Merauke, Suryapapua.com-Wanggambi adalah salah satu kampung di Distrik Tabonji, Kabupaten Merauke. Kampung tersebut dihuni puluhan tahun orang asli Papua (OAP) yang jumlahnya mencapai 50 kepala keluarga.
Namun sayangnya, kampung itu sangat terisolir dan sulit dijangkau. Tak ada akses jalan darat. Satu-satunya hanya melalui sungai (rawa).
Untuk sampai ke kampung itu, bisa menggunakan speedboat dengan waktu perjalanan hingga empat jam. Lalu kalau masyarakat hendak ke ibukota distrik, transportasi yang digunakan adalah perahu ketinting. Waktu perjalanan satu hari. Jika badai di tengah sungai, mereka terpaksa menepi dan bermalam.
Kepala Distrik Tabonji, Yohanes Kapura saat ditemui surya Papua Senin (17/1) mengungkapkan, umumnya masyarakat setempat membangu rumah sederhana di atas rawa berdinding gabah serta atap daun sagu. Tidak ada rumah layak huni dibangun untuk ditempati.
Selain itu, jelas Kapura, fasilitas seperti gereja, sekolah maupun puskesmas pembantu tak ada. Jadi Wanggambi itu adalah kampung tanpa sarana.
“Bagaimana pemerintah ingin membangun. Sementara puluhan masyarakat Wanggambi tinggal di atas rawa. Mereka pun dengan rumah sangat sederhana dibangun secara swadaya,” ujarnya.
Dikatakan, Kampung Wanggambi adalah peninggalan dari leluhur. Sehingga puluhan tahun mereka tetap bertahan hidup di atas rawa.
Ditanya penghasilan atau pendapatan didapatkan, Kapura mengaku selain berburu rusa juga buaya. Selanjutnya dijual ke Kampung Kawe, karena disana ada penada yang siap membeli.
Terhadap kondisi kehidupan masyarakat disana, Kapura mengaku telah menyampaikan kepada Bupati Merauke, Romanus Mbaraka agar dipindahkan ke ibukota Distrik Tabonji atau ke Kimaam.
“Tidak bisa harus bertahan terus diatas rawa. Karena dengan kondisi demikian, anak-anak juga sama sekali tak sekolah, sekaligus bisa belajar membaca serta menulis selama ini,” ujarnya.
Begitu juga pembinaan kerohanian bagi masyarakat setempat. Mereka tak punya bangunan gereja untuk beribadah setiap hari Minggu. Selain itu pustu tidak ada, sehingga pelayanan kesehatan stagnan.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun