Desak Cabut Izin PT Papua Berkat Pangan, Masyarakat Adat 18 Marga Suku Wambon ‘Serbu’ Kantor DPMPTS Boven Digoel

Boven Digoel, Suryapapua.com– Masyarakat adat dari 18 marga Suku Wambon, Distrik Arimop  ‘menyerbu’ Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTS) Kabupaten Boven Digoel, sekaligus mendesak segera menghentikan dan mencabut  pemberian izin sepihak kepada PT Papua Berkat Pangan, lantaran melanggar aturan.

Kedatangan masyarakat adat  dengan membawa serta membentangkan sejumlah spanduk kecaman serta penolakan terhadap perusahan tersebut beberapa waktu lalu itu,  didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Pos Merauke.

Dari rilis yang diterima Surya Papua Sabtu (14/12/2024), Perwakilan LBH Papua Pos Merauke, Teddy Wakum menjelaskan, belasan marga dengan tegas menolak kebijakan sepihak Pemkab Boven Digoel atas pemberian izin atas wilayah masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat.

Aksi protes yang dilancarkan, setelah Dinas Penanaman Modal dan Pelayan Terpadu Satu Pintu (DPMPTS) Kabupaten Boven Digoel,  menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan berusaha.

Persetujuan tertuang dengan nomor  28052410219302005 yang kemudian dilanjutkan pemberian perizinan berusaha berbasis risiko oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia dengan Nomor 0301240051011 yang diterbitkan 3 Januari 2024.

Sementara luas tanah yang dimohon adalah  34.092,18 hektar yang meliputi Distrik Mandobo, Jair,  Iniyandit dan Distrik Arimop.

Adapun tuntutan masyarakat adat dari 18 marga diantaranya mendesak kepada  Kementerian Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia dan  Dinas Penanaman Modal  dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTS) segera menghentikan Izin perkebunan berskala luas yang merusak lingkungan dan hutan adat serta menghilangkan kepemilikan marga atas tanah ulayat.

Masyarakat juga membeberkan tak ada ketebukaan informasi dari pemerintah terkait perizinan yang dikeluarkan diatas tanah adat mereka.

Lalu adanya indikasi bahwa pembahasan analisis dampak lingkungan dan sosialisasi dari perusahaan dilakukan secara tertutup  serta hanya melibatkan orang-orang tertentu.

“Kami meminta Pemkab Boven Digoel wajib menghormati hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam pasal 18B Undang-Undang Dasar  Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang nomor 02 Tahun 2021 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua,” pintanya.

Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara.

Juga Perdasus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Adat Atas Tanah Adat  serta Perdasus Kabupaten Boven Digoel Nomor  02 Tahun 2023 Tentang Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan  Masyarakat hukum Adat.

Lalu adanya perlindungan, pengakuan dan peghormatan terhadap masyarkat hukum adat yang diatur  dalam  regulasi.

Dalam kesempatan itu, masyarakat adat 18 marga menolak segala bentuk investasi berskala makro dan menengah khususnya industri ekstraktif di wilayah adat.

Alasannya, akan merusak tanah, hutan adat, nilai-nilai, norma-norma, sumber penghidupan dan identitas budaya  Suku Wambon Mandobo.

Untuk diketahui, 18 marga dimaksud diantaranya Marga Amotey, klamop, Malek, Ulat, Bujop, Teulop,  Kanggin, Ukumarop, Makulop, Butiop, Bandiop, Guam, Agitop, Gunumop, Generop, Tawi dan Marga Wandengge.

Penulis : Frans Kobun

Editor   : Frans Kobun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *