SELAMA ini novel-novel dengan setting sosial-budaya masyarakat Papua pada umumnya ditulis oleh orang luar Papua. Sebut saja misalnya novel Namaku Teweraut (2000) karya Ani Sekarningsih, novel Kapak (2005) karya Dewi Linggasari, novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani (2007) karya Dewi Linggasari.
Lalu novel Mawar Hitam Tanpa Akar (2009) karya Aprila R.A. Wayar, novel Tanah Tabu (2009) karya Anindita S. Thayf, novel Elang (2009) karya Kirana Kejora, novel Ratu Lembah Baliem (2010) karya Ircham Machfoedz, novel Cinta Putih di Bumi Papua (2014 ) karya Dzikry el Han, novel Isinga (2015) karya Dorothea Rosa Herlyani, novel Mimpi Anak Papua (2018) karya Jackie Ambadar, novel Sentuh Papua (2018) karya Aprila R.A. Wayar, novel Tapak Jejak (2019) karya Fiersa Bresari.
Sementara itu kita dapat menemukan penulis novel yang berasal dari Papua seperti Nunias Selegani, dengan karya-karyanya Kekuatan Menunggu (?), Dear Prizkila (?), dan Kuliah atau Pacaran (2018). Dan yang terbaru adalah novel Mubetawe (2022) karya Tobias Nggaruaka dari Papua Selatan.
Tobias Nggaruaka adalah seorang putra kelahiran Kampung Iromoro/Kimaam, 19 Oktober 1988, Distrik Tabonji, Kabupaten Merauke. Ia menyelesaikan program Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Musamus (Unmus) Merauke tahun 2013 dan Magister Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Malang (UM) tahun 2017.
Sementara ini ia sedang menyelesaikan disertasi doktoral dalam bidang yang sama. Ia sebagai dosen tetap di Unmus Merauke sejak tahun 2015 hingga sekarang.
Karyanya berupa antologi puisi bersama komunitas guru menulis dalam Menjeda Jagat Memeluk Hakikat: Puisi-puisi refleksi Covid-19 (2020), Menyukat Kesemenjanaan Kita: Kumpulan artikel refleksi Covid-19 (2020), Mengantepi Rasa Rambang.
Kumpulan kisah di tengah pandemi (2020), Kumpulan puisi pandemi Kala yang Tak Kusangka (2020), Sajak dari Honai kumpulan puisi (2020), dan Mubetawe sebuah novel (2022). Mubetawe merupakan sebuah novel yang dinarasikan pengarang dengan setting sosial-budaya di Papua, khususnya kehidupan masyarakat Kimaam di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Berikut ini dibongkar sedikit intisari novel Mubetawe. Tulisan ini merupakan hasil refleksi yang saya ambil dari kegiatan bedah buku yang dilaksanakan di Unmus, Sabtu 24 September 2022.
Gambaran Umum Novel Mubetawe
Kata Mubetawe berasal dari bahasa Kimaam yang berarti (kalung) manik-manik, dan yang menjadi nama tokoh dalam novel ini. Pengarang menampilkan maju-mundurnya narasi melalui beberapa bagian sebagai berikut.
Pertama, MELANGKAH DALAM KESEPIAN, antara lain mengisahkan perjalanan seorang Mubetawe bersama ibunya (Muka); peristiwa kehidupan menemukan seorang kekasih; kaum lelaki yang telah jatuh cinta pada RB, sopi, dan sejenisnya; pudarnya budaya setempat; kegelisahan seorang tokoh Mubetawe dan tokoh-tokoh lain.
Kedua, TANDA-TANDA ALAM, mengisahkan kehidupan masyarakat mengikuti tanda-tanda alam; simbol-simbol larangan dalam kebudayaan Kimaam; pergeseran yang terjadi akibat perkembangan globalisasi; perubahan paradigma berpikir masyarakat; sikap menghormati ibu dan bapa; pergaulan bebas; dan putus sekolah.
Ketiga, KEKUATIRAN PADA ALAM, berkisah tentang persoalan lingkungan alam; masyarakat dengan kearifan lokalnya; fenomena kehidupan lingkungan, manusia, dan budayanya; persoalan pendidikan.
Keempat, UPACARA INSIASI, menampilkan sistem transformasi pengetahuan melalui budaya inisiasi; masalah gender, persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak; upaya pemertahanan budaya; persoalan karakter generasi zaman mutakhir; dan persoalan kesehatan.
Kelima, HENTAKAN TIFA TERUS TERDENGAR, mengemukakan pola kehidupan masyarakat yang kental dengan budayanya; pola kehidupan berbasis budaya; dan ketimpangan ekonomi.
