Merauke, Suryapapua.com– “Komitmen kami di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Merauke adalah memperlakukan semua pasien sama dalam pelayanan. Baik itu orang asli Papua (OAP) maupun non Papua (pendatang), termasuk yang punya uang atau tidak punya.”
Penegasan itu disampaikan Kepala Bidang Pelayanan RSUD Merauke, dr. Daisy F Lapasi saat ditemui Surya Papua diruang kerjanya Kamis (11/8). Menurutnya, kemarin siang, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA), Frederikus W Mahuze bersama Thimotius Gedi mendatanginya, sekaligus menanyakan persoalan dimaksud, setelah mendapat pengaduan keluarga pasien.
Dikatakan, berhubung satus pandemic covid-19 yang belum dicabut secara resmi oleh pemerintah, sehingga pihak rumah sakit masih terikat dengan beberapa aturan serta alur yang berlaku sesuai standard operasional pelayanan (SOP) untuk pasien yang menjalani rawat inap.
Dimana, lanjut dokter Daisy, semua pasien yang hendak masuk di instalasi gawat darurat (IGD), harus discreening terlebih dahulu dengan pemeriksaan covid-19.
“Atas nama managemen RSUD Merauke, saya menyampaikan permohonan maaf, karena tak ada ketersediaan ruang mencukupi, sehingga kami memasang tenda di halaman rumah sakit. Sekaligus ditempati pasien yang belum diketahui status sesungguhnya. Apakah pasien covid-19 atau bukan. Jadi ditempatkan di dalam tenda hingga hasil pemeriksaan keluar,” ujarnya.
Meskipun ditempatkan ditenda, namun pemeriksaan atau pelayanan oleh dokter didampingi perawat, tetap berjalan sebagaimana biasa, seperti pasien ditempatkan di IGD.
Dokter Daisy kembali menegaskan, bukan hanya pasien Papua saja ditempatkan di tenda, tetapi semua orang termasuk non Papua. Karena harus diketahui terlebih dahulu statusnya.
“Jika belum diketahui statusnya dan langsung masuk ke ruangan rawat inap dan ternyata diketahui positif covid-19, tentu bisa menimbulkan persoalan lain dengan pasien terdahulu yang sedang dirawat,” katanya.
Pasien Petronela Wangga Tak Ditelantarkan
Lebih lanjut dokter Daisy menjelaskan, pasien atas nama Petronela Wangga (68) yang dirawat di tenda. “Betul Mama Petronela masuk sekitar pukul 08.00 WIT dengan keluhan utama adalah badan lemas, riwayat demam satu hari, nyeri perut, kedua tungkai tulang sakit serta persendian,” jelasnya.
Selain itu, ada riwayat sakit asam urat. Jadi saat diperiksa medis, tanda vital seperti tensinya normal, hanya nadi agak cepat, karena setelah suhu diukur 38,5 derajat. Sedangkan keluhan sesak nafasnya ada, namun minimal.
Lalu saat diperiksa, frekuwensi nafasnya 22 kali per/menit dan itu masih kategori normal dengan saturasi oksigen cukup bagus 95 persen. Sehingga dokter memutuskan belum ada indikasi dipasang oksigen.
Nmaun demikian, begitu datang pagi langsung diperiksa dan didiagnosa serta diobservasi demamnya sekaligus dipasang infus (cairan) lalu obat suntik, karena pasien merasakan nyerih ulu hati.
“Petugas juga mengecek rekam jantung dan ternyata normal, sekaligus diambil darahnya untuk pemeriksaan di laboratorium,” ungkapnya.
Oleh karena tak ada indikasi sesak nafas, demikian dokter Daisy, sehingga tak dipasang oksien. Namun sekitra pukul 12.00 WIT, mama Petronela mulai sesak sehingga oksigen dipasang dan dilakukan obvservasi.
Khusus pasien atas nama Fransiskus, rujukan dari Puskesmas Kimaam, dokter Daisy menjelaskan, bersangkutan juga ditempatkan di tenda. Karena masih menunggu statusnya.
“Memang bapak ini masuk satu hari duluan dari mama Petronela. Sempat petugas akan memasang oksigen, namun bersangkutan menolak. Sehingga tak mungkin harus dipaksakan,” ujarnya.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun