menghargai kebenaran dan keadilan di dalam masyarakat.
Ketidakjujuran Melahirkan Ketidakjujuran
Skenario pembunuhan berencana telah merugikan banyak orang dan diri sendiri. Ternyata ketidakjujuran berpotensi melahirkan ketidakjujuran baru. Begitu seterusnya lagi, hingga melahirkan kebohongan yang berlapis-lapis.
Dalam kasus kematian YH, ketidakjujuran itu diawali dengan informasi sepihak. Informasi yang belum tentu benar itu menyebabkan FS geram dan marah besar. Tanpa menyelidiki lebih jauh kebenarannya, FS berencana melakukan pembunuhan.
Ketika mewujudkan rencana itu, FS memerintahkan RE menembak YH. Untuk menutup rencana pembunuhan itu, FS menjanjikan sejumlah uang kepada RE, RR, dan KM. Lagi-lagi FS berbohong. Selanjutnya, FS memerintahkan bawahannya merusak CCTV untuk menghilangkan jejak. FS bersih keras mempertahankan argumennya tentang kasus pelecehan seksual yang menimpa sang istri. Lagi-lagi ia berbohong.
Ketidakjujuran berlapis-lapis FS telah membawa akibat yang fatal bagi dirinya sendiri. Oleh Majelis Hakim, ia dijatuhi hukuman mati, 13 Januari 2023. Sementara kejujuran RE menuai hukuman sangat ringan, yang divonis 15 Januari 2023.
Ketidakjujuran berlapis yang dilakukan FS hampir serupa dengan kasus Daud dalam kisah Perjanjian Lama (2 Sam 11:1-27).
Dikisahkan, Daud seorang raja Israel yang unggul. Namun, ia pernah jatuh dalam dosa berat. Ia tidak hanya melakukan dosa zinah dengan Betsyeba, tetapi juga merancang skenario pembunuhan terhadap Uria, suaminya. Hal ini dilakukan Daud agar menutupi perbuatan aibnya.
Setelah diketahui bahwa Betsyeba mengandung, Daud merancang sebuah skenario jahat. Ia memerintahkan Yoab, panglima perang Israel, agar Uria pulang ke rumahnya.
Daud menjamu Uria,memberinya hadiah, lalu menyuruhnya pulang ke rumah. Maksudnya ketika Uria tidur bersama istrinya, Daud beralibi jika Betsyeba mengandung, itu berasal dari benih Uria.
Yang menarik, Uria tidak mau pulang. Keesokan harinya Daud memanggil Uria lagi, menjamunya, membuatnya mabuk, dengan harapan Uria mau pulang. Namun, Uria berpegang teguh pada prinsipnya, pada waktu perang suci, seseorang tidak boleh pulang dan tidur dengan istrinya (2 Sam 11:11).
Tidak berhasil skenarionya, Daud mengirim surat kepada Yoab, yang diantar sendiri oleh Uria. Isinya memerintahkan agar Uria ditempatkan di barisan depan dalam pertempuran sengit melawan orang Amon, kemudian menarik diri darinya, supaya ia terbunuh (2 Sam 11:14-15). Yoab menaati perintah Daud. Uria mati terbunuh, Betsyeba pun menjadi istri selirnya.
Penutup
Perbuatan apapun selalu membawa konsekuensi, termasuk kejujuran. Berlakulah hukum alam: yang dituai sesuai dengan yang ditabur. Ketidakjujuran FS akhirnya menuai hukuman mati. Sementara, kejujuran RE telah menuai hukuman ringan, masih diterima sebagai anggota kepolisian.
Daud melakukan dosa perzinahan, membuat skenario jahat hingga akhirnya Uria mati terbunuh. Tetapi, ia menyadari dosa-dosanya. Berkat bantuan Nabi Natan (2 Sam 12:1-25), Daud mengakui kesalahannya di hadapan Tuhan dan bertobat.
Kejujuran memungkinkan seseorang kehilangan muka. Tetapi, dengan cara demikian ia tercabut dari zona nyaman. Maka dibutuhkan kerendahan hati, keberanian berbicara benar, bertindak apa adanya. Selanjutnya, diperlukan rahmat Tuhan, yang rela mengampuni dosa, termasuk dosa pembunuhan. Bukankah Tuhan Mahabaik itu, senantiasa menantikan anak-Nya yang hilang?
Penulis: Agustinus Gereda
Alumnus STFK Ledalero, Flores, NTT (1986) dan UNHAS Makassar (2010). Kini dosen tetap di Universitas Musamus Merauke, dan membantu di STK St. Yakobus Merauke.