Merauke, Suryapapua.com– Masih ingatkah kasus nelayan KMN Adytia Sumatera Jaya yang berjumlah delapan orang serta lima penumpang speedboat ketika ditangkap polisi Papua Nugini (PNG) saat memasuki perairan negara tersebut beberapa waktu lalu?
Ternyata proses hukum terhadap 13 nelayan Merauke itu, telah diputuskan Pengadilan Distrik Daru. Dimana nahkoda KMN Adytia Sumatera Jaya dihukum denda sekitar Rp 169 juta. Sedangkan anak buah kapal (ABK) didenda Rp 69 juta.
Sementara lima penumpang speedboat, pengadilan setempat menilai telah melakukan pelanggaran peraturan keimigrasian dan perikanan dengan hukuman subsider 1-3 tahun penjara, lalu terdapat potensi denda kepabeanan sekitar Rp 140 juta. Karena mengambil atau membawa teripang sebanyak 500 kg.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Perbatasan Kabupaten Merauke, Rekianus Samkakai melalui ponselnya Senin (3/1) membenarkannya. “Betul saya mendapat surat dari Kementerian Luar Negeri RI-Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler yang ditandatangani Direktur Perlindungan WNI, Judha Nugraha,” katanya.
Dikatakan, dalam surat itu, dijelaskan putusan pengadilan berlangsung 8 Desember 2021. Sementara permohonan banding, diberikan Pengadilan Daru PNG paling lambat satu bulan atau sebelum 6 Januari 2022.
Terhadap putusan dimaksud, jelas Rekianus, perwakilan RI di PNG Cq KBRI Port Moresby dan KRI Vanimo, telah menangani kasus itu sejak awal dengan memberikan bantuan pendampingan kekonsuleran. Namun demikian, tetap menghormati proses hukum di Negara PNG.
Selain itu, juga mengedepanka pihak –pihak yang bertanggungjawab dan memastikan para WNI yang ditahan, memperoleh akses terhadap peradilan secara adil.
Lebih lanjut dijelaskan, telah adanya koordinasi bersama otoritas terkait (Kepolisian PNG dan Kantor Bea-Cukai Daru) guna meminta akses kekonsuleran. Perwakilan RI juga mengupayahkan negosiasi dan keringanan denda di luar proses pengadilan.
Jika pembayaran terlambat dilakukan pemilik kapal, perwakilan RI meminta akses informasi terkait penanganan kasus dan proses peradilan. Sekaligus memastikan WNI dalam kondisi baik. Lalu perwakilan RI juga megirim nota diplomat untuk pemindahan para WNI ke penjara Bomana, Port Moresby.
“Telah ada komunikasi bersama kapten kapal guna memastikan kondisi kesehatan mereka semua serta memberikan bantuan logistic, termasuk bantuan handphone melalui Polres Daru,” ujarnya.
Hal lain yang dilakukan, jelasnya, konsultasi dengan public attorney (LBH) PNG. Dan, pengacara swasta menyampaikan bahwa pada prinsipnya mereka siap mewakili para WNI.
Hanya saja, permohonan banding belum tentu dapat menghasilkan keringanan denda serta hukuman sesuai yang diinginkan. Karena para WNI telah mengakui kesalahan dan adanya bukti memberatkan yakni teripang sebanyak 400-500 kg.
“Memang ada biaya sekitar 5000 kina atau Rp 20 juta untuk permohonan banding ketika menggunakan jasa LBH PNG,” ungkapnya.
Rekianus mengakui perwakilan RI di PNG telah meminta tanggungjawab dan kontribusi pemilik kapal, khususnya pembayaran denda dan pengacara apabila upaya banding dilakukan, namun belum memperoleh hasil memuaskan.
“Betul bahwa Bupati Wakatobi menyampaikan apresiasi atas upaya Kemenlu serta perwakilan RI di PNG dan memohon banding atau permintaan pertanggungjawaban pemilik kapal untuk keringanan hukuman atau pembebasan para WNI dapat diteruskan. Karena umumnya ABK itu adalah warganya,” katanya.
“Pak Bupati Wakatobi juga telah bertemu keluarganya dan menyampaikan pemerintah tak tinggal diam,” ujarnya.
Selanjutnya, demikian Rekianus, Pemerintah Provinsi Papua setuju dengan pentingnya mengedepankan pihak-pihak yang bertanggungjawab yakni pemilik kapal.
“Betul dari Ditjen PSDKP- KKP menyampaikan kapal serta speedboat tidak terdaftar dan tak memiliki izin beroperasi maupun laporan keberangkatan dari Merauke,” katanya.
Diharapkan sebelum tanggal 6 Januari 2022 dapat diperoleh pertanggungjawaban pemilik kapal dalam hal pembayaran denda serta biaya pengacara. Hal itu perlu dilakukan agar memberikan efek jera kepada bersangkutan agar tak mengulangi tindakan lagi.
Penulis : Frans Kobun
Editor : Frans Kobun