Keenam, LAWATAN KE KIMAAM, mengisahkan sistem budaya masyarakat Kimaam; keinginan Mubetawe berjuang melawan kebodohan, kemiskinan, dan mempertahankan kesehatan; mengikuti festival Ndambu, yang mengantarnya bertemu dengan seorang ibu yang baik hati asal Toraja; perjalanan hidup dari Kimaam ke Merauke.
Ketujuh, UPACARA YAWAIOMBA, menampilkan nuansa kehidupan saat ritual Yawaiomba; menjalani kehidupan di Merauke lalu kembali ke kampungnya di Kimaam.
Kedelapan, PERPISAHAN, mengisahkan pernikahan Mubetawe dengan kekasihnya Wanje; timbulnya konflik dalam masyarakat dan rencana untuk membunuh kekasih Mubetawe; perjalanan dari Tabonji menuju Merauke dan perginya Mubetawe untuk selamanya.
Tampilan Fisiologis Novel Mubetawe
Tampilan fisiologis novel Mubetawe meliputi desain, cover, layout, ukuran, dan jenis kertas yang digunakan.
Buku ini diterbitkan oleh Media Nusa Creatif (MNC), Juni 2022, yang didesain sebagai buku pada umumnya. Jika diterbitkan ulang, buku ini sebaiknya didesain sebagai seri buku saku; dan disertai foto-foto/gambar yang menampilkan tokoh yang diceritakan dan lokasi yang menjadi latarnya.
Cover bukunya biru kehitam-hitaman, terkesan sangat sederhana. Menampilkan foto/gambar sesuai dengan setting dari buku ini (Papua pada umumnya, dan suku Marind (Kimaam) pada khususnya, dan tampak sebuah manik-manik yang menjadi simbol nama tokoh utamanya.
Tulisan judul yang berwarna kuning tampak sangat jelas sehingga mudah dilihat (agaknya sesuai dengan warna burung cenderawasih). Demikian pula tulisan nama pengarangnya tampak cukup, bahkan terlalu menonjol.
Selanjutnya layout buku, yakni tata letak dalam buku. Dalam buku ini layout cukup bagus, tetapi font type yang digunakan agak kecil sehingga sulit dibaca.
Ukuran buku ini = 21 x 15 cm, tebal = 1,5 cm, dan 221 halaman ditambah 7 halaman romawi kecil. Jenis kertas yang digunakan adalah bookpaper (storenso). Jenis kertas ini kiranya sesuai dengan buku novel atau cerita lainnya.
Muatan Novel Mubetawe sebagai Sebuah Karya Sastra
Novel ini memuat kebakuan bahasa, gaya penulisan, kemenarikan, efektivitas, efisiensi, dan ekonomis penggunaan kata. Kebakuan bahasa meliputi (i) ejaan, (ii) peristilahan, dan (iii) tata bahasa. Ejaan meliputi penulisan huruf, penulisan kata, dan penggunaan tanda baca.
Penulisan huruf pada umumnya sudah sesuai. Penulisan kata juga benar, hanya ditemukan beberapa kata depan, seperti di masih ditulis serangkai seperti pada kata dimana (seharusnya di mana). Penggunaan huruf yang berlebihan, misalnya kata segala, yang tertulis segalah. Penggunaan peristilahan dan tata bahasa cukup memadai.
Gaya penulisan sebuah buku di antaranya mengandung aspek komunikatif dan logis. Buku ini cukup komunikatif dan mengikuti jalan pikiran yang runtut. Banyak digunakan gaya persona ketiga, dan terkesan membosankan. Maka sebaiknya menggunakan dialog langsung antara para tokoh cerita.
Buku ini ditulis dengan latar (setting) sosial-budaya Papua, apalagi pengarangnya adalah seorang putra daerah Papua sendiri. Akan tetapi, cara menuangkan ceritanya cukup monoton, dan rasanya membosankan. Jika dicetak ulang, sebaiknya ceritanya menampilkan lebih banyak dialog dari para tokoh cerita sehingga menarik dikonsumsi pembacanya.
Pada umumnya penulisan novel ini sistematis, dan sesuai dengan EYD, namun perlu diperhatikan lagi beberapa kesalahan ejaan (sebagaimana dikemukakan di atas) serta penggunaan nama dan istilah setempat yang agak asing bagi pembaca lain.
Dari segi efisiensi, novel ini kiranya cocok dinikmati oleh pembaca yang memiliki pengetahuan memadai tentang wilayah Papua (kehidupan sosial-ekonomi, kearifan lokal, dan pemerhati sosial).
