ARTIKEL ini pernah dimuat dalam buku Meneroka Sempena #3 Kumpulan Artikel Pendidikan Komunitas Guru Menulis (2017:30-34). Sengaja diturunkan lagi di sini dengan tujuan ‘menggugah’ para pendidik dan pengajar, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, semoga menjadi bahan refleksi.Diharapkan di sini lebih menjangkau banyak pembaca daripada hanya termuat di buku.
Mengikuti pembelajaran di kelas merupakan salah satu wujud hak atas pendidikan. Hak ini dimiliki oleh setiap peserta didik yang dipercayakan kepada para guru di sekolah. Hal ini berarti bahwa setiap anak didik seyogyanya diberikan ruang dan waktu yang memadai agar dapat dengan bebas mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
Untuk mewujudkan hak mengikuti pelajaran di kelas, guru dan kepala sekolah memainkan peran yang sentral. Akan tetapi, perwujudan hak tersebut sering berbenturan dengan tata tertib sekolah yang kaku. Peserta didik yang melanggar disiplin, tidak diperkenankan masuk kelas, bahkan dikenai sanksi dengan berlutut di bawah tiang bendera. Di samping itu, hak peserta didik mengikuti pelajaran terbatalkan oleh ketidakhadiran guru di kelas.
Pemandangan seperti itu dapat dijumpai pada sejumlah sekolah. Selama bertahun-tahun mengabdi sebagai guru dan dosen di Merauke (Papua), penulis sering menyaksikan hal serupa. Ada berbagai bentuk perlakuan guru terhadap peserta didik yang melanggar tata tertib sekolah, misalnya terlambat masuk sekolah (kelas).
Terkait dengan kasus keterlambatan, peserta didik biasanya dikenal sanksi berupa “aksi” pungut sampah sebelum diperkenankan masuk kelas. Selain itu pada kasus serupa, siswa dikenai sanksi dengan berlutut selama satu jam pelajaran, bahkan disuruh pulang, kemudian orang tua/wali diminta menghadap pihak sekolah.
Di perguruan tinggi ada kesepakatan antara dosen dan mahasiswa tentang kehadiran pada jam kuliah. Mahasiswa yang terlambat lebih dari 15 menit, oleh dosen tidak diperkenankan masuk tanpa mempertimbangkan mengapa mahasiswa terlambat. Mungkin ada masalah yang dihadapi mahasiswa, seperti tidak ada uang transpor, atau kesulitan lainnya. Malah ada dosen yang mengunci pintu sehingga mahasiswa tidak menaruh respek terhadap dosen yang bersangkutan. Padahal mahasiswa berhak mengikuti perkuliahan. Apakah memang tidak ada jalan lain lagi?
Pemandangan lain yang dapat kita saksikan adalah ketidakhadiran guru atau dosen di kelas, terutama pada jam-jam pertama. Kegaduhan, keributan, bahkan keonaran yang terjadi di kelas merupakan pertanda ketidakhadiran sang guru atau dosen. Hal ini telah menjadi sebuah refren (alias ulangan) selama ini sehingga tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Lalu, bagaimana dengan “sanksi” terhadap guru atau dosen yang tidak melaksanakan tugas dari kewajibannya itu?
Siswa Berhak Mengikuti Pembelajaran
Perlakuan dalam bentuk “aksi” pungut sampah agaknya tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bagaimana dengan berlutut selama satu jam pelajaran atau lebih, bahkan memulangkan peserta didik? Bukankah setiap peserta didik berhak untuk mengikuti pembelajaran di sekolah?
Banyak peserta didik (siswa atau mahasiswa) berangkat dari rumah dengan penuh semangat untuk belajar, walaupun harus berjalan kaki. Sayang sekali, niat mereka untuk belajar terpaksa diurungkan dengan dalih: melanggar tata tertib, seperti terlambat masuk sekolah (kelas), tidak memakai sepatu, tidak mengenakan seragam, dan seterusnya.
Tata tertib sekolah memang harus ditaati dan dilaksanakan. Akan tetapi, jangan-jangan tata tertib itu memasung hak peserta didik untuk menerima pelajaran. Sanksi berupa menyuruh peserta didik berlutut atau bahkan mengembalikan siswa ke rumah orang tua mungkin dapat digantikan dengan sanksi lain yang lebih positif efeknya, asal saja peserta didik tidak dirugikan dalam pelajaran.
Selain itu, sanksi bagi peserta didik yang tidak mengenakan pakaian seragam sebaiknya dipertimbangkan dengan arif. Mengapa? Dalam hal ini, peserta didik dihadapkan pada dua pilihan etis: atau mengikuti pelajaran atau mengenai seragam yang telah ditentukan. Sementara itu, ada peserta didik yang secara ekonomis belum bisa memiliki seragam seperti sepatu.
Dalam kasus seperti ini, apakah seorang guru bersedia memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengikuti pembelajaran? Manakah yang lebih penting, peserta didik yang ingin belajar ataukah sepatu dan baju seragamnya?
Nilai Plus Sebuah Sanksi
Sanksi karena pelanggaran tata tertib itu wajar, asal tidak membelenggu orang yang dikenai sanksi. Artinya, sanksi itu bersifat mendidik, bertujuan mengubah perilaku, dan untuk menciptakan kebaikan bersama. “Aksi” pungut sampah, misalnya, memang sederhana namun memiliki nilai yang tinggi. Dalam hal ini, peserta didik tidak hanya dikenai sanksi demi sanksi agar menjadi jera. Lebih dari itu, peserta didik belajar melakukan perbuatan baik dan, pada gilirannya, akan merasa berguna bagi orang lain.