Dari segi ekonomis, novel ini kiranya memberi kontribusi yang luar biasa untuk menambah pengetahuan pembaca tentang masyarakat yang menjadi latar novel Mubetawe karya Tobias Nggaruaka.
Kegelisahan Pengarang Novel Mubetawe
Novel Mubetawe merupakan buah dari kegelisahan (dan keprihatinan) pengarangnya tentang apa yang dialami secara riil di kampung halamannya. Realitas pengalaman ini kemudian ditambah kreativitas imajinatif sehingga lahirlah sebuah karya sastra yang menarik.
Kegelisahan ekologis, yaitu bahwa alam lingkungan yang indah (di Papua) tidak selalu memberikan kenyamanan bagi tuannya sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan kesabaran, pengorbanan sambil berefleksi untuk menata alam ini secara bertanggung jawab.
Budaya setempat dipertahankan sebagai identitas masyarakat lokal, sementara di pihak lain kita berhadapan dengan modernisasi dan globalisasi yang menggoncang kepribadian. Dalam hal ini, terjadi dilema yang berat: bertahan atau maju? Situasi dilema tersebut membuat masyarakat seakan-akan tercabut dari akar budaya (dan kebiasaanya) serta mengalami loncatan yang sangat besar, tetapi sesungguhnya belum siap maju. Jadi, terpaksa maju!
Keberadaan masyarakat antara budaya lokal (tradisional) dan budaya modern ini menjadi PR besar bagi generasi muda untuk melakukan perubahan dan inovasi dalam bidang-bidang kehidupan, termasuk pengembangan literasi melalui kegiatan baca-tulis-hitung (CALISTUNG) bagi anak-anak, terutama mereka yang berdomisili di pedalaman.
Tokoh cerita Mubetawe dalam novel ini menjadi inspirasi bagi pembaca (putra daerah) dalam rangka mengembangkan pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sosial budaya.
Tema-tema dalam Novel Mubetawe
Ada begitu banyak tema (dan nilai-nilai) yang terkandung dalam novel Mubetawe. Akan tetapi, di sini hanya dikemukakan tiga tema dan/atau nilai penting, yaitu nilai edukatif, kemanusiaan dan kebudayaan.
Melalui novel ini, pengarang ingin membuka wawasan pembaca bahwa pendidikan itu faktor yang tidak dapat ditawar-tawar (conditio sine qua non).
Pendidikan itu ibarat jembatan emas menuju pelabuhan yang nyaman, bahagia, dan menjadi generasi yang mandiri serta menjadi tuan di atas negeri sendiri. Akan tetapi, kenyataan yang sedang terjadi tidaklah selalu demikian.
Program pendidikan di kampung-kampung terpencil belum menyentuh semua anak. Jumlah kehadiran guru di kelas barangkali terus berkurang. Strategi, metode, dan alat pembelajaran sering jauh dari imajinasi anak-anak karena kurang menampilkan aspek kontekstual.
Dari segi kemanusiaan, novel Mubetawe secara tidak langsung mengeritik masalah keadilan sosial (yang dapat dianalogikan dengan sila kedua Pancasila). Keadilan merupakan salah satu sisi kemanusiaan, namun kenyataan yang ditemukan adalah ketidakadilan sosial. Pembangunan yang mengatasnamakan ‘manusia Papua’ telah menyudutkan mereka ke area marginal.
Dari aspek kebudayaan, novel ini menampilkannya secara jelas dalam bagian cerita subjudul antara lain Upacara Inisiasi, Hentakan Tifa Terus Terdengar, Upacara Yawaiomba. Hal ini memperlihatkan bahwa tradisi nenek moyang pantutlah dipertahankan, namun tetap membuka diri bagi kebudayaan modern (yang semakin menerpa). Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan (sekolah) sebagai filter agar tidak hanyut dalam era digital ini.
Catatan Penutup
Novel Mubetawe merupakan hasil kegelisahan (dan keprihatinan) seorang Tobias Nggaruaka terhadap (i) alam Papua (khususnya fauna dan flora di Kimaam) yang selalu dilukai; (ii) manusia Papua (khususnya orang-orang Kimaam) yang perlu diperjuangkan kemanusiaannya; serta (iii) sesama dan sahabat yang sangat dibutuhkan kehadiran mereka.
Akan tetapi, dalam kegelisahan itu, pengarang diteguhkan oleh perkataan para nabi, “Buluh yang terkulai tidak akan dipatahkan-Nya; sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya. Dia akan setia menyatakan keadilan” (Yer 42:3). Ia (pengarang) menjadi kuat karena memiliki sebuah harapan akan masa depan masyarakat Papua yang cerah dan lebih baik.
Penulis :
Agustinus Gereda
Dosen Universitas Musamus Merauke