Hal ini penulis alami ketika berada di bangku SMA Seminari San Dominggo, Hokeng, Flores Timur, NTT tahun 1977-1981. Pada waktu itu, peseta didik yang melanggar peraturan Seminari dikenai sanksi, antara lain membersihkan toilet selama tiga sampai enam hari, membersihkan halaman asrama pada waktu istirahat siang, menanam pohon buah-buahan serta merawatnya tiga sampai enam bulan hingga pohon tersebut bisa hidup tanpa banyak campur tangan manusia. Dan tentu masih adalah banyak tindakan “kreatif” lain terhadap siswa yang melanggar peraturan Seminari.
Tindakan “kreatif” di atas ternyata berdampak positif, tidak hanya bagi peserta didik yang melanggar peraturan, tetapi juga bagi lingkungan sosial dan lingkungan ekologis (alam). Hal ini merupakan salah satu sisi “panggilan hidup” untuk menciptakan lingkungan sekitar yang sehat. Pada umumnya, almni Seminari akan merasa bangga ketika memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bahkan ketika mereka bekerja di tengah masyarakat, baik sebagai imam maupun sebagai awam.
Mungkinkah sanksi yang bernilai plus itu dapat diterapkan di sekolah kita? Apabila peserta didik dikenai sanksi sekadar sanksi, kemungkinan besar mereka menolak, memberontak (setidak-tidaknya dalam hati). Dengan demikian, sanksi yang diterimanya tidak membuatnya jera, tetapi akan menimbulkan sikap antipati. Situasi ini akan berdampak pula pada hasil belajar serta perkembangan peserta didik.
Bentuk sanksi yang bernilai plus akan mendorong peserta didik untuk beralih dari tahap berpikir tingkat rendah ke tahap berpikir tingkat tinggi, sebagaimana dikemukakan dalam taksonomi Bloom (Bloom,1956).
Berdasarkan taksonomi Bloom, peserta didik dapat belajar melakukan refleksi atas kesalahannya, membuat analisis, mengevaluasi, dan melakukan kreasi. Hal ini mendorng peserta didik untuk bertanggung jawab, bukan hanya bagi dirinya melainkan juga bagi sesamanya. Dengan kata lain, seorang peserta didik akan menuntut haknya, tetapi juga bertekad melakukan kewajibannya.
Peran Guru
Diketahui bahwa guru yang profesional memiliki empat kompetensi, yakni kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasasi oleh guru dan dosen (UU Nomor 12 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen).
Kompetensi pedagogis mengacu pada kemampuan guru dalam pembelajaran. Kompetensi kepribadian mengacu pada kemampuan personal guru dengan kepribadian yang matang, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial mengacu pada kemampuan guru dan dosen dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta didik serta masyarakat. Sementara itu, kemampuan profesional mengacu pada kemampuan guru atau dosen dalam menguasai materi pembelajaran, struktur, dan metodologi keilmuan.
Perkembangan dan kepribadian peserta didik tidak dapat dilepaskan dari peran guru atau dosen. Dalam hal ini, guru atau dosen harus menjadi pribadi yang selalu memberikan contoh. Apa yang hanya dikatakan tidak selalu efektif. Jadi, perkataan haruslah selaras dengan perbuatan. Selain itu, tata tertib sekolah tidak hanya berlaku untuk peserta didik, tetapi juga bagi guru, kepala sekolah, bahkan tenaga kependidikan.
Hal ini berarti, tuntutan disiplin waktu bagi peserta didik haruslah sama dan sebanding dengan tuntutan bagi guru atau tenaga kependidikan yang ad di sekolah yang bersangkutan.
Tindakan guru atau dosen yang berdalih atau menang sendiri pada dasarnya tidak disukai oleh peserta didik. Misalnya, ada guru yang merokok sambil mengajar di kelas, padahal peserta didik dilarang merokok di lingkungan sekolah. Ada guru atau dosen yang asyik bermain handphone (HP) pada saat jam pelajaran, sementara (maha)siswa diwajibkan menonaktifkan HP. Kalau contoh-contoh seperti itu terjadi maka guru atau dosen tidak dapat dipercaya.
Tata tertib sekolah hanya dapat berjalan efektif apabila guru ikut memeliharanya. Artinya, guru atau dosen juga dikenai “sanksi” jika melanggar tata tertib. Tentu saja bentuk sanksi yang diberikan kepada guru atau dosen tidaklah sama dengan yang diberlakukan bagi peserta didik. Hal ini disesuaikan dengan kebijakan kepala sekolah ataupun aturan main dinas pendidikan setempat maupun kementerian pendidikan.
Penutup
Bertolak dari paparan di atas dapatlah dikatakan bahwa sanksi apapun yang diterapkan hendaknya dipertimbangkan secara bijak. Dalam menegakkan tata tertib sekolah atau perguruan tinggi, hendaknya guru atau dosen dan peserta didik tidak saling mempersalahkan. Bukan sekadar melaksanakan kewajiban, bukan pula sekadar menuntut hak, melainkan saling belajar untuk menjadi sesama. Dengan demikian, sanksi atas pelanggaran tata tertib sekolah atau perguruan tinggi tetap memungkinkan peserta didik untuk mengikuti pelajaran di kelas sebagai haknya. Demikian pula, hak dan kewajiban guru atau dosen mendidik peserta didik tetap terlaksana dengan baik.
Penulis: Agustinus Gereda
Dosen Universitas Musamus Merauke